IBRAHIM MENCARI TUHAN
(Berpikir Kritis sebagai Karakter
Rational Beings)
Oleh: Dr. Muhammad Taufik
A.
Pendahuluan
Banyak waktu dan tempat
bagi kita untuk belajar pada bentangan ayat-ayat Tuhan, baik melalui ayat-ayat qauliyah
(al-Qur’an dan sunnah) maupun melalui penampakan kebesaran dan keagungan-Nya
secara empirik di depan mata kita. Banyak kebesaran dan keagungan tersebut yang
sudah dirambah oleh nalar manusia dengan segala keterbatasan dan besar dalam
hasrat keingintahuan, dengan pandangan filsafat mulai sejak zaman Yunani Kuno
hingga masa kontemporer ini. Ada yang mendekatinya dengan filsafat murni, ada
dengan pendekatan teologis dengan wahyu sebagai pembimbingnya, dan ada juga
yang menggabungkan keduanya, yaitu dengan filsafat dan agama sekaligus. Semua
pendekatan tersebut sedikit mampu menjawab dahaga ilmu manusia yang selalu
membutuhkan jawaban yang memuaskan, atau sebaliknya merasa skeptis dengan apa
yang dia dapatkan. Akibat dari semua itu menimbulkan aliran dan mazhab dalam
dunia filsafat, yang secara garis besarnya ada tiga garis ilmu, yaitu:
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Lalu muncul aliran Rasionalisme,
Empirisme, Positivisme, Idealisme, Agnotisme dan banyak lainnya. Dalam ranah teologis
muncul pula kelahiran berbagai aliran dalam ilmu kalam, seperti Qadariyah,
Jabariyah, Muktazilah, Maturidiyah, Murji’ah dan lainnya.
Menariknya bila kita mampu
meramu dua kutub yang berbeda antara filsafat dan teologis itu memungkinkan
kita mendapatkan sudut pandang yang objektif. Sekalipun demikian, keduanya mempunyai
kesamaan di antaranya: Sama-sama tidak tuntas membahas eksistensi Tuhan, Sama-sama
memberikan argumen yang rasional tentang Tuhan. Objek bahasannya sama, yaitu
tentang eksistensi Tuhan sebagai zat yang sempurna dan abadi. Namun demikian
keduanya memberikan sumbangan yang besar dalam peradaban manusia yang dikenal
sebagai rational beings dalam jagat Tuhan yang membentang luas ini.
Sebagai makhluk rasional, bagaimana manusia menggunakan rasionya dalam memahami
dan mencari jawaban berbagai persoalan hidup yang dilaluinya, apakah pemikiran
pemikiran kritis itu diperlukan? Penulis akan mencoba menelusurinya melalui
tulisan yang sederhana ini dalam rangka menyingkap dan mengungkap sisi kritis
manusia dengan bantual nalar yang
dimilikinya dalam menjalani kehidupan.
B.
Kritis-Analisis ala Nabi Ibrahim
Menarik
bila kita mengkaji kisah teologis yang dialami Nabi Ibrahim AS. dalam usahanya
untuk mengenal dan menemukan Tuhannya ketika ia masih kecil yang terangkum
dalam kitab suci al-Qur’an. Dikisahkan, ketika Ibrahim secara empirik melihat
indahnya cahaya kemilau bintang yang bertaburan di langit, lalu berpikir inilah
barangkali Tuhan yang telah menciptakannya, karena Tuhan itu pasti sesuatu yang
Indah, berada di tempat yang tinggi, mulia dan banyak sekali jumlahnya, karena
Tuhan itu pasti melebihi dari apa yang yang dimiliki oleh makhluknya. Tapi
ketika Ibrahim terbangun di pagi hari, dan tidak melihat lagi adanya bintang di
langit, lantas berpikir mana mungkin Sang Pencipta bisa hilang dan tidak kekal.
Ibrahim menarik kesimpulan bahwa bintang-bintang itu bukan Tuhannya. Kemudian
Ibrahim melihat matahari yang bersinar terang menerangi seluruh bumi, bagaikan
sebuah bola lampu raksasa yang sangat besar ukurannya, kemudian Ibrahim
berpikir, mungkin inilah Tuhannya, karena besar dan sangat terang, lebih besar
dari bintang, tidak ada yang bisa menandingi kedahsyatan cahayanya karena mampu
menerangi bumi dan sekitarnya. Tapi ketika senja menjelang, matahari semakin
redup dan bahkan hilang dari pengamatan indranya, Ibrahim lalu berpikir mana
mungkin Tuhan yang menciptakannya bisa redup lalu hilang dan tidak abadi
keberadaanNya. Pengembaraan intelektual Ibrahim dalam mencari terus berlanjut.
