Kamis, 04 Juni 2015

Fundamentalisme: Semangat Menjaga Kemurnian Islam
(Kritik Konstruktif  William Montgomery Watt)

Oleh:
Dr. H. Taufik Mandailng

Abstrak

Sebagai sebuah isu yang masyhur di masa kini, Fundamentalisme lebih banyak dipahami sebagai sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi). Kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri karena misinya untuk melakukan pemurnian agama. Dalam pengertian positif, “fundamentalis” adalah istilah  untuk menunjuk gerakan yang bersifat revivalisme atau purifikasi agama. Sebagaimana diungkap dalam tulisan ini, dalam Islam pun gerakan yang bercorak fundamentalis berkembang cukup marak, sebagaimana dikaji oleh W. Montgomery Watt. Bagi Watt kelompok fundamentalis Islam adalah kelompok muslimin yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh.  Lebih jauh menurut Watt,  kemunculan fundamentalisme dalam Islam adalah bentuk perlawanan terhadap apa yang disebut dengan “musuh Islam” yang dalam hal ini adalah  Barat. Selain itu, Watt  mengungkapkan bahwa Muslim tradisional juga menafikan pluralisme  sebagai sebuah keniscayaan.


A.      Pendahuluan
                Memperbincangkan fundamentalisme Islam hingga saat ini adalah sesuatu yang terlihat “seksi” dan menarik untuk dikaji secara mendalam, karena fundamentalisme itu merupakan salah satu wajah Islam yang dilihat oleh orang di luar Islam khususnya Barat dalam menilai keberadaan Islam. Bahkan mereka juga menempelkan stigma negative bahwa fundamentalisme itu adalah salah satu momok yang menakutkan dan sangat lekat dengan Islam.  Sebenarnya Istilah “fundamentalisme Islam” atau “Islam fundamentalis” merupakan  istilah yang dikonstruk dan digunakan oleh Barat sendiri dan masyarakat dunia, baik dalam media dengan berbagai propagandanya, maupun dalam seminar-seminar yang dihadiri mulai pemikir kelas dunia maupun lokal. Padahal fundamentalisme Islam sebenarnya adalah sebuah semangat yang dimiliki oleh sebagian umat Islam yang dilatarbelakangi dari diusungnya peradaban modern Eropa ke Amerika, lalu ke bagian dunia lain melalui gelombang imperialisme, semisal  penaklukan Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tahun 1798, menjadi penting sebagai penggugah untuk merubah diri bagi kaum muslim di bidang sosial, ekonomi, dan politik dalam skala luas.[1]
                    Melihat kondisi Barat yang sebelumnya berada dalam era kegelapan cukup  lama, namun berkat semangat renaisans bisa menjelma dan menjadi kekuatan yang disegani di belahan dunia belakangan ini, ternyata menyadarkan sebagian umat Islam dengan realitas yang mengejutkan tersebut. Mereka sadar bahwa Barat yang lama tenggelam dalam dominasi gereja dan stagnasi dalam peradaban, dan berada dalam kemunduran bisa bangkit berdiri kokoh dan menjadi kekuatan dalam skala besar di semua lini, Islam menurut mereka juga bisa melakukan itu. Maka mulai saat itu muncul sederetan modernis yang mencoba mempertanyakan argumen epistemelogisnya, mengapa kaum muslim itu mundur dan Barat itu bisa mendapatkan kemajuan. Pertanyaan kritis itu menghinggapi setiap pemikir muslim yang concern tentang masa depan Islam di masa yang akan datang.  Oleh karena  itu, harus ada upaya yang serius dan sungguh-sungguh untuk mengejar ketertinggalan tersebut dan menjawab tantangan itu dengan berbuat sesuatu utuk kejayaan Islam, yang pernah mendunia di era keemasan (golden age) di abad 7 – 14 Masehi. 
