Rabu, 09 Juli 2014

IBRAHIM MENCARI TUHAN
(Berpikir Kritis sebagai Karakter Rational Beings)
Oleh: Dr. Muhammad Taufik

A.     Pendahuluan
Banyak waktu dan tempat bagi kita untuk belajar pada bentangan ayat-ayat Tuhan, baik melalui ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an dan sunnah) maupun melalui penampakan kebesaran dan keagungan-Nya secara empirik di depan mata kita. Banyak kebesaran dan keagungan tersebut yang sudah dirambah oleh nalar manusia dengan segala keterbatasan dan besar dalam hasrat keingintahuan, dengan pandangan filsafat mulai sejak zaman Yunani Kuno hingga masa kontemporer ini. Ada yang mendekatinya dengan filsafat murni, ada dengan pendekatan teologis dengan wahyu sebagai pembimbingnya, dan ada juga yang menggabungkan keduanya, yaitu dengan filsafat dan agama sekaligus. Semua pendekatan tersebut sedikit mampu menjawab dahaga ilmu manusia yang selalu membutuhkan jawaban yang memuaskan, atau sebaliknya merasa skeptis dengan apa yang dia dapatkan. Akibat dari semua itu menimbulkan aliran dan mazhab dalam dunia filsafat, yang secara garis besarnya ada tiga garis ilmu, yaitu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Lalu muncul aliran Rasionalisme, Empirisme, Positivisme, Idealisme, Agnotisme dan banyak lainnya. Dalam ranah teologis muncul pula kelahiran berbagai aliran dalam ilmu kalam, seperti Qadariyah, Jabariyah, Muktazilah, Maturidiyah, Murji’ah dan lainnya. 
Menariknya bila kita mampu meramu dua kutub yang berbeda antara filsafat dan teologis itu memungkinkan kita mendapatkan sudut pandang yang objektif. Sekalipun demikian, keduanya mempunyai kesamaan di antaranya: Sama-sama tidak tuntas membahas eksistensi Tuhan, Sama-sama memberikan argumen yang rasional tentang Tuhan. Objek bahasannya sama, yaitu tentang eksistensi Tuhan sebagai zat yang sempurna dan abadi. Namun demikian keduanya memberikan sumbangan yang besar dalam peradaban manusia yang dikenal sebagai rational beings dalam jagat Tuhan yang membentang luas ini. Sebagai makhluk rasional, bagaimana manusia menggunakan rasionya dalam memahami dan mencari jawaban berbagai persoalan hidup yang dilaluinya, apakah pemikiran pemikiran kritis itu diperlukan? Penulis akan mencoba menelusurinya melalui tulisan yang sederhana ini dalam rangka menyingkap dan mengungkap sisi kritis manusia dengan bantual nalar  yang dimilikinya dalam menjalani kehidupan.

