Oleh: Muhammad Taufik
A.
Pendahuluan
Upaya manusia
untuk mengetahui segala sesuatu dan menjelaskan pengetahuan mengalami
tahap-tahap perkembangan (evolution)
dan perubahan (changs), baik masalah konsep maupun metodologi. Probelamatika
pengetahuan ini dibahas secara mendalam di dalam dunia filsafat. Fenomenologi
merupakan salah satu contoh abstraksi dari problematika tersebut. Ia tampil
dari pra-anggapan (pre judice) ketidaklayakan
metode-metode pendekatan yang ada terhadap pengetahuan.
Berangkat dari
sikap skeptis-metodologik, fenomenologi mengklaim dirinya sebagai metode baru
yang mampu menjembatani parsialitas metode-metode pendekatan yang telah ada.
Dalam kaitan ini, ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai
metode. Sebagai metode ia membentangkan langkah-langkah yang harus diambil
sehingga kita sampai kepada fenomena yang murni, kita harus mulai dari subyek
(manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada “kesadaran yang
murni”.[1]
Dalam konteks ini
problema yang menjadi pokok persoalan dalam fenomenologi adalah usaha untuk
mengkompromikan realitas dengan pikiran tentang realitas. Problema ini sungguh
akan menjadi sulit karena kita tidak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan
dengan kesadaran kita, dan kita juga
tidak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas itu sendiri.
B. Biografi Edmund Husserl
Edmund Husserl dilahirkan
di Prosswitz (Monravia) 1859[2],
dari keluarga Yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak,
matematika, dan filsafat. Mula-mula ia di Leipzig, kemudian di Berlin dan Wina.
Saat berada di Wina ia tertarik pada filsafat Franz Brentano. Husserl mengajar
di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun
1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga mengajar sebagi dosen tamu di Berlin,
Paris, London, Amsterdam, dan Praha. Husserl menjadi terkenal karena metode
fenomenologi, yang oleh murid-muridnya dikembangkan lebih lanjut. Husserl
meninggal tahun 1938 di Freiburg.[3]
Husserl juga
dikenal sebagai seorang rasionalis, ia memulai dari seorang matematikus, teori
pertamanya merupakan pembelaan pendekataan empirisisme John Stuart Mill. Ia
berpendapat bahwa kebenaran aritmatika dan geometri adalah generalisasi-simple
yang tetap baik dan tegas. Kritik G. Fregee telah merubah pemikirannya dan ia
kembali kepada posisi bahwa kebenaran-kebenaran tersebut harus ada sebagaimana
ia tampak ada, yaitu suatu kemestian.[4]
Menurut Kees
Bartens, berbeda dengan pemikiran Descartes, filsafat Husserl mengalami
perkembangan terus menerus sampai akhir hidupnya. Filsafat Descartes berjalan
terus seperti gerak garis lurus. Husserl pernah mengatakan bahwa ia adalah ein ewige anfanger, seorang pemula
abadi. Jika ia terbentur pada kesulitan baru, ia tidak membuang pemikiran
sebelumnya, tetapi seluruh persoalannya diselidiki kembali pada taraf lebih
mendalam. Itulah sebabnya antara lain mengapa filsafat Husserl sangat sulit
untuk diuraikan.[5]
Semasa hidupnya
Husserl banyak menghasilkan karya-karya berupa tulisan-tulisan yang dapat
ditampilkan di sini sebagai berikut:
1. Beitra gezur
Variationsrechnung (1883), yaitu disertasinya tentang filsafat matematika
yang membawanya meraih gelar Doktor.
2. Philosophie der
Arithmetik, Psychologische und Logische un Tersuchungen (Filsafat ilmu
berhitung, Penelitian-penelitian Psikologis dan Logis), (1891). Karya Husserl
ini mendapat kritik dari G. Fregee, seorang matematikus dan filosof ternama.
Berangkat dari kritik G. Fregee tersebut Husserl memperdalam dan merevisi
pemikirannya tentang pokok yang yang sama. Kemudian setelah sepuluh tahun
bekerja keras, ia dapat mempublikasikan bukunya Logische Untersuchungen sebanyak 2 jilid (1900-1901). Dalam buku
tersebut Husserl menguraikan permulaan reduksi, epoche, yang merupakan karakteristik pertama metode fenomenologi,
tujuannya adalah untuk mengalihkan pradugaan, pikiran dan untuk mengembalikan
pengalaman ke dalaam feenomenologi murni, kita juga mendapatkan bahwa perasan
baru telaah ke dalam kesengajaan.