                    Menyikapi kenyaataan tersebut lalu muncul pemikiran-pemikiran ke arah perbaikan secara signifikan dari beberapa modernis Muslim. Setiap modernis tersebut dalam melontarkan gagasannya senantiasa berangkat dari akar pemikiran yang sama, yaitu munculnya keprihatinan yang sangat mendalam terhadap keterbelakangan kaum muslim dibandingkan dengan peradaban masyarakat modern Barat, dan selanjutnya mencari jalan pemecahan untuk membawa kaum muslim pada kemajuan. Tema besar yang diusung saat itu adalah keinginan kuat untuk memposisikan Islam dalam percaturan dunia global sebagai salah satu kekuatan yang diperhitungkan. Tema besar tersebut terpolarisasi paling tidak dalam dua aliran besar yang saling berbeda pandangan. Pertama, aliran yang menginginkan perlunya pembaharuan dalam pemahaman ajaran Islam. Aliran ini ini dapat dikatakan terwakili oleh Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh di Mesir. Kedua, aliran yang menghendaki penerapan kembali syariat Islam sebagaimana dipraktekkan di zaman Nabi dan sahabat yang merujuk pada masa Islam awal. Aliran ini terwakili dalam Muhammad Bin Abdul Wahab an-Najdi, Muhammad Rasyid Ridha, Hassan al-Bannna, dan Sayyid Qutb. Tiga orang tersebut juga dari Mesir kecuali an-Najdi dari Saudi Arabia. Kedua aliran tersebut berbeda sekali dalam memahami ajaran Islam, khususnya dalam memahami al-Quran dan Hadis. Aliran pertama  mempunyai kecenderungan rasional dan kontekstual dalam memahami teks (nash) dan sangat menghargai dan mengakomodir faktor sosial  dan dinamika sejarah yang berkembang secara dianamis. Sedangkan aliran kedua lebih dekat dengan pola tekstualis terhadap al-Qur’an dan Hadis dan mengabaikan aspek sosiologis, historis, dan kultur, dan mempunyai kecenderungan normatif dan doktriner serta mempunyai potensi fundamentalis. Aliran yang kedua berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang sudah final dan komplit dalam segala hal dan merupakan agama yang rahmatan lil alamin.
                    Realitas yang terjadi pada akhir abad ke-20, aliran kedua yang menunjukkan sikap dalam dinamika kehidupan di belahan dunia dengan memunculkan sikap yang mereka ambil sebagai fundamentalis Islam atau Islam fundamentalis. Sementara aliran pertama lebih moderat dan liberal dalam memahami  dan memperjuangkan Islam untuk menggapai peradaban yang modern. Pertanyaan kritisnya adalah apa dan bagaimana fundamentalisme Islam atau Islam fundamentalis dari sudut pandang seorang William Montgomery Watt seorang pemikir besar di abad ini yang mencoba membedah dan menganalisa terkait fundamentalisme dalam Islam. Pertanyaannya, bagaimana seorang Watt yang nota bene seorang yang non muslim melihat fundamentalisme dalam Islam dalam sudut pandang out sider. Kajian Watt ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena asumsinya pandangan outsider biasanya ”agak objektif” dan tidak merasa  terpasung dengan sudut pandang yang partikular daripada  kajian yang dibaca oleh insider, benarkah demikian?

B.      Fundamentalisme
Arti kata fundamentalisme dalam Kamus Bahasa Indonesia  berasal dari kata “fundamen” yang artinya fondasi, dasar, asas, dan hakikat. Secara terminologis, istilah fundamentalisme diartikan sebagai paham yang memperjuangkan sesuatu secara radikal.[2] Sedikit berbeda tapi dengan maksud yang sama dalam Kamus Oxford kata “fundamentalisme” diartikan sebagai “pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti kesempurnaan Injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung di dalamya sebagai fundamental dalam pandangan Protestan.[3]
Hal senada juga dinyatakan George Marsden bahwa fundamentalisme adalah suatu sub-jenis dari penyebaran agama Nasrani. Istilah tersebut dimulai di Amerika pada tahun 1920 dan menunjuk kepada para pengabar Injil yang menghubungkan pemimpin Kristen, untuk wajib bertempur dengan tanpa kompromi terhadap teologi kaum modernis dan kecenderungan kultural tertentu yang sekuler. Mengorganisir militansi  adalah masa depan yang sangat jelas membedakan kaum fundamentalis dari para pengabar Injil lainnya. [4]
Munculnya fundamentalisme sebagai gerakan keagamaan sesungguhnya merupakan reaksi terhadap perjalanan panjang pergolakan dan pertarungan pemikiran di dunia Barat, tepatnya hubungan antara perseteruan sebagai akibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin merosotnya peran gereja. Peranan gereja yang demikian besar, secara perlahan menjadi pudar, apalagi setelah muncul beberapa gerakan-gerakan besar di Eropa, semisal terjadinya renaisans, bangkitnya humanisme dan reformasi.
Gerakan-gerakan besar inilah yang kemudian menyebabkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Kemajuan ini kemudian melahirkan revolusi industri di  Eropa yang membawa perubahan radikal terhadap pandangan manusia atas agama. Istilah  “matilah agama”- Karl Marx, dan bahkan  Allah sudah mati”-nya Nietszche adalah semboyan dan slogan yang cukup populer.[5]
Pengertian tersebut di atas adalah merujuk pada agama Protestan yang berupaya kembali pada ajaran awalnya sesuai dengan teks ajaran agama yang dimaknai secara apa adanya dan cenderung formal, keras, dan radikal. Lebih lanjut dalam pengertian ini berimbas pada setiap agama yang melakukan upaya kembali pada ajaran awal tersebut menjadi lumrah disebut fundamentalis, tidak terkecuali dengan Islam.
Dengan melihat latar di atas, fundamentalisme tidak identik dengan Islam apalagi bermetamorfosis dengan Islam.  Alasannya,  kemunculan fundamentalisme dalam agama Protestan sangat berbeda dengan apa yang ada dalam Islam. Martin Van Bruinessen  menjelaskan bahwa dalam konteks Islam terdapat latar belakang intelektual dan politik yang berbeda, sehingga pelabelan fundamentalisme sering menimbulkan kerancuan. Dalam masyarakat Muslim, kecenderungan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan secara tekstual dan rigid memang  terjadi. Dengan alasan itulah istilah fundamentalisme Islam dilekatkan pada mereka yang menafsir secara tekstualis oleh para orientalis dan Islamisis Barat.
Namun demikian, pemaknaan fundamentalisme yang identik dengan Islam tidak terhindarkan  karena dalam agama ini pula tumbuh subur bibit radikalisme.  Kondisi demikian tidak bisa lepas sepenuhnya dari skenario dan propaganda Barat dengan dukungan media yang sangat mempunyai kecenderungan  Islamo-phobia .  Bernard Lewis  menamakan sejumlah kelompok radikal atau militan Islam dengan sebutan “fundamentalis”. Penggunaan istilah ini sudah dimantapkan dan karenanya mesti diterima, tetapi istilah ini tetap harus disayangkan penggunaannya dan bisa mengacaukan.[6] Dalam konteks tradisi Islam,  Seyyed Hoesein Nasr, misalnya,  berpendapat bahwa arti fundamentalisme masih ambigu.  Fundamentalisme yang pada awalnya berlaku dalam konteks Kristen di Amerika Serikat, kini fundamentalisme telah menjadi ikon sendiri terutama terhadap kelompok agama tertentu yang dianggap bersifat konservatif. Fenomena fundamentalisme tidak hanya dipahami sebagai sebuah gejala agama, sosial, budaya dan politik, juga dapat dilihat dalam perspektif kelompok fundamentalisme dalam Islam.[7] Istilah fundamentalisme Islam mulai populer di Barat menyusul pecahnya revolusi Islam di Iran tahun 1979. Istilah ini juga  sering digunakan untuk menggeneralisasi  beragam gerakan Islam yang muncul dalam satu tarikan nafas kebangkitan Islam (Islamic revival).
Dalam konteks ini, Azyumardi Azra berpendapat bahwa fundamentalisme diklaim sebagai bentuk ekstrim dari gejala revivalisme.  Namun,  dalam perjalanannya, fundamentalisme menimbulkan kesulitan untuk dibedakan dengan revivalisme.[8] Bahkan generalisasi yang distortif dan simplifikatif sering terjadi, baik oleh ilmuan barat mupun umat Islam sendiri. Fundamentalisme sebagai bentuk ekstrim dari gejala revivalisme, tidak hanya meningkat intensifikasi keislamannya yang lebih berorientasi ke dalam sebagaima  ditemukan dalam gejala revivalisme yang lebih bersifat individual, tetapi juga berorientasi ke luar yang dengan demikian diarahkan sebagai gerakan yang bersifat komunal dan massif. Oleh karena itu, gejala revivalisme terindikasikan tidak hanya dalam peningkatan gejala esoterisme Islam, namun lebih menunjukkan aspek eksoterisme yang dengan demikian sangat menekankan  pada aspek kebolehan dan ketidakbolehan berdasarkan batas-batas fikih secara rigid.
Menurut Leonard Binder, sebagai aliran keagamaan fundamentalisme adalah aliran yang bercorak romantis kepada Islam periode awal. Mereka berkeyakinan bahwa doktrin Islam adalah lengkap, sempurna dan mencakup segala persoalan. Hukum-hukum Tuhan diyakini telah mengatur seluruh alam semesta tanpa ada masalah-masalah yang luput dari perhatiannya. Bagi Allan Taylor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi dan Bruce Lawrence, kaum fundamentalis adalah kelompok yang melakukan pendekatan rigid dan literalis. Menurut Bannerman, kaum fundamentalis adalah kelompok ortodoks yang bercorak rigid dan ta’ashub yang bercita-cita untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad ketujuh masehi, yaitu doktrin Islam dari zaman klasik.[9]
Untuk  memudahkan memahami fundamentalisme, Martin E. Marty and R. Scott Appelby, memberikan ciri-ciri kelompok fundamentalis sebagai berikut :
1.              Menentang modernisme termasuk di dalamnya otonomi individual, hegemoni nalar dan ideologi kemajuan, termasuk di dalamya paham empirisme, scientism dan meritokrasi. Kaum fundamentalis tak punya kepentingan dengan demokrasi, pluralisme, toleransi agama, kebebasan berbicara dan lain-lain. Namun mereka, sungguhpun anti sekulerisme, namun tetap menjadi pengguna alat-alat hasil teknologi seperti komputer, internet, pesawat, alat-alat perang modern dan lain-lain.
2.              Meyakini bahwa kitab suci itu tak bisa dan tak akan pernah salah termasuk penafsiran mereka sendiri akan teks-teks suci itu. Hanya penafsiran kelompoknya sajalah yang benar sementara yang lain salah.
3.              Hanya meyakini kelompoknya saja yang benar dan selamat. Dalam kacamata penganut fundamentalisme, hanya ada dua pilihan, jadi pelayan Tuhan atau pelayan setan. Dalam istilah Sayyid Qutb hanya ada dua nizham, nizham Islami atau nizham jahiliy.
4.              Cenderung bersikap tertutup alias eksklusif terhadap kelompok lain, namun sangat kuat ikatan persaudaraan sesama anggota.
5.              Kaum fundamentalis cenderung tertutup alias bersikap reaktif, defensif dan selektif serta tak segan-segan menggunakan jalan kekerasan untuk merealisir tujuannya.[10]

Walaupun pada awalnya fundamentalisme itu muncul dan berkembang dalam tradisi Kristen, tapi  belakangan sorotan fundamentalisme selalu dialamatkan pada wlayah geografis yang penganut muslimnya besar, yaitu Asia dan Afrika. Secara historis dalam Islam, fundamentalisme dalam pengertian kembali kepada sumber ajaran secara literalistik senyatanya sudah muncul sejak masa awal, pada masa terjadinya perjanjian perdamaian antara pihak Ali (ra) dan kelompok Mu’awiyah. Pada saat itu ada kelompok yang menganggap kafir baik Ali (ra) maupun Mu‟awiyah, hingga kekejian Khawarij (golongan pembelot) yang menghalalkan darah Khalifah Ali.