B.      Kritis-Analisis ala Nabi Ibrahim
Menarik bila kita mengkaji kisah teologis yang dialami Nabi Ibrahim AS. dalam usahanya untuk mengenal dan menemukan Tuhannya ketika ia masih kecil yang terangkum dalam kitab suci al-Qur’an. Dikisahkan, ketika Ibrahim secara empirik melihat indahnya cahaya kemilau bintang yang bertaburan di langit, lalu berpikir inilah barangkali Tuhan yang telah menciptakannya, karena Tuhan itu pasti sesuatu yang Indah, berada di tempat yang tinggi, mulia dan banyak sekali jumlahnya, karena Tuhan itu pasti melebihi dari apa yang yang dimiliki oleh makhluknya. Tapi ketika Ibrahim terbangun di pagi hari, dan tidak melihat lagi adanya bintang di langit, lantas berpikir mana mungkin Sang Pencipta bisa hilang dan tidak kekal. Ibrahim menarik kesimpulan bahwa bintang-bintang itu bukan Tuhannya. Kemudian Ibrahim melihat matahari yang bersinar terang menerangi seluruh bumi, bagaikan sebuah bola lampu raksasa yang sangat besar ukurannya, kemudian Ibrahim berpikir, mungkin inilah Tuhannya, karena besar dan sangat terang, lebih besar dari bintang, tidak ada yang bisa menandingi kedahsyatan cahayanya karena mampu menerangi bumi dan sekitarnya. Tapi ketika senja menjelang, matahari semakin redup dan bahkan hilang dari pengamatan indranya, Ibrahim lalu berpikir mana mungkin Tuhan yang menciptakannya bisa redup lalu hilang dan tidak abadi keberadaanNya. Pengembaraan intelektual Ibrahim dalam mencari terus berlanjut. Ketika malam menjelang perlahan tampak olehnya bulan yang menerangi bumi yang gelap gulita karena diselimuti malam, sinarnya terang benderang, tapi cahayanya lembut dan tidak panas seperti matahari dan ukurannya lebih besar dari bintang. Ibrahim lagi-lagi berpikir ini pasti Tuhannya, karena ia begitu besar, indah, dan penuh kelembutan dan keindahan. Tapi keesokannya bulan yang dikiranya Tuhan itupun hilang. Ibrahim berpikir berarti bulan juga bukan Tuhannya, karena sebagai pencipta ia pasti bersifat kekal dan lebih kuat tentunya dari dari dirinya yang cuma sebagai makhluk. Artinya Tuhan itu tidak mungkin sama dengan ciptaannya, kalau Tuhan sama dengan ciptaannya berarti ia juga memiliki kelemahan, padahal Tuhan itu pasti Maha Perkasa dan Maha Agung.
              Itulah sepenggalan kisah monumental dan sarat makna yang diabadikan dengan indah oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 76-79.[1] Bagi penulis kisah rasional dan empirik[2] yang bersifat kritis-analisis Ibrahim dalam mencari Tuhannya itu bukan hanya sebuah kisah bernilai historis-teologis, yang kalau dibaca diharapkan akan semakin menambah keimanan kita kepada Nabi-nabi Allah karena mereka pesuruh Allah, tapi lebih dari itu kita bisa mengambil pelajaran yang berharga, yaitu  bagaimana Ibrahim menggunakan metode penalaran rasionya secara kritis dan pengamatan mendalam secara empiris yang berawal dari sifat keheranan dan keingintahuannya, sehingga memunculkan berbagai interpretasi untuk menjawab macam-macam pertanyaan menggoda di benaknya dan ingin segera menemukan jawabannya, lalu menimbulkan keingintahuannya pada Tuhan yang telah menciptakannya. Melalui perenungan dan penalarannya sendiri atas realitas dan fenomena yang dilihatnya secara empirik yang diurainya dengan penalaran (reasoning) yang logis, Ibrahim telah mencoba berlaku kritis. Sehingga melalui pengamatan dan perenungannya yang mendalam ia berusaha keras untuk menemukan suatu kebenaran realitas yang ingin diketahuinya. Sifat ingin tahu itu telah mengantarkan Ibrahim pada suatu hipotesa, bahwasanya ada suatu realitas yang berada di luar dirinya yang Maha Pencipta, Maha Perkasa, Maha Agung, Maha Mulia, Abadi dan tidak tertandingi kekuasanNya, Dialah Allah SWT Tuhan yang kita yakini keberadaanNya sebagaimana Ibrahim meyakininya.
            Dari peristiwa besar yang dialami Ibrahim tersebut meneguhkan, bahwa kita bisa bersikap selaku filosof termasuk bidang pengalaman sehari-hari yang dilalui. Sejak masa lalu seperti halnya di zaman Yunani kuno, filsafat atau hasrat kebijaksanaan dianggap mulai tumbuh bila manusia mulai bertanya-tanya yang disertai rasa kagum dan heran. Berfilsafat memang bisa berarti bertanya disertai rasa heran akan sesuatu. Kita menjadi sadar akan realita, bila kita membaca buku metafisika, filosof Yunani menggambarkan asas-asas filsafat yang pokok. Manusia berlainan dengan hewan, berpangkal pada pengalaman  yang menghasilkan keterampilan teknis dalam menangani barang-barang, dalam pikirannya ia akan menelusuri kembali gejala-gejala yang diamatinya,[3] sebagaimana yang dilakukan oleh Ibrahim dalam mencari Tuhan-Nya. Artinya ketika kita ingin tahu pada sebuah gejala, maka saat itu sebenarnya kita sudah memulai menyusun pikiran kita untuk mengetahui apa sesungguhnya gejala tersebut dan ingin menjawab segera rasa penasaran atau keingintahuan tersebut dalam sebuah konsep pemikiran yang kita yakini sebagai sebuah kebenaran.