Ketika malam menjelang perlahan tampak olehnya bulan yang menerangi bumi yang
gelap gulita karena diselimuti malam, sinarnya terang benderang, tapi cahayanya
lembut dan tidak panas seperti matahari dan ukurannya lebih besar dari bintang.
Ibrahim lagi-lagi berpikir ini pasti Tuhannya, karena ia begitu besar, indah,
dan penuh kelembutan dan keindahan. Tapi keesokannya bulan yang dikiranya Tuhan
itupun hilang. Ibrahim berpikir berarti bulan juga bukan Tuhannya, karena
sebagai pencipta ia pasti bersifat kekal dan lebih kuat tentunya dari dari
dirinya yang cuma sebagai makhluk. Artinya Tuhan itu tidak mungkin sama dengan
ciptaannya, kalau Tuhan sama dengan ciptaannya berarti ia juga memiliki
kelemahan, padahal Tuhan itu pasti Maha Perkasa dan Maha Agung.
Itulah sepenggalan kisah monumental dan sarat makna yang diabadikan dengan
indah oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 76-79.[1] Bagi penulis kisah rasional dan empirik[2]
yang bersifat kritis-analisis Ibrahim dalam mencari Tuhannya itu bukan hanya
sebuah kisah bernilai historis-teologis, yang kalau dibaca diharapkan akan
semakin menambah keimanan kita kepada Nabi-nabi Allah karena mereka pesuruh
Allah, tapi lebih dari itu kita bisa mengambil pelajaran yang berharga,
yaitu bagaimana Ibrahim menggunakan
metode penalaran rasionya secara kritis dan pengamatan mendalam secara empiris yang
berawal dari sifat keheranan dan keingintahuannya, sehingga memunculkan
berbagai interpretasi untuk menjawab macam-macam pertanyaan menggoda di
benaknya dan ingin segera menemukan jawabannya, lalu menimbulkan
keingintahuannya pada Tuhan yang telah menciptakannya. Melalui perenungan dan
penalarannya sendiri atas realitas dan fenomena yang dilihatnya secara empirik yang diurainya dengan
penalaran (reasoning) yang logis, Ibrahim telah mencoba berlaku kritis.
Sehingga melalui pengamatan dan perenungannya yang mendalam ia berusaha keras
untuk menemukan suatu kebenaran realitas yang ingin diketahuinya. Sifat ingin
tahu itu telah mengantarkan Ibrahim pada suatu hipotesa, bahwasanya ada suatu realitas yang berada di luar
dirinya yang Maha Pencipta, Maha Perkasa, Maha Agung, Maha Mulia, Abadi dan
tidak tertandingi kekuasanNya, Dialah Allah SWT Tuhan yang kita yakini
keberadaanNya sebagaimana Ibrahim meyakininya.
Dari
peristiwa besar yang dialami Ibrahim tersebut meneguhkan, bahwa kita bisa bersikap
selaku filosof termasuk bidang pengalaman sehari-hari yang dilalui. Sejak masa
lalu seperti halnya di zaman Yunani kuno, filsafat atau hasrat kebijaksanaan
dianggap mulai tumbuh bila manusia mulai bertanya-tanya yang disertai rasa
kagum dan heran. Berfilsafat memang bisa berarti bertanya disertai rasa heran
akan sesuatu. Kita menjadi sadar akan realita, bila kita membaca buku
metafisika, filosof Yunani menggambarkan asas-asas filsafat yang pokok. Manusia
berlainan dengan hewan, berpangkal pada pengalaman yang menghasilkan keterampilan teknis dalam
menangani barang-barang, dalam pikirannya ia akan menelusuri kembali
gejala-gejala yang diamatinya,[3]
sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim dalam mencari Tuhan-Nya. Artinya ketika
kita ingin tahu pada sebuah gejala, maka saat itu sebenarnya kita sudah memulai
menyusun pikiran kita untuk mengetahui apa sesungguhnya gejala tersebut dan
ingin menjawab segera rasa penasaran atau keingintahuan tersebut dalam sebuah
konsep pemikiran yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran.
C.
