TEOLOGI DAN HUMANISME
DALAM FILSAFAT CINA
A. Pendahuluan
Cina merupakan bangsa yang besar
dan mempunyai peradaban yang berumur ratusan
tahun dan hingga kini masih kuat berpegang pada tradisi yang telah dibuat
oleh leluhur mereka. Di samping kebesaran peradabannya, Cina juga menempati
ranking pertama penduduk terbesar di dunia, serta mempunyai wilayah yang sangat
luas. Dalam tradisi mereka itu tercakup berbagai pemikiran tentang Tuhan dan
manusia dan hubungan yang terjadi antara keduanya.
Filsafat Cina tidak cenderung
terlalu ekstrim menekankan pemikiran filsaafat “ke luar” maupun “ke dalam”.
Filsafat Cina lebih menekankan keseimbangan di antara keduanya. Masalah
ketuhanan tidak termasuk menjadi masalah utama, walaupun sebenarnya Konfuciusme
dan Taoisme ada menyinggungnya, namun tidak secara sistematis dan metodologis.
Tapi sebaliknya masalah kemanusiaan termasuk menjadi perhatian utama.
Sungguhpun demikian akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana sebenarnya
konsep teologis dan humanisme dalam alam filsafat Cina.
Selama ini memang sedikit penulis
yang mencoba mengeksplorasi tentang masalah ketuhanan dan manusia dalam kultur
bangsa Cina, sebab banyak penulis lebih concern pada Barat dan Islam (walau ini
juga termasuk dalam kajian Timur), sehingga pembahasan tentang Cina hanya
mendapat porsi yang sedikit. Oleh karena itu penulis mencoba menguak “Tirai
Bambu” pemikiran tentang bagaimana konsep teologi dan humanisme dalam pemikiran
filsafat Cina.
B. Konsep Teologi dalam Tradisi Cina
“Berkata rasul-rasul mereka:
"Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi..”
(Q.S. 14.10)[1]
Di
atas adalah dalil qur’ani dalam Islam tentang hipotesa tentang Tuhan. Tuhan (sesudah
kita membatasi arti perkataan itu) ada atau tidak ada. Walaupun kepercayaan
kepada Tuhan itu terdapat dalam beberapa agama, dan walaupun agama Yahudi,
Kristen, dan Islam merupakan agama-agama yang monoteistik (tauhid), tetapi ada
agama-agama seperti agama Budha yang tidak mengandung kepercayaan tentang
Tuhan. Oleh karena itu sangat penting sekali kita menyelidiki problem tentang
adanya Tuhan.[2]
tidak mengandung
Sebagaimana bangsa-bangsa lain di
dunia, bangsa Cina juga mempunyai rumusan tentang teologi yang mengatur
hubungan mereka dengan tuhannya dan sesama mereka. Dalam kehidupan yang
dijalani oleh bangsa Cina mereka ada mengenal “Thien” (Surga) dan “Shang-ti”[3] (Tuhan
Yang Maha Tinggi) sebagai yang mempunyai kuasa Tertinggi yang a personal. Ia merupakan suatu
keteraturan universal yang meresapi seluruh realitas. Kekuasaan tersebut
bersifat baik dan bijaksana, Ia memerintah seluruh alam semesta dengan sangat
adilnya. Mereka percaya bahwa proses awal alam ini diciptakan berawal dari penciptaan
Tuhan pada dua hal: “Nafas dan Kekuatan”, kedua kekuatan inilah yang kemudian
menjadikan segala sesuatu yang terbentang di alam semesta ini. Yang pertama
terang seperti cahaya, panas, dapat bergerak dan bersifat hidup, ia disebut
dengan Yang. Yang kedua gelap,
dingin, berwujud benda padat dan tak bergerak, dan disebut dengan Yin.[4]
Dalam kosmologi Cina puncak
segala sesuatu sebelum ada Yin dan Yang adalah Tai Chi (Puncak Yang Agung), yang kemudian melahirkan unsur Yin dan Yang dalam kehidupan. Yin dan
Yang dipahami sebagai prinsip-prinsip
eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif. Yin dan Yang merangkul
satu sama lain dalam suatu keselarasan dan keterpaduan. Keduanya menghasilkan
banyak hal, yaitu segala sesuatu yang ada. Simbol Tai Chi dan Tao,
melukiskan Yin dan Yang sebagai gerakan dan perubahan yang
konstan. Yin dan Yang adalah prinsip-prinsip perubahan dan simbol bagi seluruh
gerakan di alam semesta.