C.      Manusia sebagai Rational Beings
Manusia adalah rational beings (makhluk rasional), karena itu pikiran terdapat dalam diri manusia tanpa terkecuali, baik mereka sehat atau sakit, sadar maupun tidak sadar. Berpikir hanya ada di dalam diri manusia, sebab pikiran adalah salah satu yang dapat membedakan manusia dengan hewan. Seperti yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa manusia adalah seekor hewan sosial atau seekor binatang dengan unsur-unsur tertentu yang khas, khususnya rasio dan tuturan.[4] Sebagai makhluk yang berpikir, dengan menggunakan rasionya itu manusia ingin tahu segala yang dilihat, dipikirkan dan yang dirasakannya. Makin banyak manusia tahu, makin banyak pertanyaan yang timbul. Manusia ingin tahu tentang asal dan tujuan, tentang diri sendiri, tentang nasibnya, tentang kebebasannya dan kemungkinan-kemungkinannya. Sikap ini sudah menghasilkan pengetahuan  yang sangat luas, yang secara metodis dan sistematis dibagi atas banyak jenis ilmu. Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan, sejumlah pertanyaan manusia masih tetap terbuka dan sama aktualnya seperti pada ribuan tahun yang lalu. Pertanyaan-pertanyaan seperti yang  diungkapkan dalam sajak yang kuno berikut ini:
“Aku datang – entah dari mana,
Aku  ini – entah siapa,
Aku pergi – entah kemana,
Aku akan mati – entah kapan,
Aku heran bahwa aku bergembira”…[5]
Pertanyaan-pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan kematian, tentang hakikat manusia tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan. Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin juga tidak pernah akan terjawab oleh filsafat. Namun filsafat adalah tempat pertanyaan itu dikumpulkan, diterangkan dan diteruskan.[6] Cara-cara kritis yang dimiliki manusia dengan mengajukan pertanyaan untuk dijawab secara rasional tampak dalam kisah teologis Ibrahim di atas, dan frame work filsafat dalam mencari sebuah kebenaran yang membutuhkan bantuan rasio tersebut. Artinya sikap kritis dalam filsafat dan teologis adalah sebuah keniscayaan yang dimiliki manusia untuk membuktikan dirinya memang sebagai rational beings yang berbeda dan lebih mulia dibandingkan malaikat sekalipun.
Dalam filsafat penggunaan metode empirisme merupakan sebuah prasyarat untuk mengetahui sesuatu secara kritis. Empirisme juga merupakan doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan atau konsep pemikiran. Bukti empiris (juga data empiris, indra pengalaman, pengamatan, pengetahuan empiris, atau a posteriori) adalah suatu sumber pengetahuan yang diperoleh dari observasi atau percobaan.  Bukti empiris adalah informasi yang membenarkan suatu kepercayaan dalam kebenaran atau kebohongan suatu klaim empiris. [7]
Bila teori empiris di atas ternyata oleh Ibrahim sudah puluhan abad yang lalu telah dipraktekkan dalam memecahkan persoalan teologis yang diahadapinya, yakni menelusuri siapa sesungguhnya Tuhan yang menciptakan dirinya dan alam semesta ini beserta isinya. Sesungguhnya Ibrahim telah mengajarkan kepada kita bahwasanya Tuhan itu sudah menunjukkan dan memproklamirkan dirinya melalui ciptaannya yang  bisa diamati dan dilihat oleh indra manusia secara empirik.
Suatu yang dialami Ibrahim dengan pengalaman empirisnya menemukan kesesuaian dengan apa yang dikatakan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) tokoh empirisme dari Inggiris, baginya filsafat adalah sutu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebeb filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat,  atau tentang penampakan-penampakan yang sedemikian seperti yang kita peroleh dengan merasionlisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta yang diamati, sedangkan maksudnya adalah mecari sebab-sebabnya.[8] Ibrahim melihat fakta yang nampak oleh indranya yang berawal dari keingintahuan, keheranan dan berakhir dengan kesimpulan final atas pengamatan yang telah dilakukan.
Selain empirisme, metode filsafat dengan penggunaan metode rasionalisme dalam mengungkap kebenaran sudah digunakan berabad-abad yang lalu sebagai sebuah metode yang banyak digunakan untuk mencari sebuah kebenaran realitas yang ada di sekitar kita. Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene Descartes (1596 – 1650) yang disebut sebagai bapak filsafat modern. Ia ahli dalam ilmu alam, ilmu hukum dan ilmu kedokteran. Ia menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus satu, tanpa bandingannya, harus disusun oleh satu orang sebagai bangunan yang berdiri sendiri menurut suatu metode yang umum.
Rene Descartes yang telah dikenal mendirikan aliran rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat dipercaya adalah akal. Hanya pengetahuan yang diperoleh lewat akal yang memenuhi syarat yang dituntut oleh semua pengetahuan yang ilmiah. Dengan akal dapat diperoleh kebenaran dengan metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti. Latar belakang munculnya rasionalisme adalah keinginan untuk membebaskan diri dari segala pemikiran tradisional (skolastik) yang pernah diterima tetapi ternyata tidak mampu menangani hasil-hasil ilmu pengetahuan yang dihadapi.[9]
Rene Descartes juga mengatakan agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat diperbaharui, kita terutama memerlukan suatu metode yang baik. Ia berpikir sudah mendapatkan metode yang dicarinya, yaitu menyangsikan segala sesuatu. Kesangsian  ini dijalankan seradikal mungkin. Kalau terdapat suatu kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal itu, maka itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan fondamen bagi seluruh ilmu pengetahuan. “Cogito Ergo Sum” yang artinya saya berpikir maka saya, demikian kata Rene Descartes dalam ungkapan Latinnya.  Berpikir baginya mengandung arti “menyadari”. Dalam filsafat modern kata “cogito” sering kali digunakan dalam arti kesadaran.[10]
Kedua aliran dasar filsafat tersebut (rasionalisme dan empirisme) di atas banyak membantu kita dalam mencari jawaban persoalan kehidupan. Bila empirisme menitikkan pengalaman (experience) sebagai cara untuk memahami sesuatu, maka dengan metode rasionalisme mengajarkan kita akan penggunaan penalaran (reasoning) untuk mengetahui  sesuatu. Di sinilah peran akal yang  merupakan anugerah Tuhan kepada manusia. Karena akal yang dimilikinya manusia menjadi istimewa dan lebih super dari makhluk lainnnya. Hal istimewa yang membuat manusia lebih mulia dan tinggi derajatnya dari makhluk yang lain yaitu manusia diberi kemampuan dan otoritas berpikir dengan akalnya, manusia dianugerahi oleh Allah dengan akal, sehingga dengan adanya akal manusia mampu memikirkan, memilih, memilah mempertimbangkan, menentukan jalan pikiran dan perbuatannya sendiri.