Manusia sebagai Rational Beings
Manusia
adalah rational beings (makhluk rasional), karena itu pikiran terdapat dalam diri manusia tanpa terkecuali, baik
mereka sehat atau sakit, sadar maupun tidak sadar. Berpikir hanya ada di dalam
diri manusia, sebab pikiran adalah salah satu yang dapat membedakan manusia
dengan hewan. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah
seekor hewan sosial atau seekor binatang dengan unsur-unsur tertentu yang khas,
khususnya rasio dan tuturan.[4] Sebagai makhluk yang
berpikir, dengan menggunakan rasionya itu manusia ingin tahu segala yang
dilihat, dipikirkan dan yang dirasakannya. Makin banyak manusia tahu, makin
banyak pertanyaan yang timbul. Manusia ingin tahu tentang asal dan tujuan,
tentang diri sendiri, tentang nasibnya, tentang kebebasannya dan
kemungkinan-kemungkinannya. Sikap ini sudah menghasilkan pengetahuan yang sangat luas, yang secara metodis dan
sistematis dibagi atas banyak jenis ilmu. Namun dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, sejumlah pertanyaan manusia masih tetap terbuka dan sama aktualnya
seperti pada ribuan tahun yang lalu. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang diungkapkan dalam sajak yang kuno berikut
ini:
“Aku datang – entah dari mana,
Aku ini – entah siapa,
Aku pergi – entah kemana,
Aku akan mati – entah kapan,
Aku heran bahwa aku bergembira”…[5]
Pertanyaan-pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan
kematian, tentang hakikat manusia tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan.
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh
filsafat. Namun filsafat adalah tempat pertanyaan itu dikumpulkan, diterangkan
dan diteruskan.[6]
Cara-cara kritis yang dimiliki manusia dengan mengajukan pertanyaan untuk
dijawab secara rasional tampak dalam kisah teologis Ibrahim di atas, dan frame
work filsafat dalam mencari sebuah kebenaran yang membutuhkan bantuan rasio
tersebut. Artinya sikap kritis dalam filsafat dan teologis adalah sebuah
keniscayaan yang dimiliki manusia untuk membuktikan dirinya memang sebagai rational
beings yang berbeda dan lebih mulia dibandingkan malaikat sekalipun.
Dalam filsafat penggunaan metode
empirisme merupakan sebuah prasyarat untuk mengetahui sesuatu secara kritis. Empirisme juga
merupakan doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan atau konsep pemikiran. Bukti empiris (juga data empiris, indra pengalaman, pengamatan, pengetahuan empiris, atau a posteriori) adalah suatu sumber pengetahuan
yang diperoleh dari observasi atau percobaan. Bukti empiris adalah informasi
yang membenarkan suatu kepercayaan dalam kebenaran atau kebohongan suatu klaim
empiris. [7]
Bila teori empiris di atas ternyata oleh
Ibrahim sudah puluhan abad yang lalu telah dipraktekkan dalam memecahkan
persoalan teologis yang diahadapinya, yakni menelusuri siapa sesungguhnya Tuhan
yang menciptakan dirinya dan alam semesta ini beserta isinya. Sesungguhnya Ibrahim
telah mengajarkan kepada kita bahwasanya Tuhan itu sudah menunjukkan dan
memproklamirkan dirinya melalui ciptaannya yang
bisa diamati dan dilihat oleh indra manusia secara empirik.
Suatu yang dialami Ibrahim dengan
pengalaman empirisnya menemukan kesesuaian dengan apa yang dikatakan oleh
Thomas Hobbes (1588-1679) tokoh empirisme dari Inggiris, baginya filsafat
adalah sutu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebeb filsafat adalah suatu
ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-penampakan yang
sedemikian seperti yang kita peroleh dengan merasionlisasikan pengetahuan yang
semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah
fakta yang diamati, sedangkan maksudnya adalah mecari sebab-sebabnya.[8] Ibrahim
melihat fakta yang nampak oleh indranya yang berawal dari keingintahuan,
keheranan dan berakhir dengan kesimpulan final atas pengamatan yang telah
dilakukan.
Selain empirisme, metode filsafat dengan
penggunaan metode rasionalisme dalam mengungkap kebenaran sudah digunakan
berabad-abad yang lalu sebagai sebuah metode yang banyak digunakan untuk
mencari sebuah kebenaran realitas yang ada di sekitar kita. Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596 – 1650) yang
disebut sebagai bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum dan
ilmu kedokteran. Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa
bandingannya, harus disusun oleh satu orang sebagai bangunan yang berdiri
sendiri menurut suatu metode yang umum.
Rene Descartes yang telah dikenal mendirikan
aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya
adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akal yang memenuhi syarat
yang dituntut oleh semua pengetahuan yang ilmiah. Dengan akal dapat diperoleh
kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti.
Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri
dari segala pemikiran tradisional (skolastik) yang pernah diterima tetapi
ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi.[9]
Rene Descartes juga mengatakan agar
filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita terutama memerlukan
suatu metode yang baik. Ia berpikir sudah mendapatkan metode yang dicarinya,
yaitu menyangsikan segala sesuatu. Kesangsian
ini dijalankan seradikal mungkin. Kalau terdapat suatu kebenaran yang
tahan dalam kesangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali
pasti dan harus dijadikan fondamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. “Cogito Ergo
Sum” yang artinya saya berpikir maka saya, demikian kata Rene Descartes dalam
ungkapan Latinnya. Berpikir baginya
mengandung arti “menyadari”. Dalam filsafat modern kata “cogito” sering kali
digunakan dalam arti kesadaran.[10]
Kedua aliran dasar filsafat tersebut
(rasionalisme dan empirisme) di atas banyak membantu kita dalam mencari jawaban
persoalan kehidupan. Bila empirisme menitikkan pengalaman (experience)
sebagai cara untuk memahami sesuatu, maka dengan metode rasionalisme
mengajarkan kita akan penggunaan penalaran (reasoning) untuk
mengetahui sesuatu. Di sinilah peran
akal yang merupakan anugerah Tuhan
kepada manusia. Karena akal yang dimilikinya manusia menjadi istimewa dan lebih
super dari makhluk lainnnya. Hal istimewa yang membuat manusia lebih mulia
dan tinggi derajatnya dari makhluk yang lain yaitu manusia diberi kemampuan dan
otoritas berpikir dengan akalnya, manusia dianugerahi oleh Allah dengan akal,
sehingga dengan adanya akal manusia mampu memikirkan, memilih, memilah mempertimbangkan,
menentukan jalan pikiran dan perbuatannya sendiri.
D. Critical Thinking sebagai Ciri Manusia
Kritik artinya melihat apa yang
pantas direnungkan dan apa yang harus diragukan. Kalau Karl Marx mengatakan bahwa buruh
menjadi barang yang dikuasai aturan pasar hal itu pantas direnungkan meskipun
juga hal itu tidak berlaku seratus persen di Eropa, USA, dan Jepang yang
neokapitalis.[11] Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kritis berarti; 1) bersifat tidak lekas
percaya, 2) bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, tajam
dalam penganalisaan.[12]
Berpikir kritis (critical thinking) adalah sinonim dari pengambilan
keputusan (decision making), perencanaan strategis (strategic
planning), proses ilmiah (scientific process), dan
pemecahan masalah (problem solving). Arthur L.
Costa menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah: menggunakan proses berpikir yang
mendasar untuk menganalisis argumen dan menghasilkan wawasan makna tertentu, interpretasi; juga dikenal sebagai pemikiran yang
terarah.[13]
Dengan demikian dapat dimaknai berpikir kritis dalam artian sebagai
proses penilaian yang tajam mendalam (radix) atau pengambilan keputusan
yang penuh pertimbangan dan dilakukan dengan argumen dan analisa yang
menyeluruh. Proses perumusan alasan dan pertimbangan mengenai fakta,
keadaan, konsep, metode dan kriteria. Berpikir kritis sebagai
proses merumuskan alasan yang tersusun secara sistematis dan
terampil dari menyusun konsep, mengaplikasikan atau mengevaluasi materi
yang dikaji melalui proses pengamatan, pengalaman, refleksi, pemberian
alasan atau komunikasi sebagai dasar dalam menentukan tindakan yang diambil. Berpikir
kritis dapat muncul kapan dan dimanapun dalam proses penilaian,
keputusan, atau penyelesaian masalah secara umum, sehingga seseorang tanpa
terikat waktu dapat berusaha untuk mengetahui sesuatu yang perlu dipercaya, diketahui
alasannya. Proses pengolahannya meniscayakan usaha dan reflektif-filosofis
seperti mengamati, membaca, menulis, berbicara, dan mendengar dengan penginderaan
yang dimiliki manusia manusia sebagai rational beings.
