MENYIBAK HUBUNGAN ISLAM
DAN HEGEMONI BARAT
Oleh: Dr. M. Taufik Mandailing
Pendahuluan
Bila diamati dengan seksama banyak peristiwa yang terjadi di dunia global belakangan
ini, misalnya aksi pengeboman gedung World
Trade Center (WTC) di jantung Amerika (11 September 2001), New York, invasi
Amerika Serikat dan sekutunya ke Afghanistan dan Irak (yang bisa saja
ditafsirkan dalam bentuk neo-kolonialisme) yang hingga kini justru menimbulkan
konflik internal di kedua negara yang hingga kini tidak pernah berakhir, kisruh
kepemimpinan kawasan Timur Tengah seperti di Tunisia, Mesir, Yaman, Suria,
Libya, serta eskalasi konflik abadi antara Israel-Palestina yang tak pernah
berakhir. Peristiwa-peristiwa itu merupakan isu-isu dan dinamika global yang
menjadi konsumen berbagai media massa di penjuru dunia dan ditanggapi secara
beragam sesuai dengan kepentingan masing-masin bangsa.
Beragamnya peristiwa yang terjadi
seakan menguatkan tesis Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilization[2]
yang berargumen bahwa akhir dari perang dingin, yaitu dengan runtuhnya negara super power Blok Timur Uni Soviet (Soviet Union) akan terjadi era baru
yaitu terjadinya benturan antar peradaban yang akan mendominasi panggung
politik dunia. Dalam hal ini Huntington mensinyalir akan ada perang peradaban
antara Islam di satu sisi dan Barat di sisi lain. Walaupun bila kita kritisi
sesungguhnya tesis Huntington itu mempunyai banyak kelemahan karena sudut
pandangnya yang subjektif dan realitanya
tidak mesti sama dengan kesimpulan yang disampaikannya.
Namun belakangan ini dalam realitanya dalam posisi yang sering dihadapkan
secara berlawanan tersebut Islam selalu identik berada dalam pihak yang lemah,
terbelakang, miskin, sehingga praktis secara mudah dapat dihegemoni Barat, baik
dalam soal ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan (IPTEK), dan kebudayaan.
Pertanyaannya adalah mengapa dengan mudah Islam dapat dihegemoni oleh Barat?
Melalui tulisan ini penulis akan berupaya mencoba mengurainya dengan pendekatan
studi analisis dan historis, dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang komprehenship atas persoalan yang
terjadi.
Islam-Barat dalam Lintasan Sejarah
Bicara tentang Islam sangat luas
cakupannya, namun Islam yang penulis maksud di sini tentu bukan Islam dalam
pengertian ajaran atau seperangkat sistem nilai, tetapi adalah Islam dalam
pengertian negara-negara kawasan Islam dan negara-negara yang berpenduduk
mayoritas muslim dan dalam konteks ini termasuk juga Indonesia. Sedangkan Barat
yang dimaksud adalah Barat dalam pengertian negara-negara maju seperti Amerika
Serikat dan Eropa.[3] Dalam
pengertian lain Islam adalah agama,
sedangkan Barat adalah bangsa (setidaknya, dipersepsikan sebagai
bangsa).Istilah pertama, muncul karena faktor '' idealita '', yang membentuk
realita, sebagai peradaban kemanusiaan, yakni agama.Islam sebagai agama dan
peradaban, sebagaimana agama-agama yang lain, terbentuk karena tuntutan dasar
manusia yang tidak dapat dilepaskan dengan kebutuhan rohani.Kebutuhan ini
berasal dari kesadaran manusia akan kondisi keterbatasannya.Maka, menurut
Komarodin Hidayat, muncul dalam ide atau pikiran manusia akan adanya kekuatan
yang maha hadir (Omni Present) dan tak terbatas, yaitu Tuhan.Agama,
sebagai jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam dan Barat memang selalu dihadapkan
pada sisi yang berlawanan (paradox).
Posisi ini merupakan kontinyuitas sejarah hubungan Islam (Timur) dan Kristen
(Barat) di masa lalu yang memang penuh dengan akar-akar konflik. Paling tidak
ini sudah ditegaskan oleh John L. Esposito, bahwa sejarah konfrontasi ini telah
melibatkan berbagai peristiwa. Penaklukan Imperium Byzantium (Romawi Timur)
oleh Islam pada abad ketujuh, rangkaian Perang Salib abad kesebelas dan
keduabelas, ekspansi dan dominasi kolonial Eropa abad kelimabelas dan
keenambelas, serta penegasan kembali identitas Islam dan dunia politik[4]
seakan semakin mengukuhkan adanya pertentangan sepanjang masa tersebut antara
Islam di satu sisi dan Barat di sisi yang lain.
Umat Islam adalah umat yang terbesar kedua
setelah Kristen di dunia saat ini, sebagai umat yang terbesar kedua umat Islam
tersebar diberbagai penjuru dunia mulai dari Maroko (maghrib)
sampai kawasan Indonesia. Islam banyak terdapat di kawasan Timur Tengah,
sebagian Afrika Barat dan Afrika Utara, Asia Selatan, Asia Barat, dan Asia
Tenggara, serta sebagian Eropa Timur (semenanjung Balkan). Islam yang
berserakan diberbagai kawasan dunia itu selalu berada dalam suasana konflik dan
bergesekan dengan dunia Barat.
Kawasan Timur Tengah merupakan
kawasan yang paling sering terjadi gesekan tersebut. Kawasan ini menjadi
strategis karena merupakan kawasan yang banyak penduduk muslimnya dan kaya akan
sumber alam seperti minyak bumi. Untuk mengamankan posisinya di kawasan ini,
Barat memerlukan sekutu yang kuat untuk mendukung ekspansi ekonomi dan
kapitalismenya. Israel merupakan sekutu kuat Barat yang ada di kawasan ini.
Sementara Iran dalam hal ini selalu menjadi penentang Barat yang berani
melakukan perlawanan.
Secara historis memang ada hal
yang mengindikasikan terjadinya konflik tersebut. Sejarah membuktikan setelah
satu abad Nabi Muhammad wafat, Islam menjadi sebuah kekuatan besar dengan
bersatunya suku-suku bangsa Arab sehingga mampu bediri dalam Daulah Islamiyah yang sanggup
meruntuhkan dua imperium besar yang mengapitnya saat itu, Byzantium (Romawi
Timur) di bagian barat dan Persia di bagian timur. Pada abad berikutnya Islam
menyebar ke banyak bagian dunia yang membentang dari Afrika sampai Asia
Tenggara. Selain itu muncul kota-kita
besar Islam yang kini merupakan negara-negara di Asia Tengah (bekas Uni
Soviet), Cina, Eropa Timur, Spanyol, Italia Selatan dan Sicilia.[5]
Pengaruh dan perluasan kekuasaan Islam yang tersebar di beberapa benua tersebut
diakui sebagai sebuah prestasi fantastik dari Islam yang tidak terbantahkan.
Penyebaran Islam yang sangat
cepat dan dinamis itu merupakan ancaman serius bagi Kristen (Barat), baik
secara politik dan keagamaan. Tentara dan pedagang Islam sekaligus membawa misi
Islam. Islam dipergunakan sebagai alat
pemersatu, pemberi inspirasi, serta memberikan alasan bagi perlunya ekspansi
tersebut. Gagasan tentang perlunya jihad
(berjuang di jalan Allah) menjadi faktor penting bagi mobilisasi umat Islam.[6]
Islam yang disebarkan dengan semangat persamaan dan menentang perbedaan
kelas,suku, bahasa, budaya memang menjadi magnet tersendiri di tempat islam
berkembang dan menancapkan kekuasaannya. Perkembangan islam yang dinilai
spektakuler itu menurut sejarawan tidak bisa diabaikan dari peran dari para
mujahid dan pendakwah muslim yang berjuang dengan penuh keikhlasan demi
kejayaan Islam.
Kesuksesan para mujahid dan tentara muslim tersebut
dianggap sebagai suatu kekuatan untuk menentang keberadaan dan dasar-dasar
agama Kristen. Wilyah-wilayah taklukan yang tadinya mayoritas Kristen lalu
menjadi minoritas, dan Islam menjadi kekuatan mayoritas. Sehingga dengan
sendirinya budaya Arab sangat mempengaruhi wilayah taklukan[7].
Hal ini jelas sangat menimbulkan rasa kebencian yang sangat dalam bagi umat
Kristen saat itu. Islam yang bertumbuh kembang dari Sahara yang tandus dan
gersang mampu menjadi sebuah kekuatan yang sangat besar dan disegani saat itu,
sehingga mampu menguasai sebagian besar wilayah yang berpenduduk Kristen.
Selalu
saja ada hambatan psikologis di kalangan Kristen untuk menerima umat Islam
menjadi bagian integral dari masyarakat dan budaya Barat. Hambatan psikologis
ini belakangan kerap muncul dalam bentuk sikap Islamofobia di kalangan masyarakat
Barat terhadap Islam. Secara akademis, Islamofobia bermakna kebencian dan
ketakutan yang tidak masuk akal terhadap Islam.
Tidak jarang
istilah ini merujuk pada sikap tidak toleran (prejudice) dan stereotype yang
berlebihan terhadap Islam dan muslim. Istilah Islamofobia ini sering
disandingkan dengan istilah lain yang bermakna kebencian terhadap kelompok lain
seperti anti-Semitism ( terhadap Yahudi) dan xenophobia ( terhadap sesuatu yang
asing). Kata Islamofobia kerap menghiasi berita-berita di sejumlah media dalam
satu dasawarsa terakhir. Tidak jelas kapan dan siapa yang pertama kali
memperkenalkan istilah ini terutama dalam wacana hubungan Islam dan Barat. Yang
jelas, sikap dan ketakutan terhadap
Islam khususnya di beberapa negara Eropa dan Amerika semakin meningkatnya
serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Islam garis keras serta tindakan
teroris yang diklaim barat dilakukan sebagaian muslim yang anti barat. Secara historis, ketegangan hubungan
Islam dan Barat terjadi akibat proses globalisasi dan migrasi internasional.
Dua proses ini mengakibatkan banyak umat Islam melakukan migrasi dan menetap di
beberapa negara Barat. Suksesnya diaspora muslim di beberapa negara Barat
mengharuskan masyarakat Barat berhadapan dengan identitas dan budaya Islam yang
berbeda.
Barat merasa ada
kebutuhan yang mendesak untuk melindungi identitas, pandangan hidup, dan budaya
mereka dari serangan budaya Islam ini. Sayangnya, proteksi terhadap budaya
mereka yang berlebihan tidak jarang berujung pada sikap dan ketakutan yang tidak masuk akal terhadap
Islam. Kedatangan umat Islam di negara-negara Barat lalu dianggap sebagai
ancaman tersendiri bagi eksistensi nilai dan budaya Barat. Sayangnya,
sikap dan ketakutan terhadap Islam ini
seakan memperoleh pembenaran secara akademik ketika Samuel Huntington menulis
artikel yang berjudul Clash of Civilization (Benturan antar Peradaban).
Kebencian dan dendam kesumat
inilah merupakan salah satu faktor yang pada akhirnya menentukan hubungan Barat
dengan Islam yang semakin genting, dan pada awalnya bermula dengan melahirkan perang Salib. Perang ini ini
terdiri dari delapan ekspansi militer yang terjadi sejak abad kesebelas dan
ketigabelas yang membuat orang Kristen (Barat) melawan Islam. Dengan alasan
agama pada tanggal 27 Nopember 1095 Paus
Urban II memproklamirkan perang Salib dalam sebuah pidato yang berapi-api
dengan atas nama Kristus untuk membasmi
umat Islam dan membantu umat Kristen.[8]
Perang yang dianggap suci oleh umat Kristen tersebut ternyata telah mampu
membakar semangat Barat untuk merebut wilayah yang pernah dikuasai Islam,
khususnya Yerussalem di Palestina yang menjadi simbol kelahiran dan kebesaran
Kristen.
Bagi Islam, memori mengenai
perang Salib tetap hidup dan menjadi “memori kolektif” yang merupakan contoh
Kristen militan paling jelas, pertanda awal agresi dan imperialisme Barat-Kristen, sebuah kenangan yang hidup
menyangkut konfrontasi awal Kristen-Islam. Jika banyak orang menganggap Islam
sebagai agama pedang, maka kaum muslim selama berabad-abad membicarakan tentang
ambisi serta mentalitas Barat. Karena itu dalam konteks hubungan Islam dan
Barat, bukan masalah tentang apa yang sebenarnya terajadi pada perang Salib,
melainkan bagaimana peristiwa itu diingat.[9]
Perang salib dalam memori kedua belah pihak antara Islam dan Barat adalah
sejarah yang sulit dilupakan karena meninggalkan luka yang sangat dalam dan
membekas. Haru biru dan dendam kesumat saling tumpang tindih menjadi satu dalam
sanubari kedua belah pihak.
Setelah berakahirnya perang
Salib, Barat sekali lagi harus berhadapan dengan kekuataan baru Islam yaitu
Turki Usmani, hal ini bermula ketika Konstantinopel pusat kekuasaan Romawi di
Timur berhasil di kuasai Islam pada tahun 1453 di bawah Turki Utsmaniyah Islam
kembali bangkit menjadi daulah yang besar yang mampu menaklukkan wilayah besar
Arab dan Eropa. Namun kekalahan Angkatan Laut Utsmani di Lepanto pada tahun
1571 merupakan titik balik yang dianggap sebagai kemenangan Kristen Eropa
melawan Turki yang muslim, dengan demikian terjadi pergeseran kekuasaan
ketangan Eropa (Barat) yang mulai percaya diri dan memperoleh kekuatannya
kembali.[10]
Dari bukti sejarah tersebut
nampak bahwa antara Islam dan Barat memang sudah ada akar konflik yang terjadi
disebabkan oleh rasa kebencian yang mendalam dan akibat perang salib yang
berkepanjangan sangat sulit untuk dilupakan dalam ingatan masing-masing bangsa.
Ingatan kolektif tentang kebencian masing-masing kekuatan masa lalu akan selalu
terngiang dan menjadi demdam sejarah yang tidak pernah dilupakan.
Hegemoni Barat atas Dunia Islam
Setelah kekalahan Turki
Usmani dan terusirnya Islam dari Spanyol tahun 1492[11],
Islam lalu mengalami kemunduran, maka mulailah era baru Barat untuk menguasai
dunia Islam melalui kolonialisme. Hampir sebagian besar negara yang berpenduduk
Islam dikuasai oleh kolonialisme Barat, misalnya Perancis menguasai Afrika
Barat, Utara dan Tengah, Inggris di Palestina, Irak dan teluk Arab dan anak
benua India, Belanda dan Potugis di Asia Tenggra.[12]
Sedangkan Rusia menguasai negara-negara Islam di Asia Tengah. Kemunduran Islam
yang dimanfaatkan Barat dengan kolonialismenya telah mampu memecah belah umat
Islam dan merampok wilayah-wilayah Islam dalam penjajahan yang sangat lama dan
menindas. Kekayaan alam Islam dikuras, pemimpin-pemimpin Islam yang anti Barat
dengan peran medianya dihembuskan sebagai anti demokrasi dan pelanggar HAM (Hak
Asasi Manusia). Karena Barat menguasai Media, lewat propaganda-propaganda
sesatnya dikatakan bahwa Islam adalah agama pedang, agama teroris, menyukai
kekerasan dan anti kemapanan. Lalu, satu persatu wilayah Islam dikuasai, dengan
berbagai dalih Barat berusaha menancapkan kukunya untuk menguasai kawasan Islam
yang strategis secara ekonomi dan politik serta kaya sumber alam.
Islam yang berada dalam kekuasaan
Barat saat itu seakan tidak berdaya melepaskan diri dari cengkraman belenggu
penjajahan. Sebagai penjajah, Barat bukan hanya merampas hak-hak umat Islam
tetapi mengkondisikan Islam dalam kebodohan, ketertindasan, kemiskinan, dan
keterbelakangan. Dalam lapangan pendidikan Islam jauh tertinggal, karena tidak
mendapat kesempatan untuk maju dan berkreasi, kalaupun ada hanya sedikit
kesempatan yang bisa dilakukan, karena kuatnya kolonialisme menguasai dan
mencengkram. Dalam masalah HAM, umat Islam benar-benar dirampas hak-haknya
untuk hidup, berkarya dan bersuara, karena penjajah takut akan terjadinya
perlawanan, seperti yang dilakukan oleh Jamalauddin al-Afghani melalui gerakan
Pan-Islamisme-nya dan Muhammad Abduh di Mesir. Perjuangan keduanya untuk
membela kaum muslim justru berakibat pada pengusiran mereka dari negerinya.
Kolonialisme Barat dampaknya di
masa lalu dan warisannya, tetap hidup dalam wacana politik Timur Tengah dan di
seluruh dunia Islam. Kolonialisme secara litreral
telah mengubah peta geografis dan institusi Timur Tengah, atau mungkin
lebih tepatnya seringkali menciptakan batas geografis dan intervensi di banyak
negara muslim.[13]
Dengan beradanya Islam dalam cengkaraman kolonialisme ini mau tak mau Islam
berada dalam hegemoni Barat yang melakukan apa saja terhadap Islam. Sehingga
secara praktis Islam dikuasai dalam politik, sosial, budaya, dan ekonomi.
Hegemoni kolonial tidak hanya
mengakibatkan terjadinya eksploitasi dan diadopsinya teknologi ke dunia Islam,
tetapi juga mendorong upaya negara muslim untuk membuang hukum syariah yang diganti dengan hukum
sekuler ala Barat.[14]
Kekuasan kolonial telah melumpuhkan masyarakat muslim, membekukan pemikiran dan
mengaburkan sejarah muslim. Lebih buruk lagi, periode kolonial ini telah
meruntuhkan kepercayaan diri dengan menciptakan image akan ketidakberdayaan masyarakat muslim di hadapan Barat.[15]
Dalam koteks ini menurut analisa
penulis paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan Islam dengan mudah
berada dalam hegemoni Barat:
1.
Kejatuhan kekuasaan Turki Utsmani yang
diakibatkan kelelahan dalam memepertahankan wilayah kekuasaannya yang sangat
luas senantiasa mendapat rongrongan dari Barat yang berambisi menguasai kembali
wilayah mereka yang pernah diraih Islam, mulai dari Asia tengah sampai Eropa
Timur (Balkan). Sementara itu dalam kekuasaan Turki Utsmani terjadi perpecahan
yang berakibat makin melemahnya kekuasaannnya di dunia Islam, bahkan sama
sekali hilang dengan berdirinya Turki baru yang berbentuk republik sekuler di
bawah kepemimpinan Mustafa Kamal Attaturk.
2.
Pemimpin-pemimpin yang berkuasa kemudian
tidak mewarisi kecakapan yang dimiliki oleh pendahulunya seperti Muhammad
al-Fatih sang penakluk Konstantinopel dan Salahuddin al-Ayyubi yang dikenal
gagah berani melawan tentara Salib. Tidak dapat disangkal bahwa kuatnya
kekuasaan Turki Utsmani di wilayah Islam pada masa lalu karena sosok
pemimpinnya yang hebat, kesatria dan berpengaruh. Sementara pemimpin yang
belakangan tidak lagi bisa mewarisi pendahulunya tersebut.
3.
Tidak adanya idiologi etnik pemersatu antar
muslim yang barasal dari Turki dengan Arab dan bangsa muslim lainnya yang
tersebar di berbagai belahan dunia, yang muncul saat itu adalah sentimen antar
etnik. Masing-masing etnik saat itu saling membanggakan kelebihan
masing-masing, tidak lagi bisa disatukan di bawah idiologi Islam atau bendera ukhuwwah Islamiyyah yang tanpa melihat
golongan, kelompok, atau etnis tertentu.
4.
Tidak adanya jalinan komuniksi intensif
antara muslim di Asia misalnya dengan muslim di Afrika, karena islam memang
terpencar-pencar melintasi batas benua dan kultur yang sangat berbeda satu sama
lain.
5.
Tidak adanya persatuan yang kuat yang mampu
menjadi pengikat untuk semua umat Islam yang terdiri dari berbagai kultur dan
tradisi yang tersebar di berbagai kawasan.
6.
Hampir sebagian besar masyarakat Islam berada
dalam kemiskinan dan tergantung pada Barat. Karena kemiskinannnya sangat mudah
dipengaruhi dan di adu domba. Hanya sebagian kawasan Timur Tengah yang secara
ekonomi maju, tapi secara politis tetap saja banyak bergantung pada Barat dalam
rangka mengamankan aset mereka dari lawan-lawan politik regional.
7.
Dewasa ini umat islam sudah terbiasa dengan
gaya hidup konsumtif, sehingga kurang inisiatif untuk tidak tergantung pada
bangsa lain. Berbeda bila di bandingkan pada abad pertengahan, islam mampu
melahirkan ilmuan berkaliber Internasional seperti ahli kesehatan Ibn Sina,
sosiolog Ibn Khaldun, Filosof Ibn Rusyd, dan banyak lainnya.
Upaya untuk Eksis
Kalau dipetakan paling tidak
ada dua sikap yang perlu dilakukan umat
Islam dalam merespon hegemoni Barat saat ini.
1.
Melakukan pembaruan disegala aspek dengan
meniru Barat, seperti sekularisme yang dilakukan oleh Mustafa Kamal Ataturk
(1881-1938) di Turki. Cara yang ditempuhnya adalah dengan meniru Barat dalam
segala bidang, dengan memodernisasi diri
yang cenderung memisahkan antara bidang garap agama dan politik. Di samping itu
Ataturk berupaya mengikis habis ajaran Islam yang dianggap sebagai belenggu
Turki selama ini menuju kemodernan.[16]
Tidak jauh berbeda dengan Turki, sebagian negara-negara Islam di kawasan Timur
Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain [17]
juga menerima Barat dengan hegemoninya, negara-negara terseebut merasa nyaman
hidup di “ketiak” negara Super Power
Amerika. Negara-negara kaya minyak tersebut seakan menjadi sekutu kental
Amerika di Timur Tengah dengan bersedia menjadikan negaranya sebagai pangkalan
armada tentara (mesin perang) Amerika yang justru untuk menghancurkan saudara
Arabnya yang muslim, seperti serangan ke Irak yang belum lama ini misalnya.
Amerika yang sangat bergantung
pada minyak dalam memenuhi kebutuhan negerinya yang besar mencari patner
seperti negara-negara di atas dengan memberikan imbalan berupa jaminan keamanan
regional di kawasan Timur Tengah dari negara Paman Sam tersebut. Menurut hemat
penulis barangkali dengan alasan inilah kenapa Amerika dengan sekutunya begitu
ambisius menginvasi Irak yang dinilainya “ngeyel” karena tidak mau bekerja sama
dengannya, padahal siapapun tahu bahwa Irak mempunyai cadangan minyak yang
banyak. Sehingga dengan segala cara Amerika menyerbu Irak dengan berbagai
alasan, mulai pemimpinnya yang otoriter, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia),
mengembangkan senjata pemusnah massal (yang hingga saat ini tidak pernah ada
buktinya).
2.
Mengadakan penolakan terhadap hegemoni Barat,
tidak banyak negara-negara muslim yang berani menentang dominasi Barat
tersebut, barangkali bisa disebut di sini hanya Libya dan Iran (yang disebut
Amerika akhir-akhir ini dengan sebutan negara poros jahat). Libya yang sering
disebut sebagai sarangnya penghasil teroris, sebutlah misalnya pembajakan
pesawat Pan Am milik maskapai penerbangan Amerika Serikat di tahun
delapanpuluhan. Namun sekarang Moammar Khadafi presiden Libya sudah tumbang. Dan
ke depan Barat menganngga bahwa Libya tidak lagi menjadi ancaman, karena sudah
tidak lagi di bawak kekuasaaan Khadafi. Sedangkan Iran dalam hal ini mungkin
dianggap oleh Amerika tidak akan mengancam hegemoninya di Timur Tengah karena
Iran sendiri tidak kelihatan “melawan dengan keras” seperti halnya Irak di masa
Saddam Hussein. Barat beranggapan Ahamadinejad bukanlah lawan tangguh, karena
ia tidak mendapat dukungan dari kawasan Timur Tengah. Sungguhpun demikian
Amerika sebenarnya tetap waspada dengan militansi Syi’ah yang sewaktu-waktu
menyerang kepentingan Amerika Serikat. Adapun Palestina[18](negara
muslim yang diabaikan saudaranya sesama muslim), tidak akan jauh berbeda
nasibnya hari ini dan esok, karena Israel yang disebut “golden boy”nya Amerika di Timur Tengah akan selalu menghabisi
rakyat Palestina sehingga benar-benar terusir dari tanah tumpah darahnya.
Walaupun demikian, sampai hari ini rakyat Palestina tetap melakukan perlawanan (intifada) untuk melepaskan diri dan
merdeka dari agresi dan hegemoni zionisme Israel yang didukung penuh Amerika
Serikat dan sekutu-sekutunya tersebut.
Dalam hal inilah apa yang
dilakukan oleh sebagian pejuang Palestina dengan aksi bom bunuh diri di kota Tel Aviv, West Bank
(tepi barat), dan Gaza
(yang disebut media Barat sebagai tindakan teroris) merupakan salah satu bentuk atau cara untuk
melepaskan diri dari hegemoni tersebut. Dan ingin menunjukkan pada dunai bahwa
mereka masih eksis dan tetap melakukan perlawanan terhadap neo-kolonialisme
Israel dan Barat. Terlepas dari dianggap teroris atau tidak, tindakan tersebut
menurut hemat penulis itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan rakyat
Palestina untuk melawan kebiadaban Israel selama ini merampas hak-hak, tanah,
politik mereka.
Aksi bom bunuh diri dan teror di atas
jelas menimbulkan efek persepsi yang besar, berupa terciptanya persepsi global
dalam waktu singkat tentang peristiwa tersebut yang menarik perhatian, keingintahuan
dan kesadaran masyarakat yang besar. Diperkirakan sekitar satu milyar manusia
di seluruh dunia dalam kurun waktu yang bersamaan menyaksikan image serangan
teroris tersebut. Dengan segala efek kerusakan, kepanikan dan ketegangan yang
ditimbulkan lewat berbagai media surat kabar, radio, televisi dan internet.
Berbagai media itu telah menjadikan aksi terorisme tersebut sebagai sebuah
tatanan global.
Di samping itu,
aksi teror juga menimbulkan efek psikologi yang mendalam, berupa ketakutan,
panik dan trauma yang sangat mendalam, tidak saja skala lokal tetapi juga
global. Selain itu juga aksi teror telah memperlihatkan kepada dunia bahwa
terorisme kini telah berkembang dalam paradigma strategi dan taktiknya ke arah
apa yang disebut sebagai hiperterorisme, yaitu terorisme yang menguasai dan
memanfaatkan berbagai bentuk teknologi mutakhir terutama kelemahannya:
teknologi pengamatan seperti kamera dan televisi, teknologi pengawasan seperti
radar, teknologi interaktif seperti internet dan teknologi komunikasi seperti
telepon seluler. Sementara itu, hal-hal yang melatarbelakangi munculnya
terorisme sangat beragam, seperti penentuan sendiri, aksi bertahan terhadap
rezim otaliter, keputusasan akibat tekanan sosial, ekonomi, maupun politik.
Sementara itu, motifnya juga bisa beragam, bisa masalah politis, cinta segi
tiga, persaingan bisnis, kriminal murni, dendam pribadi, atau motif yang
lainnya, seperti ingin mengembalikan hak kemerdekaan, dan hak azazi manusia
kepada bangsa yang terjajah, atau orang yang terusir dan terasing dari tanah
airnya sendiri. Kesenjangan
ekonomi dan ketidakdilanlah yang menumbuhkan serta menyebarkan benih-benih
kehadiran aksi terorisme internasional itu.
Sampai di sini,
dapat disimpulkan bahwa gerakan Islam yang galak (ekstrim) menjadikan Islam dan
Barat saling curiga. Islam menilai Barat sebagai lawan, begitu juga sebaliknya
Barat memandang Islam sebagai ancaman. Salah satu solusi yang dapat ditawarkan
dalam konteks ini adalah mewujudkan kesadaran dari kedua belah pihak (Islam dan
Barat) akan pentingnya dialog peradaban. Sebab, selain mampu menekan seminimal
mungkin benturan primordial baik primordial kebangsaan maupun keagamaan, dialog
peradaban berarti juga masing-masing pihak dengan secara keterbukaan melakkukan
sharing peradaban untuk menciptakan masa depan tatanann dunia yang lebih damai.
Dalam dialog peradaban ini, perbedaan SARA tidak diposisikan sebagai faktor
penyebab konflik, melainkan dikembangkan menjadi mozaik yang dapat memperkokoh
bangunan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan
derajat, dan kemanusiaan. Pertama, tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada
Islam sesunguhnya muncul sebagai akibat dari perilaku sebagian umat Islam
sendiri yang cenderung ekslusif dan pemahamannya yang literalistik terhadap
teks al-Qur'an dan hadis. Kedua, keberadaan kaum fundamentalisme baik Islam dan
Kristen merupakan kendala bagi terciptanya hubungan baik antara Islam dan
Barat, dialog antar peradaban adalah salah satu solusi yang dapat ditawarkan
demi terwujudnya hubungan yang haronis di antara kedua belah pihak.
Penutup
Dari uraian di atas dapat
kita analisa sendiri begitu mudahnya Islam berada di pihak yang dukuasai oleh
Barat, baik dari segi politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan sains dan
teknologi. Ada baiknya kita belajar dari pengalaman Barat bagaimana mereka
bangkit dari kekalahannnya dengan tanpa harus mengilangkan citra kita sebagai
muslim, agar kembali mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi ke dunia Islam
untuk menghantarkan kembali kepuncak
kejayaan, sehingga Islam tidak mudah dikuasai dan politisir oleh bangsa
manapun, termasuk Barat sekalipun. Memang sangat ironis, di saat bangsa Eropa
bersatu dalam Uni Eropa (Eropean Union)
dan MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) dan disatukan lewat mata uang bersama, Euro.
Sangat di sayangkan Islam justru terpecah-pecah dalam untuk kepentingan sesaat
dan berbeda tanpa adanya persatuan dan kesatuan. Apapun bentuknya, Islam memang
perlu bersatu dalam melawan anarkhisme dan tirani agar terbebas dari hegemoni dan
dominasi Barat.
Daftar Pustaka
Albert Hourani, A History of The
Arab Peoples, (New York: Cambidge, 1991) Akbar S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim
History and Society, (London and New York: Rouledge, 1988)
Bertold Spuler, The Muslim World:
A Historical Survey, (Leiden: E.J. Brill, 1960)
Fucher de Chartres, A History of
The Expedition to Jerussalem, Ed. Harold S. Fink (Knoxi-Ville, The Univ.
Tenesse Press, 1969)
John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Terj. Alwiyah Abdurrahman dan
Missi, (Bandung: Mizan, 1996)
---------------------,Islam dan
Politik,
terj. H.M. Yosoef Soeyb, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
Maryam Jameelah (Margaret Marcus), Islam
dan Modernisme, terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, (Surabaya: Usaha
Nasional, 1982)
Patrick J. Bannerman, Islam in Perspective, (London: Rouledge, 1988)
Ruswan Thayib, “ Development of
Muslim Educational System in The Classical Periode (600-1000 AD): an Overview”,
dalam Dinamics of Civilization,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1988)
Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization”, dalam Foreign Affairs, Edisi Summer, 1993
Samuel P. Huntington, Benturan
Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Yogyakarta :
al-Qalam, 2001)
Sayyed Hassein Nasr, “Islam and The Environmental Crisis” dalam The Islamic Quarterly, Vol. xxxiv, 1940
[1]
Penulis dosen tetap Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, juga dosen luar biasa di STAIYO.
[3] Barat
secara universal kini digunakan untuk menunjuk
pada yang disebut dunia Kristen Barat, Barat dengan demikian, adalah
sebuah peradaban yang dipandang sebagai penunjuk arah dan tidak identik dengan
nama orang tertntu, agama, atau wilayah geografis. Dalam hal ini bisa disebut
USA, Amerika Utara dan Selatan, Eropa dan negara-yang dihuni oleh orang Eropa
seperti Australia dan New Zaeland. Lihat Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik ……hal. 51
[18] Mengenai
problem yang muncul antara Israel
dan Palestina merupakan suatu kasus keterlibatan persekongkolan antara AS dan
negara Zionis tersebut dalam menanamkan pengaruhnya, menjaga kepentingan dan
menancapkan kukunya di Timur Tengah khususnya dalam ekonomi dan politik. Albert
Hourani, A History of The Arab Peoples……….,
hal. 426
Tidak ada komentar:
Posting Komentar