D.     Critical Thinking sebagai Ciri Manusia
Kritik artinya melihat apa yang pantas direnungkan dan apa yang harus diragukan.  Kalau Karl Marx mengatakan bahwa buruh menjadi barang yang dikuasai aturan pasar hal itu pantas direnungkan meskipun juga hal itu tidak berlaku seratus persen di Eropa, USA, dan Jepang yang neokapitalis.[11]  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kritis berarti; 1) bersifat tidak lekas percaya, 2) bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan, tajam dalam penganalisaan.[12] Berpikir kritis (critical thinking) adalah sinonim dari pengambilan keputusan (decision making), perencanaan strategis (strategic planning), proses ilmiah (scientific process), dan pemecahan masalah (problem solving). Arthur L. Costa menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah: menggunakan proses berpikir yang mendasar untuk menganalisis argumen dan menghasilkan wawasan makna tertentu,  interpretasi; juga dikenal sebagai pemikiran yang terarah.[13]
Dengan demikian dapat dimaknai berpikir kritis dalam artian sebagai proses penilaian yang tajam mendalam (radix) atau pengambilan keputusan yang penuh pertimbangan dan dilakukan dengan argumen dan analisa yang menyeluruh. Proses perumusan alasan dan pertimbangan mengenai fakta, keadaan, konsep, metode dan kriteria. Berpikir kritis sebagai proses merumuskan  alasan yang tersusun secara sistematis dan terampil dari menyusun konsep, mengaplikasikan atau mengevaluasi materi yang dikaji melalui proses pengamatan, pengalaman, refleksi, pemberian alasan atau komunikasi sebagai dasar dalam menentukan tindakan yang diambil. Berpikir kritis dapat muncul kapan dan dimanapun dalam  proses penilaian, keputusan, atau penyelesaian masalah secara umum, sehingga seseorang  tanpa terikat waktu dapat berusaha untuk mengetahui sesuatu yang perlu dipercaya, diketahui alasannya. Proses pengolahannya meniscayakan usaha dan reflektif-filosofis seperti mengamati, membaca, menulis, berbicara, dan mendengar dengan penginderaan yang dimiliki manusia manusia sebagai rational beings.
              Belajar filsafat berarti belajar berpikir kritis dan logis atas apa yang kita lihat, rasakan, dan alami dalam kehidupan di dunia. Sesuatu fenomena yang kita lihat di depan mata melalui pengamatan indrawi, bukan hanya sekedar kita amati begitu saja, tapi akan memunculkan berbagai macam pertanyaan  apa ini, mengapa begini, darimana ini, dan banyak pertaanyaan kritis lainnya.  Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tentu saja tidak muncul begitu saja, tapi berawal dari penalaran yang kita lakukan melalui mekanisme berpikir filosofis. Karena berpikir filosofis itu juga mempunyai ciri khusus, yaitu dimulai dengan bertanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi, yang pada akhirnya pertanyaan itu memerlukan jawaban terlepas benar atau tidak, lain soal. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kebenaran yang didapat secara filosofis itu bukanlah kebenaran yang  bersifat mutlak (absolute), tetapi kebenarannya bersifat nisbi (relative), artinya ia bukan sesuatu yang  final, tatapi ia bisa dikritik keabsahannya oleh teori lain yang lebih valid yang datang kemudian melalui uji validitas dan verifikasi yang berdasarkan kaidah ilmiah.
            Kemampuan berpikir kritis dengan berfilsafat adalah kelebihan utama manusia sebagai makhluk Tuhan yang rasional, ia juga merupakan suatu bagian penting dalam segala aspek kehidupan manusia yang sangat kompleks. Dalam konteks inilah relevansi keberadaan critical rationalism (rasionalisme kritis) yang merupakan corak pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh  filosof Austria Karl Raimund Popper. Menurutnya cara terbaik untuk mempraktekkan sikap rasional ialah selalu rela menerima kritik dan mengkritik diri sendiri.[14] Dengan demikian karakter kritis itu berlaku secara sosial dan individual. Secara sosial manusia tidak bisa terbebas dari kritik dari sekelilingnya dan harus siap dengan situasi dan kondisi seperti itu, sedangkan secara individual manusia juga harus melakukan kritik untuk dirinya sendiri, sebab sebelum melakukan kritik pada realitas di luar dirinya ia harus berani melakukan auto-kritik secara internal.
Berpikir kritis perlu digunakan dalam berbagai situasi dan kesempatan dalam upaya memecahkan problematika kehidupan kemanusiaan. Oleh karena itu menjadi penting pula seseorang untuk belajar tentang bagaimana berpikir kritis, karena tidak serta seseorang  merta mampu berpikir kritis tanpa melalui proses belajar. Berpikir kritis tidak akan muncul tanpa upaya  dan goodwill, tapi ia merupakan sebuah keterampilan yang didapatkan melalui proses panjang dan berkesinambungan, bukan merupakan sifat yang diwariskan secara turun temurun orang tua kepada anak. Untuk itu perlu adanya kesadaran dan upaya untuk mengajarkan tentang bagaimana berpikir kritis kepada siapapun dan dimanapun karena hal itu merupakan sebuah keniscayaan.
            Pada  masa  lalu dalam sejarah perkembangan filsafat bila kita cermati, misalnya Agustinus dan Rene Descartes memulai berfilsafat bukan dari kekaguman  atau keheranan, akan tetapi mereka berfilsafat dimulai dari keraguan atau kesangsian sebagai sumber utama berfilsafat. Manusia  heran, tapi kemudian ia ragu-ragu. Apakah ia tidak ditipu oleh panca indranya yang sedang heran? Rasa heran dan meragukan ini mendorong kita berpikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian  dan kebenaran yang hakiki. Berpikir secara mendalam, menyeluruh dan kritis seperti ini disebut berfilsafat.[15]
Secara umum berpikir kritis dapat diartikan sebagai upaya memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Dengan demikian berpikir kritis juga merupakan sebuah proses intelektual yang aktif dan penuh dengan keterampilan dalam membuat pengertian atau konsep, mengaplikasikan, menganalisis, membuat sintesis, dan mengevaluasi sebuah persoalan. Sehingga berpikir kritis adalah cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar yang difokuskan untuk menentukan apa yang harus diyakini dan dilakukan.