Belajar filsafat
berarti belajar berpikir kritis dan logis atas apa yang kita lihat, rasakan, dan
alami dalam kehidupan di dunia. Sesuatu fenomena yang kita lihat di depan mata
melalui pengamatan indrawi, bukan hanya sekedar kita amati begitu saja, tapi
akan memunculkan berbagai macam pertanyaan
apa ini, mengapa begini, darimana ini, dan banyak pertaanyaan kritis
lainnya. Pertanyaan-pertanyaan seperti
itu tentu saja tidak muncul begitu saja, tapi berawal dari penalaran yang kita
lakukan melalui mekanisme berpikir filosofis. Karena berpikir filosofis itu
juga mempunyai ciri khusus, yaitu dimulai dengan bertanya dengan rasa ingin
tahu yang tinggi, yang pada akhirnya pertanyaan itu memerlukan jawaban terlepas
benar atau tidak, lain soal. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa
kebenaran yang didapat secara filosofis itu bukanlah kebenaran yang bersifat mutlak (absolute), tetapi kebenarannya bersifat nisbi (relative), artinya ia bukan sesuatu yang final, tatapi ia bisa dikritik keabsahannya
oleh teori lain yang lebih valid yang datang kemudian melalui uji
validitas dan verifikasi yang berdasarkan kaidah ilmiah.
Kemampuan berpikir
kritis dengan berfilsafat adalah kelebihan utama manusia sebagai makhluk Tuhan
yang rasional, ia juga merupakan suatu bagian penting dalam segala aspek
kehidupan manusia yang sangat kompleks. Dalam konteks inilah relevansi
keberadaan critical rationalism (rasionalisme kritis) yang merupakan
corak pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh
filosof Austria Karl Raimund Popper. Menurutnya cara terbaik untuk
mempraktekkan sikap rasional ialah selalu rela menerima kritik dan mengkritik
diri sendiri.[14]
Dengan demikian karakter kritis itu berlaku secara sosial dan individual. Secara
sosial manusia tidak bisa terbebas dari kritik dari sekelilingnya dan harus
siap dengan situasi dan kondisi seperti itu, sedangkan secara individual
manusia juga harus melakukan kritik untuk dirinya sendiri, sebab sebelum
melakukan kritik pada realitas di luar dirinya ia harus berani melakukan auto-kritik
secara internal.
Berpikir kritis perlu digunakan
dalam berbagai situasi dan kesempatan dalam upaya memecahkan problematika
kehidupan kemanusiaan. Oleh karena itu menjadi penting pula seseorang untuk
belajar tentang bagaimana berpikir kritis, karena tidak serta seseorang merta mampu berpikir kritis tanpa melalui
proses belajar. Berpikir kritis tidak akan muncul tanpa upaya dan goodwill, tapi ia merupakan sebuah
keterampilan yang didapatkan melalui proses panjang dan berkesinambungan, bukan
merupakan sifat yang diwariskan secara turun temurun orang tua kepada anak.
Untuk itu perlu adanya kesadaran dan upaya untuk mengajarkan tentang
bagaimana berpikir kritis kepada siapapun dan dimanapun karena hal itu
merupakan sebuah keniscayaan.
Pada masa
lalu dalam sejarah perkembangan filsafat bila kita cermati, misalnya Agustinus
dan Rene Descartes memulai berfilsafat bukan dari kekaguman atau keheranan, akan tetapi mereka
berfilsafat dimulai dari keraguan atau kesangsian sebagai sumber utama
berfilsafat. Manusia heran, tapi
kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh panca indranya yang sedang
heran? Rasa heran dan meragukan ini mendorong kita berpikir lebih mendalam,
menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berpikir secara
mendalam, menyeluruh dan kritis seperti ini disebut berfilsafat.[15]
Secara umum berpikir kritis dapat
diartikan sebagai upaya memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam
menentukan tujuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa berpikir kritis adalah
mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan
menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya,
menyimpulkan, dan mengevaluasi. Dengan demikian berpikir kritis juga merupakan
sebuah proses intelektual yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam
membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat
sintesis, dan mengevaluasi sebuah persoalan. Sehingga berpikir kritis adalah
cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang
difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Sebagai metode pemikiran, filsafat selalu mempertanyakan
tentang sifat dasar dan hakiki dari realitas, baik yang tampak nyata dalam
pengamatan indra maupun yang tidak tampak (bersifat metafisis), merupakan
sebagai sebuah teknik kritik. Filsafat secara internal dirinya sendiri
mempertanyakan segala sesuatu secara terus menerus dan berkesinambungan. Filsafat terkadang berani mengusik sesuatu
yang mapan, terkadang tampak “melawan
arus” mempertanyakan segala sesuatu yang
kelihatannya sudah jelas namun dianggap tidak memuaskan. Filsafat menggali segala
sesuatu secara mendasar, untuk menemukan pusat permasalahan yang harus
dipecahkannya secara rasional dan bertanggung jawab sesuai kaidah pemikiran.