Daya cipta sifat Tuhan yang
memberi gerak dan hidup kepada sesuatu, itulah Yang, sedangkan Yin
adalah zat yang diberi kemampuan bergerak dan hidup itu. Yang
bersifat memberi dan memperbanyak, Yin
memperbanyak dan menyimpan. Dari Yin
dan Yang terbentuklah air, bumi,
kayu, logam dan api. Dari kelima bahan itu dijadikanlah dunia ini dan semua
makhluk yang hidup di dalamnya. Yin
dan Yang keduanya tunduk pada hukum
alam, sehingga dalam gerak geriknya nampak ada satu atauran dan rhytme (irama) yang meliputi dan mengisi
setiap ruang dalam alam raya ini, seperti perputaran bumi, bulan, matahari, perubahan
musim dan lainnya. Ritme ini dalam pemikiran filsafat Cina mereka namakan
dengan “Tao”, yaitu “jalan”, jalan bagaimana segala sesuatu di dunia ini
dijadikan, dan jalan bagaimana orang mengatur hidupnya. Sebab bila ia mengerti
“jalan” itu maka ia akan selamat dan bahagia karena mendapat berkah dari Tuhan.
Sebaliknya bila orang tidak menurut pada “jalan” tersebut maka akan banyak
mendapat kesukaran dan kesengsaraan dalam hidupnya.[5] Menurut
Lao-tse[6] “ Tao
tidak dapat dilihat, didengar, bahkan tidak dapat disebut. Alangkah tenangnya Tao ini. Ia tidak berbentuk tapi ada di
mana-mana. Semua yang ada di dunia ini tergantung pada Tao untuk dapat hidup, Ia mencintai semua makhluk dan memberi makan
semuanya dan tidak berharap dibalas budinya, semua berasal dari Tao dan kembali kepadanya. Ia terkecil
dari yang kecil dan yang terbesar dari yang terbesar. Demikian Lao-Tze
menggambarkan Tuhan yang sisebutnya dengan Tao tersebut.
Filasafat Taoisme mengajar orang
supaya menerima nasib, baik suka dan duka, bahagia dan bencana sama saja dalam
pandangan Taoisme. Oleh karena itu
seorang penganut Taoisme dapat
memikul suatu penderitaan dengan hati yang tegar seberat apapun cobaan
tersebut.[7] Hal ini
dasarkan pada keyakinan dan kepercayaannya pada “Tao” sebagai jalan Tuhan.
Supaya orang dapat menyelaraskan
hidupnya dengan dengan Jalan Tuhan, maka menurut Taoisme, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan baik.
Dari Tuhan ia mendapat sifat yang membimbing ke arah kebaikan , yaitu ramah,
sopan, cerdas, jujur, dan hormat. Kelima sifat baik ini harus ada pada manusia,
maka ia akan salah kalau tidak menggunakan sifat tersebut, tapi bila ia
menggunakannya maka akan bisa menjaga hubungan dengan sesama manusia dan juga
alam.[8]
Berbeda dengan Taoisme tentang konsep Tuhan, bagi Konfucius[9] Tuhan
bukan berbentuk manusia. Tuhan jarang dipahami secara demikin di zamannya dan
menolak gagasan yang berkaitan dengan hal itu. Jika dipahami cara konfucius
memahami Tuhan tampak dalam pandangannya istilah ini menggambarkan suatu
kekuatan moral dalam alam semesta yang dipahami secara samar-samar. Ia memberikan pengutamaan yang
sebesar-besarnya pada ikhtiar manusia, dan Tuhan sekiranya hanya menolong.