Sebagai metode pemikiran, filsafat selalu mempertanyakan tentang sifat dasar dan hakiki dari realitas, baik yang tampak nyata dalam pengamatan indra maupun yang tidak tampak (bersifat metafisis), merupakan sebagai sebuah teknik kritik. Filsafat secara internal dirinya sendiri mempertanyakan segala sesuatu secara terus menerus dan berkesinambungan.  Filsafat terkadang berani mengusik sesuatu yang mapan, terkadang tampak  “melawan arus”  mempertanyakan segala sesuatu yang kelihatannya sudah jelas namun dianggap tidak memuaskan. Filsafat menggali segala sesuatu secara mendasar, untuk menemukan pusat permasalahan yang harus dipecahkannya secara rasional dan bertanggung jawab sesuai kaidah pemikiran.
Sebagaimana diketahui bahwa filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hal-hal mendasar dan menyeluruh. Berbeda dengan cabang ilmu lainnya, filsafat mengkaji segala sesuatu secara menyeluruh. Ia terus-menerus mempertanyakan dan berupaya menjawab berbagai macam permasalahan yang tak dapat dijawab oleh cabang ilmu lainnya, dan juga pertanyaan lintas ilmu secara rasional dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, filsafat tidak dapat tidak bersifat kritis. Kritis di sini dalam artian terus menerus bertanya secara eksternal mempertanyakan hal-hal di luar dirinya (lingkup ilmu khusus) dan juga secara internal mempertanyakan diri sendiri, sehingga tidak berhenti pada sebuah klaim kebenaran tentang hal-hal fundamental dan mencari jawaban secara rasional dan bertanggung jawab.
Menurut Franz Magnis Suseno, sifat kritis merupakan merupakan tuntutan internal dari berpikir filosofis itu sendiri. Filsuf harus selalu kritis, bertanya dan mencari jawaban-jawaban rasional. Berfilsafat dengan demikian merupakan berpikir kritis; selalu harus bertanya secara fundamental dan mencari jawaban rasional. Di sinilah terletak tanggung jawab filsafat, yakni filsafat secara kritis terus menerus mempertanyakan dan juga harus berani menawarkan jawaban-jawaban rasionalnya bagi permasalahan-permasalahan manusia. Seorang filosof bertanggung jawab dalam mempertanyakan apa yang nampaknya sudah jelas dan juga berani mengajukan jawaban-jawaban rasional yang argumentatif, serta terbuka pada kritik, pertanyaan, dan verifikasi. Filsafat berusaha memberikan jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Dalam hal ini, filsafat juga terbuka terhadap segala kritik yang menyangkal jawabannya dan berani mengajukan argumentasi rasional secara objektif, sehingga jawaban yang diberikan bisa dimengerti secara intersubjektif.
Dengan demikian, filsafat memang sebuah ilmu kritik dan seni kritik, baik secara internal dan eksternal. Secara eksternal, ia terus-menerus mengajak ilmu-ilmu lain untuk beranjak dari kemapanan dengan mempertanyakan klaim-klaim mereka, dan secara internal, ia tidak ‘ajek ‘dalam suatu klaim kebenaran dengan selalu mempertanyakan dirinya sendiri.[16]
Dalam pandangan Sidi Gazalba memasuki dunia yang menggunakan perangkat akal, maka berfilsafat berarti berpikir, walau tidak semua kegiatan berpikir dapat dikategorikan berfilsafat. Berpikir yang dapat dikategorikan berfilsafat adalah apabila kegaiatan berpikir tersebut mengandung tiga ciri: radikal, sistematis, dan universal.[17] Berapikir radikal berarti berarti berpikir secara mendalam sampai ke akar-akarnya tidak tanggung-tanggung sampai pada konsekwensi yang terakhir dan tidak setengah-setengah, tidak berhenti di tengah jalan tapi sampai ke ujungnya. Berpikir sistematis adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran, urutan yang dapat dipertanggungjawabkan dan mempunyai hubungan yang saling berkaitan secara teratur. Sedangkan berpikir universal tidak berpikir khusus, yang hanya terbatas pada bagian-bagian yang tertentu melainkan mencakup secara keseluruhan.[18]
Dari  yang telah disampaikan di atas dapat dilihat adanya karakter dari seseorang telah memiliki kemampuan berpikir kritis. Seorang yang berpikir kritis selayaknya mempunyai sikap terbuka dan mudah untuk menerima adanya perbedaan. Di samping  itu juga mesti teliti dalam segala hal,  dan mempunyai standar baku dalam menilai sesuatu berdasar argument rasional. Argumen yang disampaikan selalu didasari oleh data-data akurat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan rasional. Mempunyai kemampuan dalam membuat kesimpulan dengan tepat dari beberapa pernyataan yang ada. Hal lain yang  tidak kalah pentingnya adalah berpikir kritis itu sebaiknya selalu memandang sesuatu persoalan dari berbagai sudut pandang yang berbeda dan objektif.
Kemampuan berpikir kritis adalah satu dari bagian penting dalam segala aspek kehidupan seseorang. Berpikir kritis digunakan dalam berbagai situasi dan kesempatan dalam upaya memecahkan persoalan kehidupan. Oleh karena itu menjadi penting pula seseorang untuk belajar tentang bagaimana berpikir kritis, karena seseorang tidak serta merta mampu berpikir kritis tanpa melalui proses belajar yang memerlukan metode dan sarana. Berpikir kritis adalah sebuah keterampilan yang didapatkan melalui proses panjang, bukan merupakan sifat yang diwariskan orang tua kepada anaknya. Untuk itu perlu adanya upaya untuk mengajarkan tentang bagaimana berpikir kritis kepada siswa di sekolah sedini  mungkin.
            Berpikir logis sebenarnya sesuai dengan al-Qur’an, secara teologis al-Quran sebagai kitab suci yang kita imani kebenarannya sebenarnya telah mengungkapkannya secara jelas tentang perlunya “membaca realitas”  yakni sebagaimana telah tersurat pada QS. al-Alaq: 1-3
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ

1.  Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.  Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.  Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah.
Bila kita analisis secara mendalam bahwa perintah untuk membaca tersebut, sebenarnya bukan hanya dimaknai sebagai membaca secara verbal teks, huruf dan tulisan, tapi lebih dalam lagi yaitu membaca realitas empirik yang ada pada diri kita dan sekeliling kita, alam yang terbentang luas, maupun yang berada di luar diri kita yang tampak maupun yang kasat mata, agar kita lebih mengenal siapa kita dan siapa Tuhan kita. Sudah sangat jelas bagi kita ungkapan “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhanya” atau senada dengan itu Plato telah menegaskannya ribuan tahun yang lalu “Kenalilah Dirimu”. Ungkapan di atas adalah basic fondation bagi kita bahwa mengetahui sesuatu, belajar sesuatu adalah sangat penting bagi peningkatan nilai-nilai humanity untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, karena yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain adalah bahwa manusia mempunyai pengetahuan, dapat berpikir, dan mengembangkan alam pikirannya secara luas, sehingga tidak berlebihan bila orang yang menggunakan akalnya dengan benar niscaya mendapat derajat yang  tinggi di sisi Tuhan.
Rene Descartes juga mengatakan bahwa untuk memperoleh pengetahuan yang terang dan jelas, maka terlebih dahulu kita harus meragukan segala sesuatu. Baginya, pengertian yang benar haruslah dapat menjamin dirinya sendiri. Untuk mendapatkan sesuatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya, Rene Descartes menggariskan empat langkah aturan sebagai berikut:
1.      Kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil sesuatu keputusan dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga mustahil disangsikan.
2.      Setiap persoalan yang diteliti dibagikan dalam sebanyak mungkin bagi sejauh yang diperlukan bagi pemecahan yang memadai.
3.      Mengatur pikir sedemikian rupa dengan bertitik tolak dari objek yang sederhana sampai pada objek yang lebih kompleks, atau dari pengertian yang sederhana dan mutlak sampai pada pengertian yang komplek dan nisbi.
4.      Setiap permasalahan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan.[19]
Dalam mengaplikasikan berpikir kritis diperlukan beberapa keterampilan, keterampilan yang harus dikuasai misalnya.
1.      Keterampilan menganalisis, keterampilan ini merupakan suatu keterampilan menjelaskan sebuah struktur ke dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut.[20] Dalam keterampilan tersebut tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki agar pembaca mengindentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses berpikir hingga sampai pada sudut kesimpulan. Kata-kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis, diantaranya: menguraikan, membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan, menghubungkan, dan merinci.
2.      Keterampilan mensintesis, keterampilan mensintesis merupakan keterampilan yang berlawanan dengan keteramplian menganalisis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya. Pertanyaan sintesis ini memberi kesempatan untuk berpikir bebas terkontro).
3.      Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah. Keterampilan ini merupakan keterampilan aplikatif  konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehinga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru.
4.      Keterampilan menyimpulkan, yakni kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang baru yang lain. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah simpulan. Proses pemikiran manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu : deduksi dan induksi. Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan yang baru.
5.      Keterampilan mengevaluasi atau menilai. Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu.
Keahlian dalam berpikir kritis memberikan orientasi akurat dalam ide dan tindakan, dan membantu dalam menentukan suatu korelasi dengan yang lainnya dengan lebih jelas. Oleh karena itu keahlian berpikir kritis sangat diperlukan dalam problem setting (pengaturan masalah) dan problem solving (pemecahan masalah). Pengembangan kemampuan berpikir kritis merupakan integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan , analisis, penalaran, penilaian, dan pengambilan keputusan.  