3. Philosiphie als Strenge Wissenchaft ( Filsafat Sebagai Ilmu
Religious), (1911).
Sebuah artikel panjang yang
dapat dianggap sebagai program bagi
fenomenologinya.
4. Formale und Transzendentale Logik (Logika Formal dan
Transendental),
(1929).
5. Ideen Zu Einer
Phenomenologie und Phenomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk
suatu fenomenologi murni dan suatu filsafat fenomenologis), (1931). Dalam
karyanya ini Husserl menjadikan intensionalitas sebagai pusat telaah tentang
kesadaran manusia.[6]
6. Meditetions Cartesiennes
(Renungan gaya Descartes), (1931).[7]
Dalam karyanya ini Husserl mengatakan bahwa hal mengada dari benda yang
diketahui dikonstitusikan. Hal mengada ialah hal mengada dalam kesadaran.
Sedangkan mengada Absolut ialah “menyadari” dan hal yang bersangkutan dengan
kesadaran.[8]
C. Fenomenologi Husserl
Secara harfiah
fenomenologi[9] bermakna
pelajaran mengenai gejala-gejala. Istilah ini dirintis dalam dunia filsafat
oleh Immanuel Kant, yang merupakan pusat perhatian dalam peninjauan gejala.
Terhadaap popularitas pengertian ini, fenomenologi berhutang budi pada salah
satu mazhab filsafat yang telah dikembangkan oleh tokoh sentralnya Edmudn
Husserl. Bagi Husserl fenomenologi adalah suatu filsafat dari satu keseluruhan
tipe, yaitu suatu pengetahuan tentang kesadaran murni.
Jadi, fenomenologi
merupakan aliran filsafat yang membicarakan fenomen, atau segala sesuatu yang
menampakkan diri. Fenomen ini dapat dipandang dari dua sudut, yaitu fenomen
yang selalu menujuk keluar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran dan
fenomen yang berhubungan dengan kesadaran (fenomen selalu melekat pada
kesadaran kita).
Sebagai sebuah
metode, aliran ini memulai upayanya dengan terpadu untuk melukiskan isi
kesadaran. Artinya suatu pandangan hati-hati obyek terhadap stuktur yang pokok
dari benda kongkrit. Dalam hal ini adalah upaya untuk memahami esensi dari
obyek tertentu dengan realitas.
Fenomen yang
dimaksud oleh Husserl berbeda dengan Kant, bagi Kant, manusia hanya mengenal
fenomen dan bukan noumen, manusia hanya mengenal fenomen-fenomen (Erschenungen) dan bukan realitas itu
sendiri (Das Ding an Sich). Bagi Kant, yang tampak bagi manusia ialah semacam
tirai yang menyelubungi realitas di belakangnya. Kita hanya mengenal pengalaman
batin kita sendiri . Sedangkan bagi Huseerl, fenomen ialah realitas sendiri
yang tampak. Baginya tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan manusia
dengan realitas, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Ia mengatakan: Zuruck zu den Sachen Selbts, kembalilah kepada benda-benda itu sendiri.[10]
Bagi Husserl,
pengamatan sebagai media kita dalam mencapai realitas adalah hal yang saangat kompleks.
Kita mengamati sesuatu. Gambaran sesuatu yang oleh pengamatan dihubungkan
dengan kesadaran kita ada bermacam-macam dan berganti. Sekalipun demikian, kita
sering menganggap telah menangkap sesuatu secara benar. Setiap gejala
penampakan selalu kita terima sebagai realitas yang berdiri sendiri, padahal
itu tidak murni.
Usaha untuk
mencapai hakekat segala sesuatu adalah reduksi (penyaringan). Husserl
menngemukakan tiga macam reduksi, yaitu: reduksi Fenomenologis, reduksi
transendental, dan reduksi eidetis.
1. Reduksi fenomenologis, kita
harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud
mendapatkan fenomena murni. Arti
negatif dalam reduksi pertama semakin berkurang sampai kita
mendapatkan arti yang lebih positif,juga
smua menunjuk ke arah transenden sebagai
korelasi intensional dalam
aktivitas manusia dihentikan untuk dapat mengarahkan perhatian ke subyektifitas
transendent.
2. Reduksi transendental, penempatan di antara tanda kurung
dahulu ialah eksistensi
dan segala sesustu yang
tidak ada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni,
agar dari obyek itu
akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek itu
sendiri, dengan kata lain,
fenomenologi itui diterapkan pada subyeknya sendiri dan
perbuatannya kepada
kesadaran yang murni.[11]
3. Reduksi eidetis, penyaringan atau penempatan dalam tanda kurung
segala hal yang bukan eidos atau inti sari atau gejala atau fenomena. Hasil
reduksi kedua ini adalah penilikan hakekat. Artinya mengesampingkan semua segi
kegiatan aspek dalam fenomen yang hanya kebetulan atau berhubungan dengan obyek
individu tertentu. Hakekat dalam pengertian ini adalah struktur dasariah . Dan
ini meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat-sifat hakiki dengan kesadaran
dan obyek-obyek lain yang didasarinya. Analisa harus melihat segala sesuatu
yang ada dalam data, secara eksplisit dan sadar. Ia harus ada kesesuaian antara
subyek, perbuatan, obyek intensional, dan sifat-sifat. Kemudian harus ada
koherensi dalam deret kegiatan, yaitu setiap observasi memberi harapan akan
tindakan yang sesuai dengan yang melansungkannya.[12]
Dalam mengkaji
Husserl, tidak bisa tidak kita harus menguraikan tentang reduksi fenomenologis
dan reduksi transendentalnya. Prinsip dari reduksi ini adalah epoche, yaitu menunda pendapat atau
pertimbangan, sedangkan reduksi eidetis, yaitu merupakan babak penunjukan
hakekat (wezen). Kepercayaan kepada
dunia realitas harus ditangguhkan untuk mendapatkan wezen. Dengan melihat prinsip reduksi Husserl ini, kentaralah jalan
pikirannya mirip dengan metode Descartes. Namun reduksi Husserl tidak dapat
disamakan dengan kesangsian metodis Descartes. Reduksi tidak merupakan
kesangsian terhadap dunia, melainkan suatu netralisasi: ada tidaknya dunia
realitas tidak mempunyai peranan lagi. Bagi Descartes, kesangsian berarti: ada
tidaknya dunia realitas tidak relevan, persoaalan in dapat disisihkan tanpa
merugikan. Dengan mempraktekkan reduksi seperti ini kita sudah masuk ke dalam
“sikap fenomenologis”.[13]
D.
Kajian Pokok Fenomenologi Husserl
Inti pokok dari fenomenologi
Husserl adalah bahwa terdapat dua jenis “pengalaman” yang berbeda: pertama, pengalaman biasa (ordinary experience) yang ia sebut
sebagai intuisi-individual (individual
intuition), seperti: kesadaaran kita sekarang akan adanya tiga buah pisang
dan dua ekor ayam di atas meja. Kedua,
Intuisi khusus, yang di sebut oleh Husserl dengan intuisi esensial atau esensi
eidetik. Dalam jenis esensi yang kedua ini, kita tidak dapat melihat
benda-benda khusus, tetapi melihat kebenaran-kebenaran universal, atau esensi.
Husserl merevisi
pandangan Plato, yang juga menggunakan istilah eidos, menurutnya sesuatu seperti angka-angka dan segitiga serta
kebenaran aritmatik dan geeometri itu merupakan objek-objek dan hukum-hukum
ideal. Namun Husserl tidak seperti Plato, ia tidak meyakini bahwa
kesatuan-kesatuan yang hadir khusus ini
mempunyai eksistensi yang independen dari kesadaran manusia. Dalam hal ini Husserl
menerima kritik Aristoteles terhadap Plato, esensi-esensi seperti angka, segi
tiga dan hukum-hukum aritmatik dan geometri adalah ada dalam “kesadaran”, dan
fenomenologi adalah upaya mengkaji kesadaran agar dapat menentukan bagaimana
esensi-esensi tersebut ada.[14]
Dalam studi atas
kesadaran ini, pemikiran Husserl nampak berkembang, dari (seperti gurunya
Brentano) fenomenologi psikologis, yaitu psikologi deskriptif, yaitu psikologi
yang hanya mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan
mengenai sebab gejala-gejala (sebelum tahun 1908), ke-(setelah 1908)
fenomenologi transendental. Husserl berpendapat pada priode ini bahwa kesadaran
bukan “bagian” dari kenyataan tetapi merupakan
“asal” kenyataan. Atas dasar inilah tokoh besar fenomenologi ini menolak
bipolaritas “kesadaran alam”, subjek dan objek.
Dalam filsafat
barat sejak Descartes, kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup,
artinya, kesadaran mengambil diri sendiri dan hanya melalui jalan itu mengenai
relitas. Misalnya, kita mengenal pencerapan-pencerapan (sensation) kita, dan melalui jalan itu kita mengenal realitas.
Menurut Husserl bahwa kesadaran menurut kodratnya terarah pada realitas.
Kesadaran selalu berarti kesadaran akan….sesuatu. Atau menurut istilah yang
dipakai Husserl, kesadaran menurut kodratnya bersifat intensional.
Intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran.[15]
Maksud intensional adalah
bahwa kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari.
Supaya ada kesadaran, memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek,
bahwa subyek terbuka untuk obyek-obyek, dan bahwa ada obyek-obyek. Fakta bahwa
kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek
disebut “Intensionalitas”. Kesadaran tidak pernah pasif melulu, karena
“menyadari” sesuatu berarti “mengubah” sesuatu. Hal yang disadari dijadikan
seuatu yang ada bagi kita. Kesadaran itu tidak seperti suatu cermin atau foto.
Kesadaran itu suatu “tindakan”. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dan objek kesadaran (noema). Namun interaksi tidak dapat
dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang penting. Karena akhirnya hanya
ada kesadaran, objek yang disadari (noema)
itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.[16]
E.
Mendekati Agama dengan metode Fenomenologi
Secara transfaran Hesserl
memang tidak banyak memberikan uraian fenomenologinya dalam kaitannya dengan
agama. Tetapi dua konsep yang mendasari karyanya menjadi titik tolak
metodologis yang bernilai bagi studi fenomenologis terhadap agama. Sumbangan
teorinya Epoche dan Eidetis, dua istilah yang merupakan
sumbangan terbesarnya dalam fenomenologi. Epoche
yang secara tidak lansung menunjukkan tidak adanya prasangka yang akan
mempengaruhi pemahaman terhadap agama. Sedangkan pandangan Eidetis terkait dengan kemampuan melihat apa yang ada
sesungguhnya, artinya esensi suatu agama. Eidetik
mengandaikan Epoche, ia memberikan
kemampuan melihat esensi fenomeena secara obyektif, bahkan juga memebahas
persoalan subjektifitas dan refleksi.[17]
Penerapan term
fenomenologi dalam fenomenologi agama merupkan suatu yang menjanjikan, karena
fenomenologi dianggap memberikan pandangan yang sesungguhnya tentang
kepercayaan. Di samping itu metode ini dapat membuka wazen dan struktur dalam agama. Fenomenologi agama sendiri
merupakan salah satu dari sekian metode untuk mendekati rahasia dari agama,
agar inti agama dengan bentuk-bentuk gejala, lambat laun mulai menjadi terang.[18]
Mendekati agama
secara fenomenologis berarti, di satu pihak unsur mencari dan dan mendapatkan
suatu unsur di dalam kesadaran manusia dimana agama bisa dijelaskan letaknya
secara berimbang. Membina hubungan-hubungan antar agama, manusia dan kebudayaan
dalam arti kata letak dan munculnya di dalam kebudayaan sebagai suatu fenomena.[19]
Di samping itu fenomenologi berperan untuk mendapatkan pandangan yang
sesungguhnya tentang kepercayaan, orang akan memberi jawaban melalui
fenomenologi agama. Karena ia dianggap dapat membuka hakekat dan struktur
agama.[20]
Agama bergerak
dari individu menuju masyarakat. Dalam sikapnya menuju kebenaran terakhir ia
menantang kekurangan-kekurangan manusia; ia memperluas tuntutan-tuntutan
manusia dan mempertahankan pandangan tentang penglihatan lansung dari kebenaran
itu, sedikitpun tidak boleh berkurang. Maka kalau begitu mungkinkah kiranya
untuk menggunakan cara rasional murni (pure-rationality) dari filsafat terhadap agama?[21]
Ini merupakan pertanyaan skeptis Iqbal mengenai dapatnya misteri agama
disingkapkan dengan kekuatan akal murni manusia.
Ali Shari’ati
mengenai Islam, mengatakan jika kita melihat Islam hanya dari satu sudut
pandang saja, maka kita sebaiknya hanya melihat satu dimensi saja dari sekian
banyak jumlah sisi sebuah kristal.[22]
Shari’ati memandang agama seperti diri-Individu.[23]
Selanjutnya, berkaitan dengan hal ini ia mengajukan metode pendekatan baru
terhadap agama, yaitu dengan cara mengkaji individu-interpreter. Menurutnya ada
dua cara yang dapat dilakukan, pertama,
mempelajari dan mengkaji pemikiran dan ide-ide interpreter, dan yang kedua, mengkaji latar belakang
keberadaan agama.[24]
Dari permasalahan
yang diajukan oleh Iqbal dan Shari’ati tersebut menunjukkan, pertama, ketidakrelaan keduanya atas
dipandangnya agama tidak secara untuh dan komprehensif. Kedua, keduanya meneguhkan bahwa pendekatan terhadap agama
bercabang banyak, dan fenomenologi tidak tertutup kemungkinan untuk dijadikan
sebagai salah satu pendekatan.
Richard C. Martin
mengatakan bahwa dalam studi agama dikenal dua jenis pendekatan, yaitu
pendekatan believer dan pendekatan historian.[25]
Keduanya mencakup semua cabang pendekatan agama. Believer meliputi pendekatan
teologis dan fiqhiyah yang bercorak normatif. Sedangkan dalam historian, agama
didekati dalam alur sejarah yang kemudian ke arahnya agama di dekati secara
antropologis, sosiologis, dan psikologis. Kedua pendekatan tersebut kelihatan
“berlawanan”, namun keduanya bisa dianggap sebagai pendekatan yang cukup
berguna.
Dalam tataran
inilah fenomenologi tampil mendekati agama sebagaimana esensi agama tersebut
tampak. Karena dalam studi agama, fenomenologi tidak boleh membuat kontradiksi
di antara agama yang benar dan yang tidak benar. Fenomenologi diharapkan dapat
memberikan tawaraan yang memberi makna, mana yang murni dan yang tidak murni
untuk mencapai wezen.
Persoalan apakah dengan
demikian pendekatan fenomenologi dalam mendekati agama memadai dan paripurna
(dengan kata lain, mencukupkan diri denganya)? Ataukah ia hanya merupakan
sebuah konsep yang tidak memberi perhatian
pada makna?[26],
tergantung kepada kita bagaimana dalam meresponnya.
F.
Kesimpulan
Demikianlah
pembahasan terhadap fenomenologi Edmund Husserl, baik sebagai metode maupun
sumbangan pemikirannya terhadap dunia filsafat, karena fenomenologi telah
berperan besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat di abad modern ini. Dari uraian
di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini:
1. Kesadaran merupakan titik tolak bagi seluruh usaha dan sumber
segala makna bagi fenomenologi.
2. Fenomenologi berupaya mengarahkan pengertian kepaada isi
obyektif. Obyek pertamanya bukan pengertian tentang kenyataan, tetapi kenyataan
itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Shari’ati, “An New Aproach to Understanding of Islam”, dalam HS.
Bhatia (Ed), Studies in Islamic Low, Religion, and Society, (New Delhi:
Deep&Deep, 1989)
Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2002)
Harith Abdussalam, dkk., Fenomenologi Agama, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1983)
-------------------------, Fenomenologi
Agama, dalam jurnal al-Jami’ah, No.23, 1980
Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat,
alihbahasa, H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
(Yogyakarta: Kanisius, 1990)
Harry Hammersma, Tokoh-tokoh
Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983)
Kees Bartens, Filsafat Abad XX
Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983)
----------------,Panorama Filsafat
Modern, (Jakarta: Gramedia, 1987)
Muhammad Iqbal, Pembangunan
Kembali Alam Pikiran Islam, alihbahasa Osman Ralibi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1983)
M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat
Barat Modern dan Sejaman, (Bandung: Alumni, 1980)
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu,
Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme, (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 200)
Richard C. Martin, “Islam and Religious Studies”
dalam Aproaches to Islam in Religious
Studies, Richard C. Martin (Ed), (Tuscon: University of Arizona, 1985)
Robert C. Solomon, Introducting
Philosophy a Text With Readings, (Florida: Harcourt Brace Jovanovich, edisi
III, 1985)
[26] Walau
sebenarnnya banyak filosof beranggapan, seperti Bartens misalnya yang
menegaskan bahwasanya fenemenologi justru menaruh perhatian pada makna. Suatu
tesis umum dalam fenomenologi adalah bahwa manusia harus dipandang sebagi
makhluk yang memberi makna, lihat, Kees Bartens, Panorama Filsafat Modern,
(Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 51
Tidak ada komentar:
Posting Komentar