Karena ia melihat orang yang jahat hidupnya makmur sedangkan orang yang baik
justru sengsara. Meskipun demikian konsep mengenai Tuhan memberinya perasaan
bagaimana ada suatu kekuasaan yang berdiri di pihak mereka yang kesepian yang
memperjuangkan kebenaran[10]
Barangakali dalam konteks inilah Nietzsche[11] seorang
filosof Jerman mengatakan bahwa Tuhan itu telah mati (Got is tot), ia mengatakan demikian karena ia melihat bahwa Tuhan
tidak memperlihatkan kekuasaannya atau perannya ketika ada penindasan pada yang
lemah oleh yang berkuasa, sedangkan Tuhan tidak berbuat apa-apa. Akhirnya ia
hal tersebut membuat ia skeptis terhadap keberadaan dan peran Tuhan.
Dewasa ini, Konfucianism memiliki
fungsi dan kedudukan ganda, antara lain sebagai filsafat, maupun agama. sebagai
sebuah system filsafat, maka Konfucianism menekankan bidang etika sebagai
aturan tingkah laku dan pedoman umum bagi para penganutnya, sehingga sering
dikatakan bahwa Konfucianism sering dikatakan system filsafat yang humanistic.
Sementara sebagai budaya, Konfucianism dapat ditelaah melalui perkembangan
ajarannya yang hampir mewarnai sebagian besar budaya Cina, yang kemudian
diwujudkan dalam adat istiadat, kebiasaan, ritual, maupun sebagai pedoman hidup
sehari-hari.[12]
Konfucianisme dan Taoisme adalah dua
aliran besar dalam pemikiran dan agama
Cina. Akan tetapi janganlah kita bayangkan bahwa kedua tradisi itu telah menghabiskan
waktu lebih dari dua ribu tahun dalam bersaing satu sama lain. Keduanya
mempunyai pengaruh penting dalam pemikiran Cina berikutnya, khususnya para
pemikir neo-Konfucian dari dinasti Sung (960-1279 M), yang secara dangkal
menolak pengaruh-pengaruh Taois dan Budhis, tetapi dalam kenyataannya meminjam
dan mensintesakan banyak hal dari kedua tradisi itu.[13]
Oleh karena itu tidak heran
banyak pakar mengatakan bahwa Konfuciusme, Taoisme, dan Budhisme bukanlah suatu
agama, melainkan sebuah paham atau aliran yang banyak mengajarkan ajaran moral.
Sebab kajian suatu agama tidak bisa dipisaahkan dari siapa Nabi atau
pendidrinya, kitab sucinya, dan konsepnya tentang Tuhan. Sementara dalam konsep
teologi Cina, baik itu Konficius, Taoisme, dan Budhisme tidak begitu jelas.
C. Konsep tentang Humanisme
Manusia adalah obyek yang paling tinggi dalam penciptaaan, bukan karena dia sendiri dapat mengusahakan keselamatan, tetapi karena ia mampu membangun suatu kebudayaan dan peradaban. Karena penghargaan yang mendalam terhadap manusia, kebudayaannya, dan peradabannya, bangsa Cina dapat mengembangkan suatu pemikiran sosial dan politik yang baik dan pandangan etis yang inspiratif. Gagasan tentang demokrasi yang ideal sebenarnya bermula dari Konfucius. Bahkan ada sementara ahli mengatakan bahwa Revolusi Perancis sebenarnya terpengaruh oleh gagasan ini, entah langsung atau tidak. Pemahaman-pemahaman tentang semantik juga berasal dari ratusan sekolah-sekolah Cina yang mempelajari nama-nama. Bangsa Cinalah sebenarnya pertama kali menemukan kertas, seni mencetak, serbuk mesiu, tanpa merasa perlu menyusun metodologi sistematis ilmiah, justru karena bentuk penghargaan bangsa Cina terhadap manusia.[14]
Humanisme di Eropa sudah
mengalami kajian yang mendalam dan mendetail sejak Auguste Comte yang telah
mempeloporinya dengan istilah agama yang humanistik. Manusia merupakan makhluk
Tuhan yang lemah dengan keterbatasnnya dan itu merupakan ketidaksempurnan dari
sifat humanisme itu sendiri.