E.      Penutup
Kita menyadari bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan keraguan, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-dianya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita tahu dan apa yang kita belum tahu. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Demikian juga berfisafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah kita jangkau.[21]
         Berpikir kritis adalah suatu aktifitas kognitif yang berkaitan dengan penggunaan nalar  (reason). Belajar untuk berpikir kritis berarti menggunakan perangkat, proses-proses mental, seperti mengamati, memperhatikan, mengkategorikan, menyeleksi, dan menilai, lalu memutuskan dengan menggunakan berbagai pertimbangan logis dan rasional. Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan yang tepat dalam berpikir dan bekerja, dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih akurat. Oleh sebab itu kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah (problem solving), dan pengelolaan problem kehidupan. Pengembangan kemampuan berpikir kritis merupakan integrasi beberapa bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan (observasi), analisis, penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi. Semakin baik pengembangan kemampuan-kemampuan ini, maka kita akan semakin dapat mengatasi masalah-masalah yang komplek dan dengan hasil yang memuaskan. Namun yang perlu kita garis bawahi bahwa dalam sikap kritis tersebut sebaiknya secara fundamental tertanam di dasarnya sikap dan perilaku yang mengakui kekurangan dan kelemahan dengan kerendahan hati sebagai manusia yang mempunyai keterbatasan di mata Sang Pemilik semesta.
           