Jadi bila melihat akar fundamentalisme Islam dengan kerangka teori bahwa semangat kembali apada semangat awal ajaran agama, maka tampak fundamentalisme bukan hal yang baru,walau sesungguhnya pemaknaan yang terjadi sekarang adalah menghidupkan Islam sebagai way of life, civil society, dan culture. Untuk itu, kembali pada semangat ajaran Islam asli adalah mutlak dilakukan.  Dengan demikian, tidak mengherankan bila yang berpegang pada semangat fundamentalisme Islam menolak hal yang berbau western serta pengaruhnya yang mengglobal.

C.      Akar Permasalahan Fundamentalisme
                    Munculnya fundamentalisme dalam Islam  bukan secara tiba-tiba, tanpa sekedar alasan menjaga kemurnian Islam dan kembali kepada ajaran Islam awal. Bila dicermati, paling tidak ada beberapa sebab yang memunculkkan fundamentalisme dalam Islam. Ini tergambar dalam pandangan seorang pemikir muslim kontemporer Abdullah Saeed, menurutnya munculnya fundamentalisme paling kurang disebabkan oleh beberapa faktor beikut:

a.       Kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam.
b.      Pembatasan dan pengawasan sumber-sumber ekonomi negara muslim, pembiaran negara muslim agar tetap lemah, pencegahan kekuatan muslim untuk bangkit melawan hegemoni Barat, serta pendudukan wilayah muslim oleh Barat.
c.       Politik double standar yang diterapkan oleh Barat, pembatasan dakwah Islam sementara disisi lain mensupport missionaris.
d.      Perasaan ketidakberdayaan dalam menghadapi barat yang powerfull, yang hampir putus asa buat dilawan dengan jalan biasa.[11]

Dalam pandangan Karen Amstrong, fundamentalisme bisa muncul oleh dua kondisi penting, yaitu:
a.       Fundamentalisme merupakan reaksi terhadap kebudayaan ilmiah dan sekuler yang muncul pertama kali di Barat dan kemudian merambah seluruh kawasan dunia. Tradisi modernitas dianggap mengancam eksistensi agama bagi para pengikutnya dan menjauhkan umat beragama dari kebenaran sejatinya,
b.      Rasionalisme dan intelektualisme yang menimbulkan revolusi sosial dan politik telah menyebabkan perubahan tatanan ekonomi dunia yang luar biasa akibat perubahan pola reproduksi sumberdaya yang terjadi dalam kurun 400-an tahun telah berhasil mengguncang seluruh kawasan di dunia, termasuk negara-negara muslim.[12]
Sedangkan sebagai bahan kajian perbandingan,  fundamentalisme dalam Islam dan Kristen, menurut James Barr,  mengemukakan ciri-ciri fundamentalisme (Kristen) sebagai berikut :
1.       Penekanan yang amat kuat pada ketiadasalahan (inerrancy) al-Kitab. Bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan dalam bentuk apapun;
2.       Kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta terhadap metode, hasil dan akibat-akibat  studi kritik modern terhadap Alkitab;
3.       Jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak ikut menganut pendangan keagamaan mereka sama sekali bukanlah ”Kristen Sejati”.[13]

Menurut penulis, fundamentalisme yang muncul dalam tradisi agama apapun, sesungguhnya bukanlah fenomena tunggal, banyak hal yang terkait dengannya suka ataupun tidak suka.  Kemunculannya, bisa karena murni pemahaman agama yang diyakini oleh sekelompok penganut agama terhadap doktrin teks-teks suci, namun juga bisa muncul sebagai reaksi terhadap kondisi sosial, politik dan bahkan  budaya, yang mengalienasi nilai-nilai  spiritualitas agama dan bahkan mencerabut nilai-nilai agama dari kancah kehidupan modern dengan setumpuk isme yang occident sentris. Pendekatan subjektivis dan objektivis untuk melihat konstruk yang membentuk dan memahami realitas fundamentalisme keagamaan juga digunakan di dalamnya.

D.      William Montgmery Watt tentang Fundamentalisme Islam
William Montgmery Watt[14]  adalah pemikir Barat yang mengkaji Islam. Ia memandang pernyataan al-Qur’an sebagai kenyataan sejarah yang semestinya dapat didekati dengan metode kritik sejarah. Tujuan dari kritik sejarah tersebut untuk menemukan kenyataan objektif. Namun, suatu karya sejarah tidak hanya berisi kumpulan kenyataan objektif, tetapi mengharuskan kenyataaan-tertentu mesti dipilih dari sejumlah besar kenyataan dalam rangka menghadirkan suatu gambaran yang menyoroti nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu, metode kritik sejarah diajukan oleh Watt dalam menganalisis kajian tentang Islam. Namun  demikian,  metode  ini  pincang terhadap fakta-fakta objektif karena data-datanya hanya bersifat ikonik.[15] Apa yang dikemukakan Watt menemukan kebenarannya ketika Islam dalam lintasan historis pernah mengalami abad keemasan (golden age). Tapi melalui kritik sejarah, ia  menilai bahwa kejayaan Islam terjadi karena semangat keilmuan yang begitu tinggi dan Barat yang saat itu berada dalam kegelapan.  Sehingga konteks kemajuan Islam saat itu tidak serta merta dengan mudah disamakan dengan kondisi Islam saat ini ketika Barat sudah menjadi pusat peradaban dunia pasca era industrial.
Watt menjelaskan bahwa seharusnya umat Muslim dewasa ini dapat berhadapan dengan kemordernan sejarah. Sehingga ia memotret semangat fundamentalisme Islam, terutama di kalangan Sunni, sangat suram dan tidak membawa harapan, kecuali gerakan ini harus menyeberang ke sisi lain, seperti Islam yang lebih moderat seperti yang tercermin dalam gagasan Fazlur Rahman[16] dan Mohamed Arkoun. Namun demikian, dengan pendekatan historical criticism, Watt memberikan tawaran strategis pada Islam ketika harus bersentuhan dengan modernitas. Ia menjelaskan bahwa Islam harus merespon dengan berbagai cara pengaruh totalitas  Barat atas peradaban Islam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kritik sejarah yang diajukan Watt paling tidak menemukan kesesuaian bahwa Muslim saat ini hidup di abad modern dan tidak hidup di zaman lalu yang penuh dengan romantisme sejarah.  Kalau Muslim masih terbuai dengan romantisme masa lalu, maka potret diri Islam hanya akan menyulitkan muslim sendiri dalam beradaptasi secara baik dengan kehidupan modern.  Kesulitan lain juga mengurangi umat  Muslim untuk memainkan peran strategisnya dalam urusan-urusan dunia global  yang terjadi.
Watt juga mengkritik anggapan sebagian Muslim tradisional yang beranggapan Islam bisa mendapatkan kebangkitannnya dengan kembali pada semangat Islam awal. Menurutnya di situlah kesalahan dalam memahami sejarah bahwa sejarah masa lalu bisa terulang dengan konteks masa lalu. Lebih lanjut Watt mempertanyakan  kemampuan Islam  dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi  dewasa ini. Menurutnya keyakinan atas kemandirian  adalah  keliru, karena tidak ada satupun yang bisa mandiri sepenuhnya, begitu pula dengan Islam.  Ada beberpa pemikiran yang dilontarkan oleh Watt terkait kondisi Muslim tersebut, yaitu kebutuhan membangun kembali pijakan intelektual pandangan dunia Islam.
Kritik sejarah yang dilontarkan banyak pemikir Barat semestinya tidak ditanggapi miring oleh Islam. Karena faktanya setelah abad ke-13 Islam perlahan-lahan redup dan mengalami kemunduran secara signifikan. Hal itu tidak dapat dipungkiri karena alasan lemahnya pijakan inteletual pasca ditutupnya pintu ijtihad. Sehingga pemikiran yang moderat dan liberal tertutup rapat. Memang adalah sebuah kenyataan bahwa muslim tradisional mengkhawatirkan keadaan ini, yaitu secara perlahan namun pasti bahwa dunia Islam secara bertahap mulai kehilangan jati  dirinya seiring memudarnya karakteristik umat Islam, lalu akan berakhir dengan kehancuran moralitas seperti yang dialami oleh Barat. Tingginya sebuah peradaban mestinya berbanding lurus dengan tingginya apresiasi terhadap nilai-nilai etika. Agar hal itu bisa  terwujud tidak ada pilihan lain adalah dengan memajukan pendidikan Islam yang diharapakan dapat menjadi filter  dari pengaruh negatif dari luar yang dapat menghapus nilai religiusitas dan sistem Islam yang sudah berjalan.
Selain itu kaum tradisional muslim memandang bahhwa Islam belum mempunyai jati dirinya yang sesungguguhnya dalam sosial politik karena kurang memahami kosep Islam sebagai kekuatan politik yang sesungguhnya sangat diperhitungkan di percaturan global. Mereka juga meyakini bahwa negara yang dibentuk di zaman Nabi adalah adalah sebuah model yang sudah final  sebagai civil society dan merupakan salah satu khas Islam yang tidak dimiliki  oleh agama manapun di dunia ini. Sebab adalah sebuah keniscayaan akan adanya korelasi antara agama  dan politik menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
Selain itu Watt juga mengkritisi posisi muslim dalam percaturan dunia politik internasional yang menurutnya kaum tradisional muslim justru mempersulit dirinya dalam memainkan peran strategisnya yang sebenarnya mempunyai kekuatan dan harapan besar. Lebih lanjut Watt ingin meluruskan anggapan kaum tradisional muslim yang mengatakan kolonialisme bukanlah perluasan Islam. Walaupun hal ini sesungguhnya bisa terajadi terhadap bangsa manapun di dunia ini ketika melakukan kolonialisasi berefek pada pada penyebaran kebudayaan dan keyakinan.[17]  Penulis sendiri perlu menganalisa kritik Watt ini, bahwasanya negara manapun yang melakukan penjajahan pasti secara serta menempelkan budaya dan keyakinan yang dimilikinya, dan tentu saja tidak terkecuali dengani Islam.
Namun Watt memberikan pandangan yang cukup objektif bahwa keragaman adalah sebuah keniscayaan, dan harus diakui oleh semua masyarakat dunia dimanapun berada. Islam juga merupakan entitas penting di dunia ini, sehingga juga harus mengakui adanya keragaman manusia.
Bila diicermati pandangan Watt ini sebenarnya sejak awal ia merasa kurang tepat dengan istilah fundamentalisme ini disematkan pada Islam yang berlabel tradisioanlis. Karena menurutnya walaupun mereka memahami nash (teks) al-Quran dan Hadis secara kontektual namun hanya dalam kasus-kasus teretntu dan tidak di semua persolan yang ada. Argumen Watt adalah sesunguhnya kaum muslim itu berbeda dengan kelompok yang benar-benar tradisionl yang benar-benar anti dengan modernitas sebagaimana dikemukan oleh Charles Kurzman.[18]                                                                
Dalam kontek ini William Montgomery Watt mengidentifikasi bahwa kelompok fundamentalis adalah kelompok yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh. Misalnya, mereka mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas, memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah mutakhir. Itu semua adalah “fundamentalisme” dalam terminologi Barat dan dalam visi Kristen.[19] Lebih lanjut, Watt menyatakan bahwa pada dasarnya fundamentalisme merupakan suatu istilah Inggris kuno yang ditujukan kepada kalangan Protestan yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara rigid dan harfiah. Istilah sepadan yang paling dekat dalam bahasa Perancis adalah integrism, yang merujuk kepada kecenderungan senada tetapi tidak dalam pengertian kecenderungan yang sama di kalangan kaum Katolik Romawi.
Oleh karena itu, bagi Watt kelompok fundamentalis Islam adalah kelompok muslimin yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh.[20] Dalam pengertian positif, Hassan Hanafi berpendapat  bahwa term “fundamentalis” adalah istilah  untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan peneliti Barat lalu kemudian digunakan oleh banyak pemikir pada periode berikutnya.[21]  Bagi Watt,  kemunculan fundamentalisme dalam Islam adalah bentuk perlawanan terhadap apa yang disebut dengan “musuh Islam” yang dalam hal ini adalah  Barat. Selain itu, Watt  mengungkapkan bahwa Muslim tradisional juga menafikan pluralisme  sebagai sebuah keniscayaan.