Ciri humanisme dari pemikiran
filsafat Cina terwakili melalui Confucius yang mempunyai ajaran hsiao, kebaktian. Yaitu bakti seorang
pada leluhur dan orang tuanya. Penyembahan leluhur berhungan dengan hsiao, sebab utuk melakukan penyembahan
haruslah melalui seorang anak laki-laki dalam keluarga.[15] Pemujaan
yang sunguh-sunguh pada leluhur pada masa itu memberi corak tertentu dalam
masyarakat. Maka dengan demikian berkembanglah sistem yang paling kompleks dan
teratur. Sebagian besar ajaran confucius ini ditujukan untuk membenarkan secara
rasional ataupun menyatakan secara teoritis sistem kekeluargaan ini sebagai
landasan humanisme dalam filsafat Cina. Adapun yang dijadikan sistem sosial di
Cina adalah sistem keluarga. Ada lima hubungan sosial
tradisional yang ada di Cina, yaitu; Hubungan antara raja dan hamba, ayah dan
anak, kakak dan adik, suami dan istri, teman dan teman.[16]
Hormat kepada orang tua selain
merupakan salah satu karakteristik pemikiran filsafat Cina juga kejiwaan orang
Cina yang memiliki peranan serta pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan baik
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Hormat kepada orang tua (filial piety) mengajarkan bahwa,
kedurhakaan seorang anak kepada orang tuanya adalah tindakan yang amat tercela,
demikin pula orang tua yang tidak berlaku baik dan kasih sayang terhadap
anaknya, kakak terhadap adiknya, adik terhadap kakaknya, istri terhadap suami
dan suami terhadap istri. Filial Piety
mendasari konsep etika dalam pemikiran filsafat Cina, khususnya dalam hubungan
kekeluargaan, yang kemudian dikembangkan melalui konsep loyality melandasi hubungan kemasyarakatan maupun kebangsaan dalam
arti luas. Sifat yang kurang begitu menonjol dalam pemikiran dalam filsafat
Barat[17]
Dengan demikian dapat dibedakan
humanisme yang terdapat dalam filsafat Cina berbeda dengan humanisme yang
dipahami di Barat yang hanya menekankan
pada satu aspek saja, manusia. Kalau dalam humanisme Cina ada hubungan yang
erat antara manusia dengan Thien
(sorga) sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Meng Tze atau Mencius (372 – 289 S.M.) adalah murid dari Konfucius
yang terbesar, ia meneruskan dan mengembangkan ajaran gurunya tersebut.
Terutama ia mengajarkan demokrasi, hingga saat ini ungkapannyaa masih terkenal”
Min Wei Kuei” Rakyat adalah yang
utama. Mencius pernah mengatakan bahwa dinasti Chou telah kehilangan
kerajaannya, karena kehilangan rakyat, kehilangan kepercayaan rakyat. Untuk itu
menurutnya cara memperoleh rakyat adalah dengan mencari kepercayaan rakyat, dan
jalan untuk memperolehnya ialah berikan kepada mereka apa yang disukainya.[18] Rakyat
merupakan point penting dalam suatu negara, tanpa rakyat tidak akan ada
kekuasaan, dan kekuasaann itu sendidri hakekatntaya adalah untuk kepentingan
rakayat. Hal ini jelas sesusi dengan prinsip demokrasi itu sendiri, yaitu dari,
untuk, dan oleh rakyat. Namun ia berbeda dengan konsep demokrasi yang dipahami
pada umumnya pemimpin bagi Mencius bukan atas dasar pilihan rakayat, tetapi
adalah putra sorga di dunia (Thien),
cuma ia haruslaah bisa diterima oleh rakyat karena ia melaksanaakan
prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan.[19] E.R.
Hughes sebagaimana dikutip oleh Nio, mengatakan bahwa Mencuis kalau diapandang
dari sudut Realis Barat Frame of mind
(kerangka berfikirnya) bersifat Idealis, dari sudut kaum idealis ia bersifat
Realis[20]
Bisa dipahamai praktek
nilai-nilai kemanusiaan dalam filsafat Cina tidak hanya terkonsentrasi pada
keluarga dalam scope kecil tetapi
juga merambah pada urusan yang berkaitan dengan negara, sebagaiamana telah
dikemukakan oleh Mencuis. Artinya setiap orang mempunyai potensi arif dan
bijaksana asalkan ia mau belajar menghargia sifat kemanusiaannya untuk
kepentingan bersama.
Sisi lain dari pandangan filsafat
Cina yang menonjol adalah tentang humanisme, yaitu masalah keseimbangan.
Manusia dalam hidup ini diseyogyakan selalu menjaga keseimbangan, agar ia dapat
hidup bahagia. Sifat secara rinci diajarkan dalam Yin dan Yang, yang
menyatakan bahwa di alam semesta pada
dasarnya terdapat dua prinsip, yaitu prinsip positif (Yang) dan negatif (Yin).
Secara sepintas nampak bahwa keduanya merupakan dua hal yang berbeda, namun
sebaliknya keduanya saling melengkapi.
Walau nampak berlawanan tapi keduanya sebagai penyeimbang.[21]
Kalau Konfuciusme tampak
memusatkan perhatiannya pada manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat,
maka Taoisme lebih menekankan manusia sebagai manusia itu sendiri. Bahkan jika
Konfuciusme dipandang sebagai yang dominan di Cina, arus pemikiran filsafat
Cina jelas lebih menekankan ke arah luar diri ekslusif manusia.
Hal ini tampak pada pandangan
Konfucianism yang menyatakan bahwa dalam pergaulan, tindakan seseorang selalu
berhubungan dengan orang lain. Hubungan ini dapat dikelompokkan menjadi lima
pertalian pokok, yaitu, ayah dan anak, saudara dan saudara, suami dan istri,
sahabat dan sahabat, serta yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam hubungan ini,
setiap pihak berkelakuan sesuai dengan kedudukannya. Ayah mencintai anak, anak
menghormati, kakak berbaik hati, adik menjunjung, suami tulus, istri patuh.
Sahabat lebih tua peka, sahabat muda khidmat. Yang berkuasa murah hati, yang
dikuasai setia. Tiga dari lima pertalian itu merupakan hubungan keluarga,
karena keluarga dapat dianggap sebagai dasar masyarakat. Dalam lembaga sosial
inilah manusia dididik diajar kebaikan, dan dibentuk tabiatnya.[22]
C. Tinjauan Kritis Analitis
Dalam
pemikiran filsafat Cina yang di dominasi oleh Taoisme, Confucianisme, dan
Budhis tampak bahwa konsep tentang ketuhanan memang tidak menjadi hal yang
urgen dalam kajian teologis mereka. Hal ini barangkali disebabkan oleh fokuus
mereka pada penanaman nilai ethic
moral yang menjadi way of live mereka
dalam tradisi yang sangat kuat mereka pegang. Namun penulis melihat ada beberapa
kesamaan tentang Kosmologi Cina dengan kosmologi Islam dalam beberapa hal,
karena ia bertumpu pada konsep polaritas prinsip-prinsip aktif dan reseptif.
Misalnya, Tuhan (Allah) menurut para sufi lebih diidentikkan dengan sifat-sifat
keindahan (jamal), seperti Maha
Pengampun, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan lain sebagainya atau Yin dalam tradisi Cinanya. Sedangkan
dalam perspektif teologi lebih diidentikkan dengan keagungan (jalal), seperti
Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Besar, dan lainya atau yang disebut dengan Yang. Kedua perspektif ini membentuk dua
kutub dalam pemikiran Islam. Perlu ada keseimbangan yang sangat bagus dan baik
antar kedua kutub tersebut. Teologi negatif maupun positif diperlukan untuk
melahirkan pemahaman yang benar tentang realitas Ilahi.
Selain itu, aliran konfucianism
tidak sepenuhnya sepakat tentang apakah manusia pada dasarnya baik. Hsun tzu
(298-230 SM) bersikeras tentang sebaliknya. Dalam pandangannya, manusia pada
dasarnya jahat, dengan kecenderungan bawaan untuk mengejar tujuan dan
kesenangan pribadi. Akan tetapi, untunglah manusia juga cerdas dan dengan kecerdasannya dapat
mengolah kebaikan yang ada dalam dirinya. Sesuai dengan doktrin Konfucianism,
Hsun tzu menekankan pentingnya ritual dan perilaku yang pantas terhadap orang-orang
di sekeliling kita, khususnya kepada anggota keluarga. Moralitas tidak
didasarkan pada alam, tetapi sebaliknya, moralitas adalah temuan inteligensi
manusia, dibangun untuk menjamin kerjasama social untuk menghadapi
keinginan-keinginan kita yang lebih alamiah, lebih mementingkan diri sendiri.[23]
Dalam konsep humanisme pemikiran
filsafat Cina mempunyai corak tersendiri bila dibandingkan dengan humanisme
yang dianut di Barat dan pada umumnya. Kalau di Barat manusia yang dianggap
makhluk yang tidak sempurna dan mempunyai keterbatasan yang merupakan ciri
khasnya dan hanya berorientasi pada sifat-sifat kemanusiaan semata. Sedangkan
humanisme dalam tradisi Cina tidak ada pengingkaran pada Yang Maha Agung yang
menunjukkan adanya unifikasi dengan antara manusia sebagai Makhluk dan Tuhan
sebagai Khalik. Barangkali pemikiran filsafat Cina yang dalam hal ini wakili
oleh Confucianisme mempunyai warna islami, yaitu adanya Hablum min Allah wa hablum min an-Nas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim Departemen Agama RI
David Trueblood, Filsafat Agama, terj. H.M.
Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang, terj.
Ong Pok Kiat dan Sudarno, (Jakarta: J.B. Wolters-Groningen, 1951)
Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy (New York: The McMillan
Company, 1948)
H.G. Creel, Alam Pikiran Cina,
Sejak Konfucius sampai Mao Zedong, terj. Soejono Sumargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990)
Lasiyo, “Ajaran Konfucianisme, Tinjauan Sejarah dan
Filsafat”, dalam Lasiyo, dkk., Pergulatan dalam Menacari Jati Diri,
(Yogyakarta: Interfidei, 1995)
Lasiyo, “Pemikiran Filsafat Timur dan Barat”, dalam Jurnal Filsafat, Fakultas
Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, No. 27 Th. 1997
Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXVI, No. 3, Tahun
2001
Nio Joe Lan, Tiongkok Sepanjang
Abad, (Jakarta: Balai Pustaka, 1952)
Paul Chau, Chinese Kinship ,
(London: Paul Kegan International Ltd., 1983)
Robert C.
Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu,
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002)
Rudi Setiadi, “Benarkah Mereka Maju Karena
Konfusinisme?”, dalam Pikiran Rakyat, edisi 8 April 2003
St. Sunardi, Niettzsche, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
[1]
Lihat al-Qur’an al Karim Departemen Agama RI
[2]
David Trueblood, Filsafat Agama, terjemahan H.M. Rasyidi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990), hal. 40.
[6]
Lao-tse seorang pemikir Cina terkemuka di zamanya dan sangat dikenal hingga
sekaran ini, ia hidup sezaman dengan Kung-Tze atau di dunia Barat dikenal
dengan Konfucius. Lao-Tze lahir tahun 571 S.M. di Ku-hsien, nama aslinya adalah
Li Erl, sedangkan Lao-Tze berarti pujangga Lao. Ia berasal dari suatu keluarga
yang terhormat dan menjadi penjaga arsip kaisar. Lihat, Nio- Joe Lan, Tiongkok……hal.48
[9] Nama
Konfucius di kenal di Barat sedangkan dalam bahasa Cina Kung Fu-tse. Ia
dilahirkan di daerah Lu, di Shantung pada tahun 551 S.M. Ia merupakan seorang
filosof besar di daratan Cina. Ibid.,
hal. 100. Banyak yang beranggapan bahwa Konfucius adalah pendiri sebuah agama,
padahal itu tidak benar, yang benar adalah pemikiranya menjadi aliran filsafat
yang menjadi panutan yang sangat banyak di Cina.
[11]
Lihat St. Sunardi, Niettzsche,
(Yogyakarta: LkiS, 1996)
[12]
Lasiyo, “Ajaran Konfucianisme, Tinjauan Sejarah dan Filsafat”, dalam Lasiyo,
dkk., Pergulatan dalam Menacari Jati Diri, (Yogyakarta: Interfidei, 1995), hal.
20.
[13]
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut
Pasaribu, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002),
hal. 192.
[22] Rudi
Setiadi, “Benarkah Mereka Maju Karena Konfusinisme?”, dalam Pikiran Rakyat,
edisi 8 April 2003.
[23] Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins,
hal. 190.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar