Fundamentalisme:
Semangat Menjaga Kemurnian Islam
(Kritik Konstruktif
William Montgomery Watt)
Oleh:
Dr. H. Taufik Mandailng
Abstrak
Sebagai sebuah isu yang masyhur di masa kini, Fundamentalisme lebih banyak dipahami
sebagai sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya
untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas
(fondasi). Kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan
dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri
karena misinya untuk melakukan pemurnian agama. Dalam pengertian
positif, “fundamentalis”
adalah istilah untuk menunjuk gerakan yang bersifat revivalisme atau purifikasi
agama. Sebagaimana diungkap dalam tulisan ini, dalam Islam pun gerakan
yang bercorak fundamentalis berkembang cukup marak, sebagaimana dikaji oleh W.
Montgomery Watt. Bagi Watt kelompok fundamentalis Islam adalah
kelompok muslimin yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional
serta berkehendak mempertahankannya secara utuh. Lebih jauh menurut Watt, kemunculan fundamentalisme dalam Islam adalah
bentuk perlawanan terhadap apa yang disebut dengan “musuh Islam” yang dalam hal
ini adalah Barat. Selain itu, Watt mengungkapkan bahwa Muslim tradisional juga
menafikan pluralisme sebagai sebuah
keniscayaan.
A.
Pendahuluan
Memperbincangkan fundamentalisme
Islam hingga saat ini adalah sesuatu yang terlihat “seksi” dan menarik untuk
dikaji secara mendalam, karena fundamentalisme itu merupakan salah satu wajah Islam
yang dilihat oleh orang di luar Islam khususnya Barat dalam menilai keberadaan Islam.
Bahkan mereka juga menempelkan stigma negative bahwa fundamentalisme itu adalah
salah satu momok yang menakutkan dan sangat lekat dengan Islam. Sebenarnya Istilah “fundamentalisme Islam”
atau “Islam fundamentalis” merupakan
istilah yang dikonstruk dan digunakan oleh Barat sendiri dan masyarakat
dunia, baik dalam media dengan berbagai propagandanya, maupun dalam
seminar-seminar yang dihadiri mulai pemikir kelas dunia maupun lokal. Padahal
fundamentalisme Islam sebenarnya adalah sebuah semangat yang dimiliki oleh
sebagian umat Islam yang dilatarbelakangi dari diusungnya peradaban modern
Eropa ke Amerika, lalu ke bagian dunia lain melalui gelombang imperialisme, semisal penaklukan Napoleon Bonaparte ke Mesir pada
tahun 1798, menjadi penting sebagai penggugah untuk merubah diri bagi kaum muslim
di bidang sosial, ekonomi, dan politik dalam skala luas.[1]
Melihat
kondisi Barat yang sebelumnya berada dalam era kegelapan cukup lama, namun berkat semangat renaisans
bisa menjelma dan menjadi kekuatan yang disegani di belahan dunia belakangan
ini, ternyata menyadarkan sebagian umat Islam dengan realitas yang mengejutkan
tersebut. Mereka sadar bahwa Barat yang lama tenggelam dalam dominasi gereja dan
stagnasi dalam peradaban, dan berada dalam kemunduran bisa bangkit berdiri
kokoh dan menjadi kekuatan dalam skala besar di semua lini, Islam menurut
mereka juga bisa melakukan itu. Maka mulai saat itu muncul sederetan modernis
yang mencoba mempertanyakan argumen epistemelogisnya, mengapa kaum muslim itu
mundur dan Barat itu bisa mendapatkan kemajuan. Pertanyaan kritis itu
menghinggapi setiap pemikir muslim yang concern tentang masa depan Islam
di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, harus ada upaya yang serius
dan sungguh-sungguh untuk mengejar ketertinggalan tersebut dan menjawab
tantangan itu dengan berbuat sesuatu utuk kejayaan Islam, yang pernah mendunia di
era keemasan (golden age) di abad 7 – 14 Masehi.
Menyikapi
kenyaataan tersebut lalu muncul pemikiran-pemikiran ke arah perbaikan secara
signifikan dari beberapa modernis Muslim. Setiap modernis tersebut dalam
melontarkan gagasannya senantiasa berangkat dari akar pemikiran yang sama,
yaitu munculnya keprihatinan yang sangat mendalam terhadap keterbelakangan kaum
muslim dibandingkan dengan peradaban masyarakat modern Barat, dan selanjutnya
mencari jalan pemecahan untuk membawa kaum muslim pada kemajuan. Tema besar
yang diusung saat itu adalah keinginan kuat untuk memposisikan Islam dalam percaturan
dunia global sebagai salah satu kekuatan yang diperhitungkan. Tema besar
tersebut terpolarisasi paling tidak dalam dua aliran besar yang saling berbeda
pandangan. Pertama, aliran yang menginginkan perlunya pembaharuan dalam
pemahaman ajaran Islam. Aliran ini ini dapat dikatakan terwakili oleh
Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh di Mesir. Kedua, aliran yang
menghendaki penerapan kembali syariat Islam sebagaimana dipraktekkan di zaman
Nabi dan sahabat yang merujuk pada masa Islam awal. Aliran ini terwakili dalam
Muhammad Bin Abdul Wahab an-Najdi, Muhammad Rasyid Ridha, Hassan al-Bannna, dan
Sayyid Qutb. Tiga orang tersebut juga dari Mesir kecuali an-Najdi dari Saudi
Arabia. Kedua aliran tersebut berbeda sekali dalam memahami ajaran Islam,
khususnya dalam memahami al-Quran dan Hadis. Aliran pertama mempunyai kecenderungan rasional dan
kontekstual dalam memahami teks (nash) dan sangat menghargai dan
mengakomodir faktor sosial dan dinamika
sejarah yang berkembang secara dianamis. Sedangkan aliran kedua lebih dekat
dengan pola tekstualis terhadap al-Qur’an dan Hadis dan mengabaikan aspek
sosiologis, historis, dan kultur, dan mempunyai kecenderungan normatif dan
doktriner serta mempunyai potensi fundamentalis. Aliran yang kedua berpandangan
bahwa Islam merupakan
agama yang sudah final dan komplit dalam segala hal dan merupakan agama yang rahmatan
lil alamin.
Realitas yang terjadi pada akhir abad ke-20,
aliran kedua yang menunjukkan sikap dalam dinamika kehidupan di belahan dunia
dengan memunculkan sikap yang mereka ambil sebagai fundamentalis Islam atau Islam
fundamentalis. Sementara aliran pertama lebih moderat dan liberal dalam
memahami dan memperjuangkan Islam untuk
menggapai peradaban yang modern. Pertanyaan kritisnya adalah apa dan bagaimana
fundamentalisme Islam atau Islam fundamentalis dari sudut pandang seorang William Montgomery Watt seorang pemikir besar di
abad ini yang mencoba membedah dan menganalisa terkait fundamentalisme dalam Islam.
Pertanyaannya, bagaimana seorang Watt yang nota bene seorang yang non
muslim melihat fundamentalisme dalam Islam dalam sudut pandang out sider.
Kajian Watt ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena asumsinya pandangan
outsider biasanya ”agak objektif” dan tidak merasa terpasung dengan sudut pandang yang partikular
daripada kajian yang dibaca oleh
insider, benarkah demikian?
B.
Fundamentalisme
Arti kata fundamentalisme dalam Kamus
Bahasa Indonesia berasal dari kata
“fundamen” yang artinya fondasi, dasar, asas, dan hakikat. Secara terminologis,
istilah fundamentalisme diartikan sebagai paham yang memperjuangkan sesuatu
secara radikal.[2] Sedikit berbeda tapi
dengan maksud yang sama dalam Kamus Oxford kata “fundamentalisme” diartikan sebagai
“pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti
kesempurnaan Injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung di dalamya
sebagai fundamental dalam pandangan Protestan.[3]
Hal senada
juga dinyatakan George Marsden bahwa
fundamentalisme adalah suatu sub-jenis dari penyebaran agama Nasrani. Istilah
tersebut dimulai di Amerika pada tahun 1920 dan menunjuk kepada para pengabar
Injil yang menghubungkan pemimpin Kristen, untuk wajib bertempur dengan tanpa
kompromi terhadap teologi kaum modernis dan kecenderungan kultural tertentu
yang sekuler. Mengorganisir militansi adalah masa
depan yang sangat jelas membedakan kaum fundamentalis dari para pengabar Injil
lainnya. [4]
Munculnya fundamentalisme
sebagai gerakan keagamaan sesungguhnya merupakan reaksi terhadap perjalanan
panjang pergolakan dan pertarungan pemikiran di dunia Barat, tepatnya hubungan
antara perseteruan sebagai akibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan
dan semakin merosotnya peran gereja. Peranan gereja yang demikian besar, secara
perlahan menjadi pudar, apalagi setelah muncul beberapa gerakan-gerakan besar
di Eropa, semisal terjadinya renaisans, bangkitnya humanisme dan reformasi.
Gerakan-gerakan besar inilah
yang kemudian menyebabkan kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Kemajuan ini kemudian
melahirkan revolusi industri di Eropa
yang membawa perubahan radikal terhadap pandangan manusia atas agama. Istilah “matilah
agama”- Karl Marx, dan bahkan “Allah sudah mati”-nya Nietszche adalah semboyan dan slogan
yang cukup populer.[5]
Pengertian tersebut di atas adalah
merujuk pada agama Protestan yang berupaya kembali pada ajaran awalnya sesuai
dengan teks ajaran agama yang dimaknai secara apa adanya dan cenderung formal,
keras, dan radikal. Lebih lanjut dalam pengertian ini berimbas pada setiap
agama yang melakukan upaya kembali pada ajaran awal tersebut menjadi lumrah
disebut fundamentalis, tidak terkecuali dengan Islam.
Dengan melihat latar di atas, fundamentalisme tidak
identik dengan Islam apalagi bermetamorfosis dengan Islam. Alasannya, kemunculan fundamentalisme dalam agama
Protestan sangat berbeda dengan apa yang ada dalam Islam. Martin Van Bruinessen
menjelaskan bahwa dalam konteks Islam
terdapat latar belakang intelektual dan politik yang berbeda, sehingga
pelabelan fundamentalisme sering menimbulkan kerancuan. Dalam masyarakat Muslim,
kecenderungan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan secara tekstual dan rigid memang
terjadi. Dengan alasan itulah istilah
fundamentalisme Islam dilekatkan pada mereka yang menafsir secara
tekstualis oleh para orientalis dan Islamisis Barat.
Namun demikian, pemaknaan fundamentalisme yang
identik dengan Islam tidak terhindarkan karena dalam agama ini pula tumbuh subur
bibit radikalisme. Kondisi demikian tidak bisa lepas sepenuhnya dari
skenario dan propaganda Barat dengan dukungan media yang sangat mempunyai
kecenderungan Islamo-phobia . Bernard Lewis menamakan
sejumlah kelompok radikal atau militan Islam dengan sebutan “fundamentalis”.
Penggunaan istilah ini sudah dimantapkan dan karenanya mesti diterima, tetapi
istilah ini tetap harus disayangkan penggunaannya dan bisa mengacaukan.[6] Dalam konteks tradisi
Islam, Seyyed Hoesein Nasr, misalnya, berpendapat bahwa arti fundamentalisme masih ambigu. Fundamentalisme yang pada awalnya berlaku
dalam konteks Kristen di Amerika Serikat, kini fundamentalisme telah menjadi
ikon sendiri terutama terhadap kelompok agama tertentu yang dianggap bersifat
konservatif. Fenomena
fundamentalisme tidak hanya dipahami sebagai sebuah gejala agama, sosial,
budaya dan politik, juga dapat dilihat dalam perspektif kelompok
fundamentalisme dalam Islam.[7] Istilah
fundamentalisme Islam mulai populer di Barat menyusul pecahnya revolusi Islam
di Iran tahun 1979. Istilah ini juga sering
digunakan untuk menggeneralisasi beragam gerakan Islam yang muncul dalam
satu tarikan nafas kebangkitan Islam (Islamic revival).
Dalam
konteks ini, Azyumardi Azra berpendapat bahwa fundamentalisme diklaim
sebagai bentuk ekstrim dari gejala revivalisme.
Namun, dalam perjalanannya, fundamentalisme
menimbulkan kesulitan untuk dibedakan dengan revivalisme.[8]
Bahkan generalisasi yang distortif dan simplifikatif sering terjadi, baik oleh
ilmuan barat mupun umat Islam sendiri. Fundamentalisme sebagai bentuk ekstrim
dari gejala revivalisme, tidak hanya meningkat intensifikasi keislamannya yang
lebih berorientasi ke dalam sebagaima ditemukan dalam gejala revivalisme
yang lebih bersifat individual, tetapi juga berorientasi ke luar yang dengan demikian
diarahkan sebagai gerakan yang bersifat komunal dan massif. Oleh karena itu,
gejala revivalisme terindikasikan tidak hanya dalam peningkatan gejala
esoterisme Islam, namun lebih menunjukkan aspek eksoterisme yang dengan
demikian sangat menekankan pada aspek kebolehan dan ketidakbolehan
berdasarkan batas-batas fikih secara rigid.
Menurut Leonard Binder, sebagai aliran
keagamaan fundamentalisme adalah aliran yang bercorak romantis kepada Islam
periode awal. Mereka berkeyakinan bahwa doktrin Islam adalah lengkap, sempurna
dan mencakup segala persoalan. Hukum-hukum Tuhan diyakini telah mengatur
seluruh alam semesta tanpa ada masalah-masalah yang luput dari perhatiannya.
Bagi Allan Taylor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi dan Bruce
Lawrence, kaum fundamentalis adalah kelompok yang melakukan pendekatan rigid
dan literalis. Menurut Bannerman, kaum fundamentalis adalah kelompok
ortodoks yang bercorak rigid dan ta’ashub yang bercita-cita untuk
menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad ketujuh masehi, yaitu doktrin Islam
dari zaman klasik.[9]
Untuk
memudahkan memahami fundamentalisme, Martin E. Marty and R. Scott
Appelby, memberikan ciri-ciri kelompok fundamentalis sebagai berikut :
1.
Menentang modernisme termasuk di
dalamnya otonomi individual, hegemoni nalar dan ideologi kemajuan, termasuk di
dalamya paham empirisme, scientism dan meritokrasi. Kaum fundamentalis tak punya kepentingan dengan
demokrasi, pluralisme, toleransi agama, kebebasan berbicara dan lain-lain.
Namun mereka, sungguhpun anti sekulerisme, namun tetap menjadi pengguna
alat-alat hasil teknologi seperti komputer, internet, pesawat, alat-alat perang
modern dan lain-lain.
2.
Meyakini bahwa kitab suci itu tak bisa dan tak akan pernah salah termasuk
penafsiran mereka sendiri akan teks-teks suci itu. Hanya penafsiran kelompoknya
sajalah yang benar sementara yang lain salah.
3.
Hanya meyakini kelompoknya saja yang benar dan selamat. Dalam kacamata
penganut fundamentalisme, hanya ada dua pilihan, jadi pelayan Tuhan atau
pelayan setan. Dalam istilah Sayyid Qutb hanya ada dua nizham, nizham Islami
atau nizham jahiliy.
4.
Cenderung bersikap tertutup alias eksklusif terhadap kelompok lain, namun
sangat kuat ikatan persaudaraan sesama anggota.
5.
Kaum fundamentalis cenderung tertutup alias bersikap reaktif, defensif dan
selektif serta tak segan-segan menggunakan jalan kekerasan untuk merealisir
tujuannya.[10]
Walaupun pada awalnya fundamentalisme itu muncul dan berkembang dalam
tradisi Kristen, tapi belakangan sorotan
fundamentalisme selalu dialamatkan pada wlayah geografis yang penganut
muslimnya besar, yaitu Asia dan Afrika. Secara
historis dalam Islam, fundamentalisme dalam pengertian kembali kepada sumber
ajaran secara literalistik senyatanya sudah muncul sejak masa awal, pada masa
terjadinya perjanjian perdamaian antara pihak Ali (ra) dan kelompok Mu’awiyah.
Pada saat itu ada kelompok yang menganggap kafir baik Ali (ra) maupun
Mu‟awiyah, hingga kekejian Khawarij (golongan pembelot) yang menghalalkan darah
Khalifah Ali.
Jadi
bila melihat akar fundamentalisme Islam dengan kerangka teori bahwa semangat
kembali apada semangat awal ajaran agama, maka tampak fundamentalisme bukan hal
yang baru,walau sesungguhnya pemaknaan yang terjadi sekarang adalah menghidupkan
Islam sebagai way of life, civil society, dan culture. Untuk itu,
kembali pada semangat ajaran Islam asli adalah mutlak dilakukan. Dengan demikian, tidak mengherankan bila yang
berpegang pada semangat fundamentalisme Islam menolak hal yang berbau western
serta pengaruhnya yang mengglobal.
C.
Akar Permasalahan Fundamentalisme
Munculnya fundamentalisme
dalam Islam bukan secara tiba-tiba,
tanpa sekedar alasan menjaga kemurnian Islam dan kembali kepada ajaran Islam
awal. Bila dicermati, paling tidak ada beberapa sebab yang memunculkkan
fundamentalisme dalam Islam. Ini tergambar dalam pandangan seorang pemikir muslim kontemporer Abdullah Saeed,
menurutnya munculnya fundamentalisme paling kurang disebabkan oleh beberapa
faktor beikut:
a.
Kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam.
b.
Pembatasan dan pengawasan sumber-sumber ekonomi negara muslim, pembiaran
negara muslim agar tetap lemah, pencegahan kekuatan muslim untuk bangkit
melawan hegemoni Barat, serta pendudukan wilayah muslim oleh Barat.
c.
Politik double standar yang diterapkan oleh Barat, pembatasan dakwah
Islam sementara disisi lain mensupport missionaris.
d.
Perasaan ketidakberdayaan dalam menghadapi barat yang powerfull,
yang hampir putus asa buat dilawan dengan jalan biasa.[11]
Dalam pandangan Karen
Amstrong, fundamentalisme bisa muncul oleh dua kondisi penting, yaitu:
a.
Fundamentalisme merupakan reaksi terhadap kebudayaan ilmiah dan sekuler
yang muncul pertama kali di Barat dan kemudian merambah seluruh kawasan dunia.
Tradisi modernitas dianggap mengancam eksistensi agama bagi para pengikutnya
dan menjauhkan umat beragama dari kebenaran sejatinya,
b.
Rasionalisme dan intelektualisme yang menimbulkan revolusi sosial dan
politik telah menyebabkan perubahan tatanan ekonomi dunia yang luar biasa
akibat perubahan pola reproduksi sumberdaya yang terjadi dalam kurun 400-an
tahun telah berhasil mengguncang seluruh kawasan di dunia, termasuk
negara-negara muslim.[12]
Sedangkan sebagai bahan kajian perbandingan, fundamentalisme dalam Islam dan Kristen, menurut
James Barr, mengemukakan ciri-ciri
fundamentalisme (Kristen) sebagai berikut :
1.
Penekanan yang amat kuat pada ketiadasalahan (inerrancy) al-Kitab.
Bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan dalam bentuk apapun;
2.
Kebencian yang mendalam terhadap teologi modern serta terhadap metode,
hasil dan akibat-akibat studi kritik
modern terhadap Alkitab;
3.
Jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak ikut menganut pendangan keagamaan
mereka sama sekali bukanlah ”Kristen Sejati”.[13]
Menurut
penulis, fundamentalisme yang muncul dalam tradisi agama apapun, sesungguhnya
bukanlah fenomena tunggal, banyak hal yang terkait dengannya suka ataupun tidak
suka. Kemunculannya, bisa karena murni pemahaman agama yang diyakini oleh
sekelompok penganut agama terhadap doktrin teks-teks suci, namun juga bisa
muncul sebagai reaksi terhadap kondisi sosial, politik dan bahkan budaya,
yang mengalienasi nilai-nilai spiritualitas agama dan bahkan mencerabut
nilai-nilai agama dari kancah kehidupan modern dengan setumpuk isme yang occident
sentris. Pendekatan subjektivis dan objektivis untuk melihat konstruk yang
membentuk dan memahami realitas fundamentalisme keagamaan juga digunakan di
dalamnya.
D.
William Montgmery Watt tentang Fundamentalisme
Islam
William
Montgmery Watt[14]
adalah pemikir Barat yang mengkaji Islam.
Ia memandang pernyataan al-Qur’an sebagai kenyataan sejarah yang semestinya
dapat didekati dengan metode kritik sejarah. Tujuan dari kritik sejarah
tersebut untuk menemukan kenyataan objektif. Namun, suatu karya sejarah tidak
hanya berisi kumpulan kenyataan objektif, tetapi mengharuskan
kenyataaan-tertentu mesti dipilih dari sejumlah besar kenyataan dalam rangka
menghadirkan suatu gambaran yang menyoroti nilai-nilai tertentu. Oleh karena
itu, metode kritik sejarah diajukan oleh Watt dalam menganalisis kajian tentang
Islam. Namun demikian, metode ini pincang
terhadap fakta-fakta objektif karena data-datanya hanya bersifat ikonik.[15]
Apa yang dikemukakan Watt menemukan kebenarannya ketika Islam dalam lintasan
historis pernah mengalami abad keemasan (golden age). Tapi melalui
kritik sejarah, ia menilai bahwa
kejayaan Islam terjadi karena semangat keilmuan yang begitu tinggi dan Barat
yang saat itu berada dalam kegelapan.
Sehingga konteks kemajuan Islam saat itu tidak serta merta dengan mudah
disamakan dengan kondisi Islam saat ini ketika Barat sudah menjadi pusat
peradaban dunia pasca era industrial.
Watt
menjelaskan bahwa seharusnya umat Muslim dewasa ini dapat berhadapan dengan
kemordernan sejarah. Sehingga ia memotret semangat fundamentalisme Islam,
terutama di kalangan Sunni, sangat suram dan tidak membawa harapan, kecuali
gerakan ini harus menyeberang ke sisi lain, seperti Islam yang lebih moderat
seperti yang tercermin dalam gagasan Fazlur Rahman[16]
dan Mohamed Arkoun. Namun demikian, dengan pendekatan historical criticism,
Watt memberikan tawaran strategis pada Islam ketika harus bersentuhan dengan
modernitas. Ia menjelaskan bahwa Islam harus merespon dengan berbagai cara
pengaruh totalitas Barat atas peradaban Islam.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kritik sejarah yang diajukan Watt paling tidak menemukan
kesesuaian bahwa Muslim saat ini hidup di abad modern dan tidak hidup di zaman
lalu yang penuh dengan romantisme sejarah. Kalau Muslim masih terbuai dengan romantisme
masa lalu, maka potret diri Islam hanya akan menyulitkan muslim sendiri dalam beradaptasi
secara baik dengan kehidupan modern. Kesulitan
lain juga mengurangi umat Muslim untuk
memainkan peran strategisnya dalam urusan-urusan dunia global yang terjadi.
Watt
juga mengkritik anggapan sebagian Muslim tradisional yang beranggapan Islam bisa
mendapatkan kebangkitannnya dengan kembali pada semangat Islam awal. Menurutnya
di situlah kesalahan dalam memahami sejarah bahwa sejarah masa lalu bisa
terulang dengan konteks masa lalu. Lebih lanjut Watt mempertanyakan kemampuan Islam dalam mengatasi berbagai masalah yang
dihadapi dewasa ini. Menurutnya keyakinan
atas kemandirian adalah keliru, karena tidak ada satupun yang bisa
mandiri sepenuhnya, begitu pula dengan Islam. Ada beberpa pemikiran yang dilontarkan oleh
Watt terkait kondisi Muslim tersebut, yaitu kebutuhan membangun kembali pijakan
intelektual pandangan dunia Islam.
Kritik
sejarah yang dilontarkan banyak pemikir Barat semestinya tidak ditanggapi
miring oleh Islam. Karena faktanya setelah abad ke-13 Islam perlahan-lahan
redup dan mengalami kemunduran secara signifikan. Hal itu tidak dapat
dipungkiri karena alasan lemahnya pijakan inteletual pasca ditutupnya pintu
ijtihad. Sehingga pemikiran yang moderat dan liberal tertutup rapat. Memang
adalah sebuah kenyataan bahwa muslim tradisional mengkhawatirkan keadaan ini, yaitu
secara perlahan namun pasti bahwa dunia Islam secara bertahap mulai kehilangan
jati dirinya seiring memudarnya karakteristik
umat Islam, lalu akan berakhir dengan kehancuran moralitas seperti yang dialami
oleh Barat. Tingginya sebuah peradaban mestinya berbanding lurus dengan
tingginya apresiasi terhadap nilai-nilai etika. Agar hal itu bisa terwujud tidak ada pilihan lain adalah dengan
memajukan pendidikan Islam yang diharapakan dapat menjadi filter dari pengaruh negatif dari luar yang dapat
menghapus nilai religiusitas dan sistem Islam yang sudah berjalan.
Selain
itu kaum tradisional muslim memandang bahhwa Islam belum mempunyai jati dirinya
yang sesungguguhnya dalam sosial politik karena kurang memahami kosep Islam
sebagai kekuatan politik yang sesungguhnya sangat diperhitungkan di percaturan
global. Mereka juga meyakini bahwa negara yang dibentuk di zaman Nabi adalah
adalah sebuah model yang sudah final sebagai
civil society dan merupakan salah satu khas Islam yang tidak
dimiliki oleh agama manapun di dunia
ini. Sebab adalah sebuah keniscayaan akan adanya korelasi antara agama dan politik menjadi sesuatu yang tidak dapat
dipisahkan.
Selain
itu Watt juga mengkritisi posisi muslim dalam percaturan dunia politik
internasional yang menurutnya kaum tradisional muslim justru mempersulit
dirinya dalam memainkan peran strategisnya yang sebenarnya mempunyai kekuatan
dan harapan besar. Lebih lanjut Watt ingin meluruskan anggapan kaum tradisional
muslim yang mengatakan kolonialisme bukanlah perluasan Islam. Walaupun hal ini
sesungguhnya bisa terajadi terhadap bangsa manapun di dunia ini ketika
melakukan kolonialisasi berefek pada pada penyebaran kebudayaan dan keyakinan.[17] Penulis sendiri perlu menganalisa kritik Watt
ini, bahwasanya negara manapun yang melakukan penjajahan pasti secara serta
menempelkan budaya dan keyakinan yang dimilikinya, dan tentu saja tidak terkecuali
dengani Islam.
Namun
Watt memberikan pandangan yang cukup objektif bahwa keragaman adalah sebuah
keniscayaan, dan harus diakui oleh semua masyarakat dunia dimanapun berada. Islam
juga merupakan entitas penting di dunia ini, sehingga juga harus mengakui
adanya keragaman manusia.
Bila
diicermati pandangan Watt ini sebenarnya sejak awal ia merasa kurang tepat dengan
istilah fundamentalisme ini disematkan pada Islam yang berlabel tradisioanlis.
Karena menurutnya walaupun mereka memahami nash (teks) al-Quran dan Hadis
secara kontektual namun hanya dalam kasus-kasus teretntu dan tidak di semua
persolan yang ada. Argumen Watt adalah sesunguhnya kaum muslim itu berbeda
dengan kelompok yang benar-benar tradisionl yang benar-benar anti dengan
modernitas sebagaimana dikemukan oleh Charles Kurzman.[18]
Dalam
kontek ini William Montgomery Watt mengidentifikasi bahwa kelompok
fundamentalis adalah kelompok yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia
tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh. Misalnya, mereka
mengklaim mendapatkan tuntunan langsung dari Tuhan, cenderung untuk mengisolasi
diri dari kehidupan bermasyarakat, menolak untuk berinteraksi dengan realitas,
memusuhi akal dan pemikiran ilmiah serta hasil-hasil penemuan ilmiah mutakhir.
Itu semua adalah “fundamentalisme” dalam terminologi Barat dan dalam visi
Kristen.[19] Lebih lanjut, Watt menyatakan bahwa pada dasarnya fundamentalisme
merupakan suatu istilah Inggris kuno yang ditujukan kepada kalangan Protestan
yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara rigid
dan harfiah. Istilah sepadan yang paling dekat dalam bahasa Perancis adalah integrism,
yang merujuk kepada kecenderungan senada tetapi tidak dalam pengertian
kecenderungan yang sama di kalangan kaum Katolik Romawi.
Oleh karena itu, bagi Watt kelompok fundamentalis Islam adalah kelompok
muslimin yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta
berkehendak mempertahankannya secara utuh.[20]
Dalam pengertian positif, Hassan Hanafi
berpendapat bahwa term “fundamentalis”
adalah istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme
Islam, dan gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan peneliti
Barat lalu kemudian digunakan oleh banyak pemikir pada periode berikutnya.[21] Bagi Watt,
kemunculan fundamentalisme dalam Islam adalah bentuk perlawanan terhadap
apa yang disebut dengan “musuh Islam” yang dalam hal ini adalah Barat. Selain itu, Watt mengungkapkan bahwa Muslim tradisional juga
menafikan pluralisme sebagai sebuah
keniscayaan.