Sebagaimana diketahui bahwa filsafat adalah ilmu yang menyelidiki
hal-hal mendasar dan menyeluruh. Berbeda dengan cabang ilmu lainnya, filsafat
mengkaji segala sesuatu secara menyeluruh. Ia terus-menerus mempertanyakan dan
berupaya menjawab berbagai macam permasalahan yang tak dapat dijawab oleh
cabang ilmu lainnya, dan juga pertanyaan lintas ilmu secara rasional dan
bertanggung jawab. Oleh karena itu, filsafat tidak dapat tidak bersifat kritis.
Kritis di sini dalam artian terus menerus bertanya secara eksternal
mempertanyakan hal-hal di luar dirinya (lingkup ilmu khusus) dan juga secara
internal mempertanyakan diri sendiri, sehingga tidak berhenti pada sebuah klaim
kebenaran tentang hal-hal fundamental dan mencari jawaban secara rasional dan
bertanggung jawab.
Menurut Franz Magnis Suseno, sifat kritis merupakan merupakan tuntutan
internal dari berpikir filosofis itu sendiri. Filsuf harus selalu kritis,
bertanya dan mencari jawaban-jawaban rasional. Berfilsafat dengan demikian
merupakan berpikir kritis; selalu harus bertanya secara fundamental dan mencari
jawaban rasional. Di sinilah terletak tanggung jawab filsafat, yakni filsafat
secara kritis terus menerus mempertanyakan dan juga harus berani menawarkan
jawaban-jawaban rasionalnya bagi permasalahan-permasalahan manusia. Seorang
filosof bertanggung jawab dalam mempertanyakan apa yang nampaknya sudah jelas
dan juga berani mengajukan jawaban-jawaban rasional yang argumentatif, serta
terbuka pada kritik, pertanyaan, dan verifikasi. Filsafat berusaha memberikan
jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dalam
hal ini, filsafat juga terbuka terhadap segala kritik yang menyangkal
jawabannya dan berani mengajukan argumentasi rasional secara objektif, sehingga
jawaban yang diberikan bisa dimengerti secara intersubjektif.
Dengan demikian, filsafat memang sebuah ilmu kritik dan seni kritik,
baik secara internal dan eksternal. Secara eksternal, ia terus-menerus mengajak
ilmu-ilmu lain untuk beranjak dari kemapanan dengan mempertanyakan klaim-klaim
mereka, dan secara internal, ia tidak ‘ajek ‘dalam suatu klaim kebenaran dengan
selalu mempertanyakan dirinya sendiri.[16]
Dalam pandangan Sidi Gazalba
memasuki dunia yang menggunakan perangkat akal, maka berfilsafat berarti
berpikir, walau tidak semua kegiatan berpikir dapat dikategorikan berfilsafat.
Berpikir yang dapat dikategorikan berfilsafat adalah apabila kegaiatan berpikir
tersebut mengandung tiga ciri: radikal, sistematis, dan universal.[17] Berapikir radikal berarti
berarti berpikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya tidak tanggung-tanggung
sampai pada konsekwensi yang terakhir dan tidak setengah-setengah, tidak
berhenti di tengah jalan tapi sampai ke ujungnya. Berpikir sistematis adalah
berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran,
urutan yang dapat dipertanggungjawabkan dan mempunyai hubungan yang saling
berkaitan secara teratur. Sedangkan berpikir universal tidak berpikir khusus,
yang hanya terbatas pada bagian-bagian yang tertentu melainkan mencakup secara
keseluruhan.[18]
Dari yang telah disampaikan di atas dapat dilihat
adanya karakter dari seseorang telah memiliki kemampuan berpikir kritis.
Seorang yang berpikir kritis selayaknya mempunyai sikap terbuka dan mudah untuk menerima
adanya perbedaan. Di samping itu juga
mesti teliti dalam segala hal, dan
mempunyai standar baku dalam menilai sesuatu berdasar argument rasional.
Argumen yang disampaikan selalu didasari oleh data-data akurat yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan rasional. Mempunyai kemampuan dalam membuat
kesimpulan dengan tepat dari beberapa pernyataan yang ada. Hal lain
yang tidak kalah pentingnya adalah berpikir
kritis itu sebaiknya selalu memandang sesuatu persoalan dari berbagai sudut
pandang yang berbeda dan objektif.
Kemampuan berpikir kritis adalah
satu dari bagian penting dalam segala aspek kehidupan seseorang.
Berpikir kritis digunakan dalam berbagai situasi dan kesempatan dalam
upaya memecahkan persoalan kehidupan. Oleh karena itu menjadi penting pula
seseorang untuk belajar tentang bagaimana berpikir kritis, karena seseorang tidak
serta merta mampu berpikir kritis tanpa melalui proses belajar yang memerlukan
metode dan sarana. Berpikir kritis adalah sebuah keterampilan yang didapatkan
melalui proses panjang, bukan merupakan sifat yang diwariskan orang tua kepada
anaknya. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mengajarkan tentang bagaimana
berpikir kritis kepada siswa di sekolah sedini
mungkin.
Berpikir logis sebenarnya sesuai dengan al-Qur’an, secara
teologis al-Quran sebagai kitab
suci yang kita imani kebenarannya sebenarnya telah mengungkapkannya secara
jelas tentang perlunya “membaca realitas”
yakni sebagaimana telah tersurat pada QS. al-Alaq: 1-3
ù&tø%$# ÉOó$$Î/
y7În/u Ï%©!$# t,n=y{
ÇÊÈ t,n=y{
z`»|¡SM}$#
ô`ÏB
@,n=tã
ÇËÈ ù&tø%$#
y7/uur
ãPtø.F{$#
ÇÌÈ
1. Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia
Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah.
Bila
kita analisis secara mendalam bahwa perintah untuk membaca tersebut,
sebenarnya bukan hanya dimaknai sebagai membaca secara verbal teks, huruf dan tulisan, tapi lebih dalam lagi yaitu
membaca realitas empirik yang ada pada diri kita dan sekeliling kita, alam yang
terbentang luas, maupun yang berada di luar diri kita yang tampak maupun yang
kasat mata, agar kita lebih mengenal siapa kita dan siapa Tuhan kita. Sudah
sangat jelas bagi kita ungkapan “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan
mengenal Tuhanya” atau senada dengan itu Plato telah menegaskannya ribuan tahun
yang lalu “Kenalilah Dirimu”. Ungkapan
di atas adalah basic fondation bagi kita
bahwa mengetahui sesuatu, belajar sesuatu adalah sangat penting bagi
peningkatan nilai-nilai humanity
untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, karena yang membedakan manusia
dengan makhluk Tuhan yang lain adalah bahwa manusia mempunyai pengetahuan, dapat
berpikir, dan mengembangkan alam pikirannya secara luas, sehingga tidak
berlebihan bila orang yang menggunakan akalnya dengan benar niscaya mendapat
derajat yang tinggi di sisi Tuhan.
Rene Descartes juga mengatakan bahwa untuk memperoleh pengetahuan
yang terang dan jelas, maka terlebih dahulu kita harus meragukan segala
sesuatu. Baginya, pengertian yang benar haruslah dapat menjamin dirinya
sendiri. Untuk mendapatkan sesuatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi
kebenarannya, Rene Descartes menggariskan empat langkah aturan sebagai berikut:
1. Kita
harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil sesuatu keputusan
dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga
mustahil disangsikan.
2. Setiap
persoalan yang diteliti dibagikan dalam sebanyak mungkin bagi sejauh yang
diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
3. Mengatur
pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada
objek yang lebih kompleks, atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak
sampai pada pengertian yang komplek dan nisbi.
4. Setiap
permasalahan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang
dilalaikan.[19]
Dalam
mengaplikasikan berpikir kritis diperlukan beberapa keterampilan, keterampilan yang harus dikuasai misalnya.
1. Keterampilan menganalisis, keterampilan ini merupakan suatu keterampilan menjelaskan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui
pengorganisasian struktur tersebut.[20] Dalam keterampilan
tersebut tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara
menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih
kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki agar pembaca
mengindentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses berpikir
hingga sampai pada sudut kesimpulan. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis,
diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan,
menghubungkan, dan merinci.
2. Keterampilan mensintesis, keterampilan mensintesis
merupakan keterampilan yang berlawanan dengan keteramplian menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan
menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru.
Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua informasi yang
diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang
tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya. Pertanyaan sintesis ini
memberi kesempatan untuk berpikir bebas terkontro).
3. Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah. Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa
pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan
kritis sehinga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa
pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan
ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam
permasalahan atau ruang lingkup baru.
4. Keterampilan menyimpulkan,
yakni kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan pengertian/pengetahuan
(kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian/pengetahuan
(kebenaran) yang baru yang lain. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami
bahwa keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami
berbagai aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu
sebuah simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara,
yaitu : deduksi dan induksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir
yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah
pemikiran atau pengetahuan yang baru.
5. Keterampilan mengevaluasi atau menilai. Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai
sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki
pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan
standar tertentu.
Keahlian dalam berpikir kritis memberikan orientasi akurat dalam ide dan tindakan, dan membantu dalam menentukan suatu korelasi dengan yang lainnya dengan lebih jelas. Oleh karena itu keahlian berpikir kritis sangat diperlukan dalam problem setting (pengaturan masalah) dan problem solving (pemecahan masalah). Pengembangan kemampuan berpikir kritis merupakan
integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan , analisis,
penalaran, penilaian, dan pengambilan keputusan.
E. Penutup
Kita menyadari bahwa pengetahuan
dimulai dengan rasa ingin tahu dan keraguan, kepastian dimulai dengan rasa
ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-dianya. Berfilsafat didorong untuk
mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat
berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam
kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Demikian juga berfisafat berarti
mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh
sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.[21]
Berpikir kritis adalah suatu aktifitas kognitif yang berkaitan dengan
penggunaan nalar
(reason). Belajar untuk berpikir kritis berarti menggunakan perangkat, proses-proses mental, seperti mengamati, memperhatikan, mengkategorikan, menyeleksi, dan
menilai, lalu memutuskan dengan menggunakan berbagai pertimbangan logis dan rasional. Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan
yang tepat dalam berpikir dan bekerja, dan membantu dalam menentukan
keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih akurat. Oleh sebab itu
kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah (problem solving), dan pengelolaan problem kehidupan. Pengembangan kemampuan berpikir kritis merupakan
integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan
(observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan
persuasi. Semakin baik pengembangan kemampuan-kemampuan ini, maka kita akan
semakin dapat mengatasi masalah-masalah yang komplek dan dengan hasil yang memuaskan. Namun yang perlu
kita garis bawahi bahwa dalam sikap kritis tersebut sebaiknya secara fundamental tertanam di dasarnya sikap dan perilaku
yang mengakui
kekurangan dan kelemahan dengan kerendahan hati sebagai manusia
yang mempunyai keterbatasan di mata Sang Pemilik semesta.
Sumber Bacaan
Achmadi, Asmoro,
Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994).
Bertens,
Kees, Ringkasan Sejarah Filsafat, Cetakan X, (Yogyakarta: Kanisius,
1992).
Brouwer,
M.A.W., Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung: Alumni,
1980).
Costa,
Arthur L.(ed.), Developing Minds, A Resource Book for Teaching Thinking,
(Virginia: ASCD, 1985).
Gazalba, Sidi Sistematika Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
Hadiwijono, Harun , Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
Hamersma,
Harry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Cet. III, (Yogyakarta: Kanisius,
1984).
http://www.uwsp/cognitif.htm.
Mandailing,
M. Taufik, Mengenal Filsafat Lebih Dekat, (Yogyakarta: Idea Press, 2013).
Mudhofir, Ali,
Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1988).
Mustansyir,
Rizal, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para
Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
Peursen, C.
A. Van, Orientasi di Alam Filsafat, Cetakan V, (Jakarta: Gramedia, 1988).
Sumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan VI, (Jakarta:
Gelora Aksara Pratama, 1990).
Supardan, Dadang , Pengantar
Ilmu sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).
Suseno, Frans Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta:
Kanisius, 1992).
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993).
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
[1] 76. Ketika malam Telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia
berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia
berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
77.
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah
Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya
jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang
sesat."
78.
Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku,
Ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata:
"Hai kaumku, Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan.
79. Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada
Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang
benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
[2]Empirisme adalah salah satu aliran yang
menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengalaman itu
sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Empirisme berpendirian bahwa semua
pengetahuan diperoleh lewat indra. Indra memperoleh kesan-kesan dari alam
nyata, untuk kemudian kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia,
sehingga menjadi pengalaman. M. Taufik Mandailing, Mengenal Filsafat Lebih
Dekat, (Yogyakarta: Idea Press, 2013), hal. 115-117.
[3] C. A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat,
Cetakan V, (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 2.
[4] Dadang Supardan, Pengantar
Ilmu Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 26.
[5] Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia
Filsafat, Cet. III, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hal. 9
[6] Ibid.
[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
[9] Asmoro
Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), hal. 111.
[10] Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat,
Cetakan X, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 45.
[11] M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat
Modern dan Sejaman, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 48.
[12] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 466.
[13] Costa, Arthur L.(ed.), Developing
Minds, A Resource Book for Teaching Thinking, (Virginia: ASCD, 1985), hal. 310.
[14] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran
dalam Filsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 17.
[15] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal.2
[17] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1981)
[18] M. Taufik Mandailing, Mengenal Filsafat
Lebih Dekat, hal. 27
[19] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, Sejarah,
Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001), hal. 28 – 29
[21] Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Cetakan VI, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1990), hal.
19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar