Selasa, 22 April 2014
ISLAM KAMPAR
Penulis: Dr. Muhammad Taufik Bin Zakaria Bin Shafar
dari persukuan Mandailing/Mandeliong dalam dialek Kampar
Lahir dan besar di Kampar
Dosen Jurusan Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin & Pemikiran Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
e-mail: nuraenitaufik@yahoo.com
Senin, 21 April 2014
PUASA
RAMADHAN DAN BUDAYA KONSUMTIF
Bila bulan ramadahan
menjelang masayarakaat muslim biasanya seakan berlomba untuk membeli segala
sesuatu yang menyangkut kebutuhan hidup, baik sandang, pangan, dan papan.
Membeli makanan dan minuman yang beraneka ragam merk, yang jumlahnya meningkat
tajam bila dibanding dengan hari biasa di luar ramadhan, membeli
aksesori-aksesori rumah yang mahal-mahal, sehingga kelihatan sekali seakan
bulan ramadhan itu adalah waktu untuk membeli segala sesuatu yang berjumlah
banyak dan mahal. Padahal gaya hidup (life
style) seperti ini jelas bertolak belakang dengan apa yang dianjurkan oleh
Nabi Muhammmad SAW justru mengajarkan yang sebaliknya kepada umatnya agar hidup
sederhana dan tidak berlebihan. Tapi itulah fenomena yang terjadi di masyarakat
kita dimana pemenuhan kebutuhan yang berlebihan tersebut seakan merupakan suatu
tradisi yang sudah lazim yang wajib dipenuhi bagaimanpun caranya. Pertanyaannya
adalah mengapa perilaku seperti ini muncul, apakah sesungguhnya yang terjadi?
Ibadah puasa ramadhan
sebenarnya merupakan suatu ibadah yang banyak mengandung nilai-nilai kehidupan
yang mengajarkan kepada kita umat muslim untuk mempraktekkan gaya hidup
sederhana sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi. Dengan melaksanakan
puasa diharapakan akan memunculkan sikap hidup yang sederhana dengan
menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama kita yang kurang beruntung dalam
hal ekonomi misalnya. Mereka yang biasanya sering kekurangan dan kelaparan
sehari-hari hendaknya mengingatkan pada
diri kita beginilah yang dirasakan orang-orang miskin betapa beratnya tidak
makan dan minum yang terkadang berhari-hari mereka alami. Sehingga ke depannya
diharapkan bahwa akan muncul sikap kasih kita dan simpati kepada saudara yang
miskin tersebut sehingga lalu kita ingin memberikan atau menafkahkan sebagian
rezeki yang kita dapat untuk disedekahkan, agar mereka juga mendapat
kegembiraan yang sama sebagaimana kita alami di bulan ramadhan ini
Tapi sayangnya ibadah
puasa yang banyak dilakukan oleh umat muslim tersebut terkadang tidak mencapai
sasaran yang dikehendaki oleh tuntunan agama tersebut, yaitu munculnya kepekaan
sosial untuk membantu sesama. Bagaimana tidak
di saat begitu banyaknya orang-orang yang membutuhkan bantuan dan
pertolongan dari muslim yang mampu, tapi dalam realitanya terkadang tak ada
yang peduli sedikitpun pada nasib mereka. Orang yang mampu dalam hal ekonomi
memiliki harta benda yang bercukupan, makanan dan minuman yang enak-enak sangat
kontras dengan apa yang dialami oleh si miskin yang menjerit menahan lapar.
Sudah menjadi tradisi
dalam masyarakat bila ramadhan datang harga kebutuhan pokok dan kebutuhan
lainnya membubung naik. Meroketnya harga-harga tersebut dipicu oleh karena
tingginya permintaan dan kebutuhan masyarakat untuk pemenuhan kebutuhannya
selama ramadhan, namun sekalipun harga-harga menjadi naik, masayarakat seakan
tidak peduli, tapi tetap antusias dengan budaya konsumtifnya, tak peduli
mahalnya harga suatu barang, senantiasa tetap dibeli dan dipenuhi. Sehingga
tidak mengherankan bila harga-harga kebutuhan tersebut menjadi melambung
harganya jika dibanding dengan hari-hari biasa selain ramadhan.
Munculnya budaya
masyarakat yang sangat konsumtif dalam rangka pemenuhan kebutuhannya tersebut
dalam menjalankan ibadah puasa ramadhan paling tidak dipicu oleh beberapa hal:
Pertama, tradisi yang sudah mengakar, sudah menjadi galib di kalangan masyarakat muslim bahwa bila
ramadhan tiba dan Idul Fitri menjelang, maka seakan berlomba-lomba untuk
memakan yang enak-enak dan mahal-mahal untuk dimakan ketika berbuka puasa,
membeli minuman yang bermerk dan mahal dan membeli pakaian yang bagus-bagus.
Alasannya simple, karena ini bulan
ramadhan maka harus beda dengan bulan-bulan yang lain. Celakanya kebiasaan
seperti ini sudah menjadi sebuah tradisi mengakar dan mendarah daging yang
sulit dihapuskan begitu saja di masyarakat. Contoh kecil saja, bila lebaran
tiba orang biasanya sibuk untuk membeli pakaian baru (baju lebaran) seakan
kalau tidak serba baru, rasanya lebaran
itu menjadi hambar dan afdhal.
Kebiasaan masyarakat pokoknya semuanya harus baru dan ini tidak bisa di
tawar-tawar.
Kalau kita tengok sejarah, Nabi Muhammad
SAW sangat mempraktekkan gaya hidup sederhana dan tidak berlebihan dalam hal
apa yang beliau makan, minum, dan pakaian yang dikenakannya. Nabi biasa menutup
puasanya ketika waktu berbuka puasa dengan hanya dengan meminum air zam zam dan
memakaan buah kurma, padahal kita tahu kalau beliau mau, bisa saja makan yang
enak-enak dan mahal-mahal karena beliau adalah pemimpin umt Islam saat itu yang
bisa saja melakukannya. Tapi hal itu tidak beliau lakukana karena ingin
memeberi contoh tauladan kepada umatnya untuk melakukn hidup sederhana. Jadi
pada dasarnya tradisi menumpuk makanan yang banyak dan membeli baju lebaran
yang harus baru dan mahal tersebut sebenarnya bukanlah tuntunan islam tetapi
sudah menjadi teradisi yang turun temurun di dalam masyarakat kita, yang
seharusnya bisa kita jadikan pelajaran yng berharga. Janganlah kita memakan,
meminum, dan memakai sesuatu yang berlebihan, tetapi hendaklah secukupnya dan
sepantasnya saja, sebagaiamana Allah SWT tegaskan dalam firmannya:
Makan dan minymlah kamu sekalian,
tapi jangan berlebiahn. Firman Allah tersebut
mengingatkan kita untuk tidak over
dalam segala hal khususnya dalam perilaku keseharian kita, tetapi berlakulah
sesuai dngan kemampauan kita dan tetap melakukan pola hidup sederhana.
Kedua, budaya pamer, menurut antropolog Amerika Clifford Geertz dalam bukunya the Interpretation of Cultures, bahwa
suatu masyarakat akan menunjukkan eksistensinya dengan memunculkan
simbol-simbol tertentu. Sudah lazim dalam kehidupan masyarakat yang suka memamerkan kekayaan dan
kelebihannya, karena ingin menunjukkn simbol kekayaan dan kesuksesan dalam
hidup dengan banyaknya mobil yang mengisi garasi mereka, banyaknya rumah mewah
yang mereka miliki, semua itu bukan dimaksudkan untuk pemenuhan kebutuhan akan
kendaraan dan tempt tinggal, tapi lebih
dari itu adalah untuk menunjukkan simbol kekayaan yang mereka miliki. Begitu
juga dalam kenyataan kehidupan kita
seperti mudiknya para perantau dengan mobil-mobil mewah dan penampilan yang
keren, seakan mereka ingin menunjukkan bahwa mereka telah sukses di rantau dan
ingin pamerkan kesuksesan tersebut pada saudara dan tetangganya. Inilah
kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat yang mana sikap pamer itu muncul
karena ingin dianggap sukses dan
berhasil dalam hidupnya, daan kekayaan itulah sebagai simbolnya.
Ketiga, pola hidup hedonistik, kaum hedonis adalah kaum penikmat dan pencari kesenangan dunia, yang
menjadi tujuan hidupnya adalah mencari kesenangan hidup semata. Hal ini jelas
bertentangan dengan ajaran Islam yang menegaskan bahwa ibadah, hidup, dan mati
kita hanya karena Allah SWT semata. Kalau kita mau jujur, gejala hidup kaum hedonis ini tak dapat kita pungkiri
telah meracuni kehidupan kita sebagai muslim, banyak di antara kita hidup hanya
untuk bersenang-senang dan berhura-hura tanpa memikirkan hidup sesudah mati
kelak. Sebagai muslim yang baik kita harus menghindari gaya hidup hedonistik tersebut karena memang tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Orang Islam tidak dilarang untuk menjadi kaya,
tetapi orang Islam akan dimurkai oleh Allah SWT
bila kaya tetapi lalu jadi sombong dan arogan karena merasa apa yang
dimilikinya bukan berasal dari Allah SWT, maka sadarlah bahwa harta benda yang
kita miliki hanya titipan sementara Allah SWT yang tidak bisa dibawa mati dan
tidak biasa menolong kita. Tapi sebaiknya kita menjadikan harta benda yang
dimiliki menjadi sarana untuk
mendekaatkan diri kepadaNya.
Kita harus ingat
sejarah Qorun sepupu nabi Musa yang tadinya miskin lalu menjadi kaya, tapi
setelah kaya ia lalu lupa diri menjadi sombong dan takabur. Apa yang terjadi
pada diri Qorun selanjutnya? Al-Quran mengabadikan kisahnya bahwa harta benda
melimpah yang dimilikinya dibenamkan Allah ke dalam tanah.
Jadi mari kita niatkan
puasa ramadhan ini untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan,
janganlah kita jadikan nikmat yang Allah berikan menjadikan kita untuk
berfoya-foya dan bersenang-bersenang di bulan ramadhan ini. Mari kita jalani
hidup ini apa adanya tanpa harus buta dengan kelebihan rezeki yang Allah
berikan. Semoga amal ibadah kita di bulan suci ini diterimaNya. Amin
Jumat, 18 April 2014
PERAN HERMENEUTIKA DALAM WILAYAH AGAMA
A.
Pendahuluan
Masalah metode penelitian
filsafat seperti apa yang sebaiknya digunakan, sampi saat ini tetap menjadi perdebatan. Sejarah ilmu-ilmu
alam yang menunjukkan keberhasilannya suaatu sisi, justru menyisakan banyak
kegagalan di sisi lain. Sifat sain modern yang netral dan objektif justru gagal
dalam menerjemahkan asas-asas ilmiah, sehingga rasionalisasi kehidupan melalui
sain bukannya mentransformasikan seluruh dunia kehidupan sosial, melainkan
meretakkannya ke dalam dua hal yang saling bertentangan.
Sepanjang sejarah filsafat, belum
ada satupun metode yang memenuhi standar yang universal dan objektif, namun
tidak kaku sehingga tidak mengekang bagi perkembangan dan penemuan-penemuan
baru. Hermeneutika yang merupakan sebuah metode filsafat yang aktual sampai
saat sekarang ini. Ini disebabkan hermeneutika dalam perkembangannya sangat berpengaruh dalam berbagai bidang
pengetahuan manusia. Hingga dewasa ini orang tidak bisa mengabaikan
hermeneutika sebagia sebuah metode, dalam interpretasi teks khususnya.
Hermeneutika merupakan
keniscayaan pada setiap model dan bentuk pemikiran. Terlebih dalam pemikiran
keagamaan, yang hasil pemikirannya berdampak eskatologis, terutama yang
menyangkut dunia dan akherat, urgensi interpretasi dan pemahaman tidak dapt
ditawar lagi. Persoalannya, sejauhmana hermeneutika sebagai sebuah metode
berperan dalam mewarnai pemahaman kita terhadap Islam?
B.
Pengertian Hermeneutika
Secara etimologis kata
hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuen yang dalam bahasa
Inggris menjadi hermeneutics (to interpret) yang berarti menjelaskan,
menafsirkan atau menterjemahkan. Maka, kata benda hermeneia secara
harfiah dapat diartikan sebagi penafsiran atau interpretasi. Menurut mitologi
Yunani, hal ini ada hubungannya dengan tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang
utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada manusia.
Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, ia juga
dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes itu sendiri
adalah menterjemahkan pesan-pesan dari Dewa Gunung Olympus ke dalam bahasa yang
dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu fungsi Hermes adalah
penting sebab bila terjadi kesalahan tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan
fatal bagi seluruh umat manusia.[1]
Menurut Sayyed Hossein Nasr,
Hermes itu adalah Nabi Idris a.s. yang dalam fisalasat Yunani, di kenal sebagai
father of philospher (abul hukama).[2] Bagi
Nabi Idris atau Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana
menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar dapat
dipahami oleh manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”.
Secara lebih umum, Zygmunt Bauman
menegemukakan, bahwa hermeneutika merupakan upaya menjelaskan dan menelusuri
pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau lukisan yang tidak jelas,
kabur, remang-remang, dan kontradiksi, sehingga
menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar dan pembaca.[3]
Richard Palmer menegaskan bahwa
hermeneutika adalah proses menelaah isi dan maksud yang menjelma dari sebuah
teks sampai pada maknanya yang terdalam dan laten.[4] Hal
senada yang juga dikatakan oleh Paul Ricouer, bahwa filsafat adalah sebuah
hermeneutika yang membaca yang tersembunyi dalam sebuah teks yang mengandung
arti yang kelihatannya sudah jelas dan mengandung makna.[5] Dengan
demikian hermeneutika dapat diartikan sebagi proses mengubah suatu kondisi
ketidaktahuan menjadi mengerti yang banyak digunakan sebagai sebuah metode
dalam berbagai disiplin ilmu.
Dapat dipahami bahwa sebagai
sebuah metode hermeneutika mempunyai tujuan yang sangat mulia , yaitu dalam
rangka memberikan penjelasan yang sangat jelas kepada manusia dengan bahasa
yang mudah pula untuk dimengerti. Namun yang lebih perlu dipahami adalah bahwa
ada tiga prinsip pokok, yang dalam teori hermeneutika disebut triadic
structure, yaitu satu struktur yang terdiri dari tiga unsur yang berkaitan
dalm proses penafsiran. Ketiga hal yang dimaksud adalah teks, penafsir, dan
audien. Ketiga aspek itu secara implisit berisi tiga konsep pokok yakni 1)
membicarakan hakikat sebuah teks; 2)apakah penafsirnya memahami teks dengan
baik; dan 3) supaya suatu penafsiran dapat dibatasi oleh asumsi-asumsi dasar
serta kepercayaan atau wawasan para audien.
C.
Hermeneutika dalam
Wilayah Keagamaan
Kehadiran teks dalam tradisi
keagamaan telah membawa implikasi cukup besar bagi perkembangan intelektual,
kebudayaan dan perdaban. Tradisi Arab Islam cenderung memiliki “tradisi teks”
yang cukup kuat bila dibandingkan dengan perdaban bangsa lain. Apresiasi yang
diberikan oleh pengkaji Islam dalam menelaah tradisi Arab-Islam dari dulu hingga kini banyak difokuskan pada
pembacaan teks keagamaan.
Kajian interpretasi teks dalam
wilayah keagamaan kontemporerpun tidak terbatas pada pencarian makna dari segi
narasi belaka. Akan tetapi, sudah menempatkan teks ke dalam wilayah historis,
wilayah yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping
berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah masuk ke dalam wilayah
“ontologi teks”.[6]
Hermeneutika merupakan sesuatu yang terbuka untuk memungkinkan beberapa
interpretasi. Gadamer mengisyaratkan bahwa tujuan hermeneutika bukan untuk
mengembangkan aturan-aturan atau prosedur sebuah teks. Obyek filsafatnya adalah
untuk mengidentifikasi, bukan pada apa yang kita perbuat atau apa yang harus
kita lakukan dalam interpretasi, tetapi apa yang terjadi pada kita dan tentang
apa yang kita inginkan dan kita kerjakan.[7]
Diskursus pemahaman seperti
tersebut di atas bisa dimasuki melalui sudut bidik hermeneutika yang berperan
bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik (termasuk al-Quran dan Hadist) atau
teks keagamaan lainnya.[8] Dalam
tradisi keilmuan Islam, sesungguhnya telah dikenal ilmu yang berusaha
mengungkap makna yang disebut ilmu tafsir yang secara khusus
diperuntukkan bagi penafsiran al-Quran. Penafsiran, sesungguhnya bukanlah
monopoli al-Quran saja, karena pada dataran praksis, ajaran Islam juga
berkembang dengan penjelasan, baik dengan perkataan atau perilaku Nabi sendiri,
yang kemudian dikenal dengan Sunnah, dan dikodifikasikan dalam bentuk Hadist.[9]
Peran hermeneutika yang secara
sederhana merupakan sebuah upaya untuk memahami teks akan selalu terkait secara
fundamental dengan struktur kebahasaan, pemikiran dan sejarah teks itu sendiri.
Melalui bahasa manusia berkomunikasi dan melalui bahasa pula bisa salah arti,
salah paham, dan salah interpretasi. Bahasa sebagai alat penyampai pesan dari
teks-teks keagamaan merupakan jawaban terhadap pertanyaan tentang kemampuan
maasa kini untuk memahami logika masa silam. Teks-teks keagamaan dapat
melahirkan keyakinan (idiologi baru). Yaitu keyakinan yang berusaha
merekonstruksi kesadaran sang penerima pesan (manusia). Tetapi keyakinan yang
baru ini tidak menjadi keyakinan yang betul-betul baru secara sempurna, kecuali
pesan dari teks-teks tersebut telah berdamai dalam kebudayaan tertentu. Hal itu
tergantung kepda bagaimana memaknai sebuah peristiwa bahasa, sebagaimana
dikatakan Michel Foucoult, bahwa tugas memberi makna, ditilik dari definisinya,
tak pernah bisa terselesaikan.[10] Hal ini
bisa dilihat dari perkembangan penafsiran dalam historisitas teks-teks
keagamaan selalu berkembang seakan tiada henti. Perkembangan ini menyangkut
banyak variabel yang tidak begitu saja dianggap sederhana, karena setiap masa
menghasilkan historisitas, penemuan, wacana, dan teori penafsiran yang berbeda
dengan zaman lainnya.
Dalam studi naskah, termasuk di
dalamnya teks-teks keagaman, tidak muncul begitu saja dari langit. Teks tidak
muncul dari ruang “hampa” kebudayaan.
Teks-teks dan naskah-naskah keagamaan, apapun bentuknya adalah dikarang,
disusun, ditiru, diubah, diciptakan oleh pengarangnya sesuai dengan tingkat
pemikiran manusia saat teks-teks tersebut disusun, dan tidak terlepas sama sekali dari pergolakan sosial-politik
dan sosial budaya yang mengitarinya. Bahkan tidak jarang dipengaruhi oleh
angan-angan sosial dari penyusun atau pengarang itu sendiri dalam merespon
tantangan zamannya. Sering juga terjadi , suatu naskah keagamaan dikarang dan
disusun oleh pengarangnya atas campur taangan
dan pesan “sponsor” penguasa dan kekuatan politik yang dominan saat itu.[11]
Dalam catatan sejarah peradaban Islam,
tercatat konfrontasi pemahaman terhadap teks al-Quran, terutama yang berkaitan
dengan ayat-ayat yang megandung ambiguitas (mutasyabihat). Timbul banyak
persoalan sekitar ayat-yat yang mengandung ambiguitas ini. Bersamaan dengan ini
atau implikasi dari fenomena ini, aliran-aliran dalam Islam, terutama aliran
teologis, mempunyai kepentingan politis untuk memaknai dan memberi pengertian
terhadap ayat-ayat tersebut sesuai dengan pendapat mereka.[12]
Dalam tataran Ibnu Rusyd, filosof
muslim ternama, berpendapat bahwa semua kontroversi yang melibatkan para teolog
dan filosof pada hakekatnya bermula dari ayat-ayat mutasyabihat.[13]. Lebih
lanjut Ibnu Rusyd mengatakan, sesungguhnya manusia telah sangat kacau dalam
memahami makna syari’at, sehingga timbul sekte-sekte tersesat dan golongan-golongan yang
berseberangan. Masing-masing mereka melihat bahwa dirinyalah yang berpegang
teguh pada syari’at. Dan yang menentangnya boleh dikatakan pelaku bid’ah
ataupun kafir yang halal darah dan
hartanya. Hal ini semua jauh dari tujuan pembuat syari’at yang disebabkan oleh
kesalahan mereka dalam memahami strukturnya.[14]
Terlepas dari apa yang di katakan
oleh Ibnu Rusyd di atas, sebenarnya ada dua hal yang membuat posisinya secara
filosofis sangat penting dan secara historis sangat signifikan kontribusisny
bagipersoalan hermeneutika: Peertaama, sensitivitasnya untuk membedakan
tipe-tipe teks dalam menginterpretasi teks. Kedua, sensitivitasnya untuk
membedakan tipe orang dalam interpretasi teks. Perbedaan tipe teks dan
perbedaan tipe orang akan melahirkan perbedaan interpretasi.
DAFTAR PUSTAKA
Gregory Leyh, Legal
Hermeneutics: History, Theory and Practice, (Berkeley: University of
California, 1992)
Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996)
Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
(Jakarta: Gramedia, 2000)
Ibnu Rusyd, Kasyfan Manhaj al-‘Adillah dalam Falsafatu
Ibnu Rusyd, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1978)
Madjid Fachry, Sejarah
Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul ‘Am, (Bandung: Mizan,
2001)
Machasin, Al-Qadhi Abdul Jabbar, Mutasyabihat al-Quran, Dalih
Rasionalitas al-Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
M. Amin Abdullah, Arkoun dan
Kritik Nalar Islam, dalam Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme;
Memeperbincangkan Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
Muhammmad Zubayr Shiddiqi, “Hadis
A Subject of Keen Interest” dalam P.K.Kroya (ed), Hadis and Sunnah Ideals
and Realities, (Malaysia: Islamic Book Trust, 1996)
Michel Foucoult, The Orther of
Things on Archeology of the Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994)
Paul Ricouer, The Conflict of
Interpretations, (Evanson: Northwestern University Press, 1974)
Richard
E.Palmer, Hermneutics, (Evanson: Northwestern University Press, 1969)
Tashihiko Izutsu, God and Man
in the Koran: A Semantical Analysis of the Koranic Weltanschaung, (Tokyo:
Keio University Press, 1964)
Sayyed Hessein Nasr, Knowledge
and The Secred, (New York: State University Press, 1989)
Zygmunt Bauman, Hermneutics
and Social Science, (New York: Columbia University Press, 1978
[2] Sayyed
Hessein Nasr, Knowledge and The Secred, (New York: State University
Press, 1989), hal. 71
[6] Kjian
terhadap status ontologis memberikan manfaat untuk menjelaskan sifat-sifat
historis dari teks, telaah ontologis ini pernah dilakukan oleh Tashihiko Izutsu
terhadap al-Quran dalam bukunya God and Man in the Koran: A Semantical
Analysis of the Koranic Weltanschaung, (Tokyo: Keio University Press, 1964)
TEOLOGI DAN HUMANISME
DALAM FILSAFAT CINA
A. Pendahuluan
Cina merupakan bangsa yang besar
dan mempunyai peradaban yang berumur ratusan
tahun dan hingga kini masih kuat berpegang pada tradisi yang telah dibuat
oleh leluhur mereka. Di samping kebesaran peradabannya, Cina juga menempati
ranking pertama penduduk terbesar di dunia, serta mempunyai wilayah yang sangat
luas. Dalam tradisi mereka itu tercakup berbagai pemikiran tentang Tuhan dan
manusia dan hubungan yang terjadi antara keduanya.
Filsafat Cina tidak cenderung
terlalu ekstrim menekankan pemikiran filsaafat “ke luar” maupun “ke dalam”.
Filsafat Cina lebih menekankan keseimbangan di antara keduanya. Masalah
ketuhanan tidak termasuk menjadi masalah utama, walaupun sebenarnya Konfuciusme
dan Taoisme ada menyinggungnya, namun tidak secara sistematis dan metodologis.
Tapi sebaliknya masalah kemanusiaan termasuk menjadi perhatian utama.
Sungguhpun demikian akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana sebenarnya
konsep teologis dan humanisme dalam alam filsafat Cina.
Selama ini memang sedikit penulis
yang mencoba mengeksplorasi tentang masalah ketuhanan dan manusia dalam kultur
bangsa Cina, sebab banyak penulis lebih concern pada Barat dan Islam (walau ini
juga termasuk dalam kajian Timur), sehingga pembahasan tentang Cina hanya
mendapat porsi yang sedikit. Oleh karena itu penulis mencoba menguak “Tirai
Bambu” pemikiran tentang bagaimana konsep teologi dan humanisme dalam pemikiran
filsafat Cina.
B. Konsep Teologi dalam Tradisi Cina
“Berkata rasul-rasul mereka:
"Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi..”
(Q.S. 14.10)[1]
Di
atas adalah dalil qur’ani dalam Islam tentang hipotesa tentang Tuhan. Tuhan (sesudah
kita membatasi arti perkataan itu) ada atau tidak ada. Walaupun kepercayaan
kepada Tuhan itu terdapat dalam beberapa agama, dan walaupun agama Yahudi,
Kristen, dan Islam merupakan agama-agama yang monoteistik (tauhid), tetapi ada
agama-agama seperti agama Budha yang tidak mengandung kepercayaan tentang
Tuhan. Oleh karena itu sangat penting sekali kita menyelidiki problem tentang
adanya Tuhan.[2]
tidak mengandung
Sebagaimana bangsa-bangsa lain di
dunia, bangsa Cina juga mempunyai rumusan tentang teologi yang mengatur
hubungan mereka dengan tuhannya dan sesama mereka. Dalam kehidupan yang
dijalani oleh bangsa Cina mereka ada mengenal “Thien” (Surga) dan “Shang-ti”[3] (Tuhan
Yang Maha Tinggi) sebagai yang mempunyai kuasa Tertinggi yang a personal. Ia merupakan suatu
keteraturan universal yang meresapi seluruh realitas. Kekuasaan tersebut
bersifat baik dan bijaksana, Ia memerintah seluruh alam semesta dengan sangat
adilnya. Mereka percaya bahwa proses awal alam ini diciptakan berawal dari penciptaan
Tuhan pada dua hal: “Nafas dan Kekuatan”, kedua kekuatan inilah yang kemudian
menjadikan segala sesuatu yang terbentang di alam semesta ini. Yang pertama
terang seperti cahaya, panas, dapat bergerak dan bersifat hidup, ia disebut
dengan Yang. Yang kedua gelap,
dingin, berwujud benda padat dan tak bergerak, dan disebut dengan Yin.[4]
Dalam kosmologi Cina puncak
segala sesuatu sebelum ada Yin dan Yang adalah Tai Chi (Puncak Yang Agung), yang kemudian melahirkan unsur Yin dan Yang dalam kehidupan. Yin dan
Yang dipahami sebagai prinsip-prinsip
eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif. Yin dan Yang merangkul
satu sama lain dalam suatu keselarasan dan keterpaduan. Keduanya menghasilkan
banyak hal, yaitu segala sesuatu yang ada. Simbol Tai Chi dan Tao,
melukiskan Yin dan Yang sebagai gerakan dan perubahan yang
konstan. Yin dan Yang adalah prinsip-prinsip perubahan dan simbol bagi seluruh
gerakan di alam semesta.
Daya cipta sifat Tuhan yang
memberi gerak dan hidup kepada sesuatu, itulah Yang, sedangkan Yin
adalah zat yang diberi kemampuan bergerak dan hidup itu. Yang
bersifat memberi dan memperbanyak, Yin
memperbanyak dan menyimpan. Dari Yin
dan Yang terbentuklah air, bumi,
kayu, logam dan api. Dari kelima bahan itu dijadikanlah dunia ini dan semua
makhluk yang hidup di dalamnya. Yin
dan Yang keduanya tunduk pada hukum
alam, sehingga dalam gerak geriknya nampak ada satu atauran dan rhytme (irama) yang meliputi dan mengisi
setiap ruang dalam alam raya ini, seperti perputaran bumi, bulan, matahari, perubahan
musim dan lainnya. Ritme ini dalam pemikiran filsafat Cina mereka namakan
dengan “Tao”, yaitu “jalan”, jalan bagaimana segala sesuatu di dunia ini
dijadikan, dan jalan bagaimana orang mengatur hidupnya. Sebab bila ia mengerti
“jalan” itu maka ia akan selamat dan bahagia karena mendapat berkah dari Tuhan.
Sebaliknya bila orang tidak menurut pada “jalan” tersebut maka akan banyak
mendapat kesukaran dan kesengsaraan dalam hidupnya.[5] Menurut
Lao-tse[6] “ Tao
tidak dapat dilihat, didengar, bahkan tidak dapat disebut. Alangkah tenangnya Tao ini. Ia tidak berbentuk tapi ada di
mana-mana. Semua yang ada di dunia ini tergantung pada Tao untuk dapat hidup, Ia mencintai semua makhluk dan memberi makan
semuanya dan tidak berharap dibalas budinya, semua berasal dari Tao dan kembali kepadanya. Ia terkecil
dari yang kecil dan yang terbesar dari yang terbesar. Demikian Lao-Tze
menggambarkan Tuhan yang sisebutnya dengan Tao tersebut.
Filasafat Taoisme mengajar orang
supaya menerima nasib, baik suka dan duka, bahagia dan bencana sama saja dalam
pandangan Taoisme. Oleh karena itu
seorang penganut Taoisme dapat
memikul suatu penderitaan dengan hati yang tegar seberat apapun cobaan
tersebut.[7] Hal ini
dasarkan pada keyakinan dan kepercayaannya pada “Tao” sebagai jalan Tuhan.
Supaya orang dapat menyelaraskan
hidupnya dengan dengan Jalan Tuhan, maka menurut Taoisme, setiap manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan baik.
Dari Tuhan ia mendapat sifat yang membimbing ke arah kebaikan , yaitu ramah,
sopan, cerdas, jujur, dan hormat. Kelima sifat baik ini harus ada pada manusia,
maka ia akan salah kalau tidak menggunakan sifat tersebut, tapi bila ia
menggunakannya maka akan bisa menjaga hubungan dengan sesama manusia dan juga
alam.[8]
Berbeda dengan Taoisme tentang konsep Tuhan, bagi Konfucius[9] Tuhan
bukan berbentuk manusia. Tuhan jarang dipahami secara demikin di zamannya dan
menolak gagasan yang berkaitan dengan hal itu. Jika dipahami cara konfucius
memahami Tuhan tampak dalam pandangannya istilah ini menggambarkan suatu
kekuatan moral dalam alam semesta yang dipahami secara samar-samar. Ia memberikan pengutamaan yang
sebesar-besarnya pada ikhtiar manusia, dan Tuhan sekiranya hanya menolong.
Karena ia melihat orang yang jahat hidupnya makmur sedangkan orang yang baik
justru sengsara. Meskipun demikian konsep mengenai Tuhan memberinya perasaan
bagaimana ada suatu kekuasaan yang berdiri di pihak mereka yang kesepian yang
memperjuangkan kebenaran[10]
Barangakali dalam konteks inilah Nietzsche[11] seorang
filosof Jerman mengatakan bahwa Tuhan itu telah mati (Got is tot), ia mengatakan demikian karena ia melihat bahwa Tuhan
tidak memperlihatkan kekuasaannya atau perannya ketika ada penindasan pada yang
lemah oleh yang berkuasa, sedangkan Tuhan tidak berbuat apa-apa. Akhirnya ia
hal tersebut membuat ia skeptis terhadap keberadaan dan peran Tuhan.
Dewasa ini, Konfucianism memiliki
fungsi dan kedudukan ganda, antara lain sebagai filsafat, maupun agama. sebagai
sebuah system filsafat, maka Konfucianism menekankan bidang etika sebagai
aturan tingkah laku dan pedoman umum bagi para penganutnya, sehingga sering
dikatakan bahwa Konfucianism sering dikatakan system filsafat yang humanistic.
Sementara sebagai budaya, Konfucianism dapat ditelaah melalui perkembangan
ajarannya yang hampir mewarnai sebagian besar budaya Cina, yang kemudian
diwujudkan dalam adat istiadat, kebiasaan, ritual, maupun sebagai pedoman hidup
sehari-hari.[12]
Konfucianisme dan Taoisme adalah dua
aliran besar dalam pemikiran dan agama
Cina. Akan tetapi janganlah kita bayangkan bahwa kedua tradisi itu telah menghabiskan
waktu lebih dari dua ribu tahun dalam bersaing satu sama lain. Keduanya
mempunyai pengaruh penting dalam pemikiran Cina berikutnya, khususnya para
pemikir neo-Konfucian dari dinasti Sung (960-1279 M), yang secara dangkal
menolak pengaruh-pengaruh Taois dan Budhis, tetapi dalam kenyataannya meminjam
dan mensintesakan banyak hal dari kedua tradisi itu.[13]
Oleh karena itu tidak heran
banyak pakar mengatakan bahwa Konfuciusme, Taoisme, dan Budhisme bukanlah suatu
agama, melainkan sebuah paham atau aliran yang banyak mengajarkan ajaran moral.
Sebab kajian suatu agama tidak bisa dipisaahkan dari siapa Nabi atau
pendidrinya, kitab sucinya, dan konsepnya tentang Tuhan. Sementara dalam konsep
teologi Cina, baik itu Konficius, Taoisme, dan Budhisme tidak begitu jelas.
C. Konsep tentang Humanisme
Manusia adalah obyek yang paling tinggi dalam penciptaaan, bukan karena dia sendiri dapat mengusahakan keselamatan, tetapi karena ia mampu membangun suatu kebudayaan dan peradaban. Karena penghargaan yang mendalam terhadap manusia, kebudayaannya, dan peradabannya, bangsa Cina dapat mengembangkan suatu pemikiran sosial dan politik yang baik dan pandangan etis yang inspiratif. Gagasan tentang demokrasi yang ideal sebenarnya bermula dari Konfucius. Bahkan ada sementara ahli mengatakan bahwa Revolusi Perancis sebenarnya terpengaruh oleh gagasan ini, entah langsung atau tidak. Pemahaman-pemahaman tentang semantik juga berasal dari ratusan sekolah-sekolah Cina yang mempelajari nama-nama. Bangsa Cinalah sebenarnya pertama kali menemukan kertas, seni mencetak, serbuk mesiu, tanpa merasa perlu menyusun metodologi sistematis ilmiah, justru karena bentuk penghargaan bangsa Cina terhadap manusia.[14]
Humanisme di Eropa sudah
mengalami kajian yang mendalam dan mendetail sejak Auguste Comte yang telah
mempeloporinya dengan istilah agama yang humanistik. Manusia merupakan makhluk
Tuhan yang lemah dengan keterbatasnnya dan itu merupakan ketidaksempurnan dari
sifat humanisme itu sendiri.
Ciri humanisme dari pemikiran
filsafat Cina terwakili melalui Confucius yang mempunyai ajaran hsiao, kebaktian. Yaitu bakti seorang
pada leluhur dan orang tuanya. Penyembahan leluhur berhungan dengan hsiao, sebab utuk melakukan penyembahan
haruslah melalui seorang anak laki-laki dalam keluarga.[15] Pemujaan
yang sunguh-sunguh pada leluhur pada masa itu memberi corak tertentu dalam
masyarakat. Maka dengan demikian berkembanglah sistem yang paling kompleks dan
teratur. Sebagian besar ajaran confucius ini ditujukan untuk membenarkan secara
rasional ataupun menyatakan secara teoritis sistem kekeluargaan ini sebagai
landasan humanisme dalam filsafat Cina. Adapun yang dijadikan sistem sosial di
Cina adalah sistem keluarga. Ada lima hubungan sosial
tradisional yang ada di Cina, yaitu; Hubungan antara raja dan hamba, ayah dan
anak, kakak dan adik, suami dan istri, teman dan teman.[16]
Hormat kepada orang tua selain
merupakan salah satu karakteristik pemikiran filsafat Cina juga kejiwaan orang
Cina yang memiliki peranan serta pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan baik
pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Hormat kepada orang tua (filial piety) mengajarkan bahwa,
kedurhakaan seorang anak kepada orang tuanya adalah tindakan yang amat tercela,
demikin pula orang tua yang tidak berlaku baik dan kasih sayang terhadap
anaknya, kakak terhadap adiknya, adik terhadap kakaknya, istri terhadap suami
dan suami terhadap istri. Filial Piety
mendasari konsep etika dalam pemikiran filsafat Cina, khususnya dalam hubungan
kekeluargaan, yang kemudian dikembangkan melalui konsep loyality melandasi hubungan kemasyarakatan maupun kebangsaan dalam
arti luas. Sifat yang kurang begitu menonjol dalam pemikiran dalam filsafat
Barat[17]
Dengan demikian dapat dibedakan
humanisme yang terdapat dalam filsafat Cina berbeda dengan humanisme yang
dipahami di Barat yang hanya menekankan
pada satu aspek saja, manusia. Kalau dalam humanisme Cina ada hubungan yang
erat antara manusia dengan Thien
(sorga) sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan.
Meng Tze atau Mencius (372 – 289 S.M.) adalah murid dari Konfucius
yang terbesar, ia meneruskan dan mengembangkan ajaran gurunya tersebut.
Terutama ia mengajarkan demokrasi, hingga saat ini ungkapannyaa masih terkenal”
Min Wei Kuei” Rakyat adalah yang
utama. Mencius pernah mengatakan bahwa dinasti Chou telah kehilangan
kerajaannya, karena kehilangan rakyat, kehilangan kepercayaan rakyat. Untuk itu
menurutnya cara memperoleh rakyat adalah dengan mencari kepercayaan rakyat, dan
jalan untuk memperolehnya ialah berikan kepada mereka apa yang disukainya.[18] Rakyat
merupakan point penting dalam suatu negara, tanpa rakyat tidak akan ada
kekuasaan, dan kekuasaann itu sendidri hakekatntaya adalah untuk kepentingan
rakayat. Hal ini jelas sesusi dengan prinsip demokrasi itu sendiri, yaitu dari,
untuk, dan oleh rakyat. Namun ia berbeda dengan konsep demokrasi yang dipahami
pada umumnya pemimpin bagi Mencius bukan atas dasar pilihan rakayat, tetapi
adalah putra sorga di dunia (Thien),
cuma ia haruslaah bisa diterima oleh rakyat karena ia melaksanaakan
prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan.[19] E.R.
Hughes sebagaimana dikutip oleh Nio, mengatakan bahwa Mencuis kalau diapandang
dari sudut Realis Barat Frame of mind
(kerangka berfikirnya) bersifat Idealis, dari sudut kaum idealis ia bersifat
Realis[20]
Bisa dipahamai praktek
nilai-nilai kemanusiaan dalam filsafat Cina tidak hanya terkonsentrasi pada
keluarga dalam scope kecil tetapi
juga merambah pada urusan yang berkaitan dengan negara, sebagaiamana telah
dikemukakan oleh Mencuis. Artinya setiap orang mempunyai potensi arif dan
bijaksana asalkan ia mau belajar menghargia sifat kemanusiaannya untuk
kepentingan bersama.
Sisi lain dari pandangan filsafat
Cina yang menonjol adalah tentang humanisme, yaitu masalah keseimbangan.
Manusia dalam hidup ini diseyogyakan selalu menjaga keseimbangan, agar ia dapat
hidup bahagia. Sifat secara rinci diajarkan dalam Yin dan Yang, yang
menyatakan bahwa di alam semesta pada
dasarnya terdapat dua prinsip, yaitu prinsip positif (Yang) dan negatif (Yin).
Secara sepintas nampak bahwa keduanya merupakan dua hal yang berbeda, namun
sebaliknya keduanya saling melengkapi.
Walau nampak berlawanan tapi keduanya sebagai penyeimbang.[21]
Kalau Konfuciusme tampak
memusatkan perhatiannya pada manusia yang hidup di tengah-tengah masyarakat,
maka Taoisme lebih menekankan manusia sebagai manusia itu sendiri. Bahkan jika
Konfuciusme dipandang sebagai yang dominan di Cina, arus pemikiran filsafat
Cina jelas lebih menekankan ke arah luar diri ekslusif manusia.
Hal ini tampak pada pandangan
Konfucianism yang menyatakan bahwa dalam pergaulan, tindakan seseorang selalu
berhubungan dengan orang lain. Hubungan ini dapat dikelompokkan menjadi lima
pertalian pokok, yaitu, ayah dan anak, saudara dan saudara, suami dan istri,
sahabat dan sahabat, serta yang berkuasa dan yang dikuasai. Dalam hubungan ini,
setiap pihak berkelakuan sesuai dengan kedudukannya. Ayah mencintai anak, anak
menghormati, kakak berbaik hati, adik menjunjung, suami tulus, istri patuh.
Sahabat lebih tua peka, sahabat muda khidmat. Yang berkuasa murah hati, yang
dikuasai setia. Tiga dari lima pertalian itu merupakan hubungan keluarga,
karena keluarga dapat dianggap sebagai dasar masyarakat. Dalam lembaga sosial
inilah manusia dididik diajar kebaikan, dan dibentuk tabiatnya.[22]
C. Tinjauan Kritis Analitis
Dalam
pemikiran filsafat Cina yang di dominasi oleh Taoisme, Confucianisme, dan
Budhis tampak bahwa konsep tentang ketuhanan memang tidak menjadi hal yang
urgen dalam kajian teologis mereka. Hal ini barangkali disebabkan oleh fokuus
mereka pada penanaman nilai ethic
moral yang menjadi way of live mereka
dalam tradisi yang sangat kuat mereka pegang. Namun penulis melihat ada beberapa
kesamaan tentang Kosmologi Cina dengan kosmologi Islam dalam beberapa hal,
karena ia bertumpu pada konsep polaritas prinsip-prinsip aktif dan reseptif.
Misalnya, Tuhan (Allah) menurut para sufi lebih diidentikkan dengan sifat-sifat
keindahan (jamal), seperti Maha
Pengampun, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan lain sebagainya atau Yin dalam tradisi Cinanya. Sedangkan
dalam perspektif teologi lebih diidentikkan dengan keagungan (jalal), seperti
Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Besar, dan lainya atau yang disebut dengan Yang. Kedua perspektif ini membentuk dua
kutub dalam pemikiran Islam. Perlu ada keseimbangan yang sangat bagus dan baik
antar kedua kutub tersebut. Teologi negatif maupun positif diperlukan untuk
melahirkan pemahaman yang benar tentang realitas Ilahi.
Selain itu, aliran konfucianism
tidak sepenuhnya sepakat tentang apakah manusia pada dasarnya baik. Hsun tzu
(298-230 SM) bersikeras tentang sebaliknya. Dalam pandangannya, manusia pada
dasarnya jahat, dengan kecenderungan bawaan untuk mengejar tujuan dan
kesenangan pribadi. Akan tetapi, untunglah manusia juga cerdas dan dengan kecerdasannya dapat
mengolah kebaikan yang ada dalam dirinya. Sesuai dengan doktrin Konfucianism,
Hsun tzu menekankan pentingnya ritual dan perilaku yang pantas terhadap orang-orang
di sekeliling kita, khususnya kepada anggota keluarga. Moralitas tidak
didasarkan pada alam, tetapi sebaliknya, moralitas adalah temuan inteligensi
manusia, dibangun untuk menjamin kerjasama social untuk menghadapi
keinginan-keinginan kita yang lebih alamiah, lebih mementingkan diri sendiri.[23]
Dalam konsep humanisme pemikiran
filsafat Cina mempunyai corak tersendiri bila dibandingkan dengan humanisme
yang dianut di Barat dan pada umumnya. Kalau di Barat manusia yang dianggap
makhluk yang tidak sempurna dan mempunyai keterbatasan yang merupakan ciri
khasnya dan hanya berorientasi pada sifat-sifat kemanusiaan semata. Sedangkan
humanisme dalam tradisi Cina tidak ada pengingkaran pada Yang Maha Agung yang
menunjukkan adanya unifikasi dengan antara manusia sebagai Makhluk dan Tuhan
sebagai Khalik. Barangkali pemikiran filsafat Cina yang dalam hal ini wakili
oleh Confucianisme mempunyai warna islami, yaitu adanya Hablum min Allah wa hablum min an-Nas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim Departemen Agama RI
David Trueblood, Filsafat Agama, terj. H.M.
Rasyidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
Elizabeth Seeger, Sejarah Tiongkok Selayang Pandang, terj.
Ong Pok Kiat dan Sudarno, (Jakarta: J.B. Wolters-Groningen, 1951)
Fung Yu-Lan, A Short History of Chinese Philosophy (New York: The McMillan
Company, 1948)
H.G. Creel, Alam Pikiran Cina,
Sejak Konfucius sampai Mao Zedong, terj. Soejono Sumargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1990)
Lasiyo, “Ajaran Konfucianisme, Tinjauan Sejarah dan
Filsafat”, dalam Lasiyo, dkk., Pergulatan dalam Menacari Jati Diri,
(Yogyakarta: Interfidei, 1995)
Lasiyo, “Pemikiran Filsafat Timur dan Barat”, dalam Jurnal Filsafat, Fakultas
Filsafat Universitas Gajah Mada Yogyakarta, No. 27 Th. 1997
Majalah Filsafat Driyarkara, Tahun XXVI, No. 3, Tahun
2001
Nio Joe Lan, Tiongkok Sepanjang
Abad, (Jakarta: Balai Pustaka, 1952)
Paul Chau, Chinese Kinship ,
(London: Paul Kegan International Ltd., 1983)
Robert C.
Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut Pasaribu,
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002)
Rudi Setiadi, “Benarkah Mereka Maju Karena
Konfusinisme?”, dalam Pikiran Rakyat, edisi 8 April 2003
St. Sunardi, Niettzsche, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
[1]
Lihat al-Qur’an al Karim Departemen Agama RI
[2]
David Trueblood, Filsafat Agama, terjemahan H.M. Rasyidi, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1990), hal. 40.
[6]
Lao-tse seorang pemikir Cina terkemuka di zamanya dan sangat dikenal hingga
sekaran ini, ia hidup sezaman dengan Kung-Tze atau di dunia Barat dikenal
dengan Konfucius. Lao-Tze lahir tahun 571 S.M. di Ku-hsien, nama aslinya adalah
Li Erl, sedangkan Lao-Tze berarti pujangga Lao. Ia berasal dari suatu keluarga
yang terhormat dan menjadi penjaga arsip kaisar. Lihat, Nio- Joe Lan, Tiongkok……hal.48
[9] Nama
Konfucius di kenal di Barat sedangkan dalam bahasa Cina Kung Fu-tse. Ia
dilahirkan di daerah Lu, di Shantung pada tahun 551 S.M. Ia merupakan seorang
filosof besar di daratan Cina. Ibid.,
hal. 100. Banyak yang beranggapan bahwa Konfucius adalah pendiri sebuah agama,
padahal itu tidak benar, yang benar adalah pemikiranya menjadi aliran filsafat
yang menjadi panutan yang sangat banyak di Cina.
[11]
Lihat St. Sunardi, Niettzsche,
(Yogyakarta: LkiS, 1996)
[12]
Lasiyo, “Ajaran Konfucianisme, Tinjauan Sejarah dan Filsafat”, dalam Lasiyo,
dkk., Pergulatan dalam Menacari Jati Diri, (Yogyakarta: Interfidei, 1995), hal.
20.
[13]
Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terj. Saut
Pasaribu, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002),
hal. 192.
[22] Rudi
Setiadi, “Benarkah Mereka Maju Karena Konfusinisme?”, dalam Pikiran Rakyat,
edisi 8 April 2003.
[23] Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins,
hal. 190.