Sumber Bacaan

Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).

Bertens, Kees, Ringkasan Sejarah Filsafat, Cetakan X, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).

Brouwer, M.A.W., Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung: Alumni, 1980).

Costa, Arthur L.(ed.), Developing Minds, A Resource Book for Teaching Thinking, (Virginia: ASCD, 1985).

Gazalba, Sidi Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981).

Hadiwijono, Harun , Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990).

Hamersma, Harry, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Cet. III, (Yogyakarta: Kanisius, 1984).

http://www.uwsp/cognitif.htm.

Mandailing, M. Taufik, Mengenal Filsafat Lebih Dekat, (Yogyakarta: Idea Press, 2013).

Mudhofir, Ali, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1988).

Mustansyir, Rizal, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001).

Peursen, C. A. Van, Orientasi di Alam Filsafat, Cetakan V, (Jakarta: Gramedia, 1988).

Sumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan VI, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1990).

Supardan, Dadang , Pengantar Ilmu sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009).

Suseno, Frans Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992).

Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993).

Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).






[1] 76. Ketika malam Telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
77. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, Pastilah Aku termasuk orang yang sesat."
78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, Ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
79.  Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
[2]Empirisme adalah salah satu aliran yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengalaman itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Empirisme berpendirian bahwa semua pengetahuan diperoleh lewat indra. Indra memperoleh kesan-kesan dari alam nyata, untuk kemudian kesan-kesan tersebut berkumpul dalam diri manusia, sehingga menjadi pengalaman. M. Taufik Mandailing, Mengenal Filsafat Lebih Dekat, (Yogyakarta: Idea Press, 2013), hal. 115-117.
[3] C. A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, Cetakan V, (Jakarta: Gramedia, 1988), hal. 2.
[4] Dadang Supardan, Pengantar Ilmu Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hal. 26.
[5] Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Cet. III, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hal. 9
[6] Ibid.
[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990).
[8] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hal. 32.
[9] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 111.
[10] Kees Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Cetakan X, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 45.
[11] M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 48.
[12] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 466.
[13] Costa, Arthur L.(ed.), Developing Minds, A Resource Book for Teaching Thinking, (Virginia: ASCD, 1985), hal. 310.
[14] Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 17.
[15] Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal.2
[16] Frans Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 10
[17] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981)
[18] M. Taufik Mandailing, Mengenal Filsafat Lebih Dekat, hal. 27
[19] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 28 – 29
[20] http://www.uwsp/cognitif.htm
[21] Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cetakan VI, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 1990), hal. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar