Sabtu, 12 April 2014

MENDEKATI AGAMA DENGAN FENOMENOLOGI EDMUND HUSSERL



Oleh: Muhammad Taufik
A. Pendahuluan
              Upaya manusia untuk mengetahui segala sesuatu dan menjelaskan pengetahuan mengalami tahap-tahap perkembangan (evolution) dan perubahan (changs), baik masalah konsep maupun metodologi. Probelamatika pengetahuan ini dibahas secara mendalam di dalam dunia filsafat. Fenomenologi merupakan salah satu contoh abstraksi dari problematika tersebut. Ia tampil dari pra-anggapan (pre judice) ketidaklayakan metode-metode pendekatan yang ada terhadap pengetahuan.
              Berangkat dari sikap skeptis-metodologik, fenomenologi mengklaim dirinya sebagai metode baru yang mampu menjembatani parsialitas metode-metode pendekatan yang telah ada. Dalam kaitan ini, ada arti yang sempit bagi fenomenologi, yaitu arti sebagai metode. Sebagai metode ia membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai kepada fenomena yang murni, kita harus mulai dari subyek (manusia) serta kesadarannya dan berusaha untuk kembali kepada “kesadaran yang murni”.[1]
              Dalam konteks ini problema yang menjadi pokok persoalan dalam fenomenologi adalah usaha untuk mengkompromikan realitas dengan pikiran tentang realitas. Problema ini sungguh akan menjadi sulit karena kita tidak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran kita, dan kita  juga tidak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas itu sendiri.

B. Biografi Edmund Husserl
              Edmund Husserl dilahirkan di  Prosswitz (Monravia) 1859[2], dari keluarga Yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat. Mula-mula ia di Leipzig, kemudian di Berlin dan Wina. Saat berada di Wina ia tertarik pada filsafat Franz Brentano. Husserl mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga mengajar sebagi dosen tamu di Berlin, Paris, London, Amsterdam, dan Praha. Husserl menjadi terkenal karena metode fenomenologi, yang oleh murid-muridnya dikembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg.[3]
              Husserl juga dikenal sebagai seorang rasionalis, ia memulai dari seorang matematikus, teori pertamanya merupakan pembelaan pendekataan empirisisme John Stuart Mill. Ia berpendapat bahwa kebenaran aritmatika dan geometri adalah generalisasi-simple yang tetap baik dan tegas. Kritik G. Fregee telah merubah pemikirannya dan ia kembali kepada posisi bahwa kebenaran-kebenaran tersebut harus ada sebagaimana ia tampak ada, yaitu suatu kemestian.[4]
              Menurut Kees Bartens, berbeda dengan pemikiran Descartes, filsafat Husserl mengalami perkembangan terus menerus sampai akhir hidupnya. Filsafat Descartes berjalan terus seperti gerak garis lurus. Husserl pernah mengatakan bahwa ia adalah ein ewige anfanger, seorang pemula abadi. Jika ia terbentur pada kesulitan baru, ia tidak membuang pemikiran sebelumnya, tetapi seluruh persoalannya diselidiki kembali pada taraf lebih mendalam. Itulah sebabnya antara lain mengapa filsafat Husserl sangat sulit untuk diuraikan.[5]
              Semasa hidupnya Husserl banyak menghasilkan karya-karya berupa tulisan-tulisan yang dapat ditampilkan di sini sebagai berikut:
1.      Beitra gezur Variationsrechnung (1883), yaitu disertasinya tentang filsafat matematika yang membawanya meraih gelar Doktor.
2.      Philosophie der Arithmetik, Psychologische und Logische un Tersuchungen (Filsafat ilmu berhitung, Penelitian-penelitian Psikologis dan Logis), (1891). Karya Husserl ini mendapat kritik dari G. Fregee, seorang matematikus dan filosof ternama. Berangkat dari kritik G. Fregee tersebut Husserl memperdalam dan merevisi pemikirannya tentang pokok yang yang sama. Kemudian setelah sepuluh tahun bekerja keras, ia dapat mempublikasikan bukunya Logische Untersuchungen sebanyak 2 jilid (1900-1901). Dalam buku tersebut Husserl menguraikan permulaan reduksi, epoche, yang merupakan karakteristik pertama metode fenomenologi, tujuannya adalah untuk mengalihkan pradugaan, pikiran dan untuk mengembalikan pengalaman ke dalaam feenomenologi murni, kita juga mendapatkan bahwa perasan baru telaah ke dalam kesengajaan.
3.  Philosiphie als Strenge Wissenchaft ( Filsafat Sebagai Ilmu Religious), (1911).
     Sebuah artikel panjang yang dapat dianggap sebagai program bagi  fenomenologinya.
4.   Formale und Transzendentale Logik (Logika Formal dan Transendental),
      (1929).
5.      Ideen Zu Einer Phenomenologie und Phenomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan suatu filsafat fenomenologis), (1931). Dalam karyanya ini Husserl menjadikan intensionalitas sebagai pusat telaah tentang kesadaran manusia.[6]
6.      Meditetions Cartesiennes (Renungan gaya Descartes), (1931).[7] Dalam karyanya ini Husserl mengatakan bahwa hal mengada dari benda yang diketahui dikonstitusikan. Hal mengada ialah hal mengada dalam kesadaran. Sedangkan mengada Absolut ialah “menyadari” dan hal yang bersangkutan dengan kesadaran.[8]

C. Fenomenologi Husserl
              Secara harfiah fenomenologi[9] bermakna pelajaran mengenai gejala-gejala. Istilah ini dirintis dalam dunia filsafat oleh Immanuel Kant, yang merupakan pusat perhatian dalam peninjauan gejala. Terhadaap popularitas pengertian ini, fenomenologi berhutang budi pada salah satu mazhab filsafat yang telah dikembangkan oleh tokoh sentralnya Edmudn Husserl. Bagi Husserl fenomenologi adalah suatu filsafat dari satu keseluruhan tipe, yaitu suatu pengetahuan tentang kesadaran murni. 
              Jadi, fenomenologi merupakan aliran filsafat yang membicarakan fenomen, atau segala sesuatu yang menampakkan diri. Fenomen ini dapat dipandang dari dua sudut, yaitu fenomen yang selalu menujuk keluar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran dan fenomen yang berhubungan dengan kesadaran (fenomen selalu melekat pada kesadaran kita).
              Sebagai sebuah metode, aliran ini memulai upayanya dengan terpadu untuk melukiskan isi kesadaran. Artinya suatu pandangan hati-hati obyek terhadap stuktur yang pokok dari benda kongkrit. Dalam hal ini adalah upaya untuk memahami esensi dari obyek tertentu dengan realitas.
            Fenomen yang dimaksud oleh Husserl berbeda dengan Kant, bagi Kant, manusia hanya mengenal fenomen dan bukan noumen, manusia hanya mengenal fenomen-fenomen (Erschenungen) dan bukan realitas itu sendiri (Das Ding an Sich). Bagi Kant, yang tampak bagi manusia ialah semacam tirai yang menyelubungi realitas di belakangnya. Kita hanya mengenal pengalaman batin kita sendiri . Sedangkan bagi Huseerl, fenomen ialah realitas sendiri yang tampak. Baginya tidak ada selubung atau tirai yang memisahkan manusia dengan realitas, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Ia mengatakan: Zuruck zu den Sachen Selbts, kembalilah kepada benda-benda itu sendiri.[10]
              Bagi Husserl, pengamatan sebagai media kita dalam mencapai realitas adalah hal yang saangat kompleks. Kita mengamati sesuatu. Gambaran sesuatu yang oleh pengamatan dihubungkan dengan kesadaran kita ada bermacam-macam dan berganti. Sekalipun demikian, kita sering menganggap telah menangkap sesuatu secara benar. Setiap gejala penampakan selalu kita terima sebagai realitas yang berdiri sendiri, padahal itu tidak murni.
              Usaha untuk mencapai hakekat segala sesuatu adalah reduksi (penyaringan). Husserl menngemukakan tiga macam reduksi, yaitu: reduksi Fenomenologis, reduksi transendental, dan reduksi eidetis.
1.      Reduksi fenomenologis, kita     harus    menyaring   pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapatkan fenomena murni. Arti   negatif   dalam reduksi    pertama semakin berkurang sampai kita mendapatkan arti yang   lebih positif,juga smua menunjuk ke arah transenden sebagai  korelasi  intensional dalam aktivitas manusia dihentikan untuk dapat mengarahkan perhatian ke subyektifitas transendent.
2.      Reduksi transendental, penempatan di antara  tanda kurung  dahulu ialah eksistensi     
     dan segala sesustu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni,   
     agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek itu   
     sendiri, dengan kata lain, fenomenologi itui diterapkan pada subyeknya sendiri dan   
      perbuatannya kepada kesadaran yang murni.[11]
3.      Reduksi eidetis, penyaringan atau penempatan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidos atau inti sari atau gejala atau fenomena. Hasil reduksi kedua ini adalah penilikan hakekat. Artinya mengesampingkan semua segi kegiatan aspek dalam fenomen yang hanya kebetulan atau berhubungan dengan obyek individu tertentu. Hakekat dalam pengertian ini adalah struktur dasariah . Dan ini meliputi isi fundamental, ditambah semua sifat-sifat hakiki dengan kesadaran dan obyek-obyek lain yang didasarinya. Analisa harus melihat segala sesuatu yang ada dalam data, secara eksplisit dan sadar. Ia harus ada kesesuaian antara subyek, perbuatan, obyek intensional, dan sifat-sifat. Kemudian harus ada koherensi dalam deret kegiatan, yaitu setiap observasi memberi harapan akan tindakan yang sesuai dengan yang melansungkannya.[12]
              Dalam mengkaji Husserl, tidak bisa tidak kita harus menguraikan tentang reduksi fenomenologis dan reduksi transendentalnya. Prinsip dari reduksi ini adalah epoche, yaitu menunda pendapat atau pertimbangan, sedangkan reduksi eidetis, yaitu merupakan babak penunjukan hakekat (wezen). Kepercayaan kepada dunia realitas harus ditangguhkan untuk mendapatkan wezen. Dengan melihat prinsip reduksi Husserl ini, kentaralah jalan pikirannya mirip dengan metode Descartes. Namun reduksi Husserl tidak dapat disamakan dengan kesangsian metodis Descartes. Reduksi tidak merupakan kesangsian terhadap dunia, melainkan suatu netralisasi: ada tidaknya dunia realitas tidak mempunyai peranan lagi. Bagi Descartes, kesangsian berarti: ada tidaknya dunia realitas tidak relevan, persoaalan in dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan mempraktekkan reduksi seperti ini kita sudah masuk ke dalam “sikap fenomenologis”.[13]

D.    Kajian Pokok Fenomenologi Husserl
              Inti pokok dari fenomenologi Husserl adalah bahwa terdapat dua jenis “pengalaman” yang berbeda: pertama, pengalaman biasa (ordinary experience) yang ia sebut sebagai intuisi-individual (individual intuition), seperti: kesadaaran kita sekarang akan adanya tiga buah pisang dan dua ekor ayam di atas meja. Kedua, Intuisi khusus, yang di sebut oleh Husserl dengan intuisi esensial atau esensi eidetik. Dalam jenis esensi yang kedua ini, kita tidak dapat melihat benda-benda khusus, tetapi melihat kebenaran-kebenaran universal, atau esensi.
              Husserl merevisi pandangan Plato, yang juga menggunakan istilah eidos, menurutnya sesuatu seperti angka-angka dan segitiga serta kebenaran aritmatik dan geeometri itu merupakan objek-objek dan hukum-hukum ideal. Namun Husserl tidak seperti Plato, ia tidak meyakini bahwa kesatuan-kesatuan  yang hadir khusus ini mempunyai eksistensi yang independen dari kesadaran manusia. Dalam hal ini Husserl menerima kritik Aristoteles terhadap Plato, esensi-esensi seperti angka, segi tiga dan hukum-hukum aritmatik dan geometri adalah ada dalam “kesadaran”, dan fenomenologi adalah upaya mengkaji kesadaran agar dapat menentukan bagaimana esensi-esensi tersebut ada.[14]
              Dalam studi atas kesadaran ini, pemikiran Husserl nampak berkembang, dari (seperti gurunya Brentano) fenomenologi psikologis, yaitu psikologi deskriptif, yaitu psikologi yang hanya mencatat apa yang dilihat, tanpa mencari keterangan-keterangan mengenai sebab gejala-gejala (sebelum tahun 1908), ke-(setelah 1908) fenomenologi transendental. Husserl berpendapat pada priode ini bahwa kesadaran bukan “bagian” dari kenyataan tetapi merupakan  “asal” kenyataan. Atas dasar inilah tokoh besar fenomenologi ini menolak bipolaritas “kesadaran alam”, subjek dan objek.
              Dalam filsafat barat sejak Descartes, kesadaran selalu dimengerti sebagai kesadaran tertutup, artinya, kesadaran mengambil diri sendiri dan hanya melalui jalan itu mengenai relitas. Misalnya, kita mengenal pencerapan-pencerapan (sensation) kita, dan melalui jalan itu kita mengenal realitas. Menurut Husserl bahwa kesadaran menurut kodratnya terarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan….sesuatu. Atau menurut istilah yang dipakai Husserl, kesadaran menurut kodratnya bersifat intensional. Intensionalitas adalah struktur hakiki kesadaran.[15]
              Maksud intensional adalah bahwa kesadaran kita tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya ada kesadaran, memang diandaikan tiga hal, yaitu bahwa ada suatu subyek, bahwa subyek terbuka untuk obyek-obyek, dan bahwa ada obyek-obyek. Fakta bahwa kesadaran selalu terarah kepada obyek-obyek  disebut “Intensionalitas”. Kesadaran tidak pernah pasif melulu, karena “menyadari” sesuatu berarti “mengubah” sesuatu. Hal yang disadari dijadikan seuatu yang ada bagi kita. Kesadaran itu tidak seperti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu “tindakan”. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dan objek kesadaran (noema). Namun interaksi tidak dapat dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang penting. Karena akhirnya hanya ada kesadaran, objek yang disadari (noema) itu hanyalah suatu ciptaan kesadaran.[16]

E.     Mendekati Agama dengan metode Fenomenologi
              Secara transfaran Hesserl memang tidak banyak memberikan uraian fenomenologinya dalam kaitannya dengan agama. Tetapi dua konsep yang mendasari karyanya menjadi titik tolak metodologis yang bernilai bagi studi fenomenologis terhadap agama. Sumbangan teorinya Epoche dan Eidetis, dua istilah yang merupakan sumbangan terbesarnya dalam fenomenologi. Epoche yang secara tidak lansung menunjukkan tidak adanya prasangka yang akan mempengaruhi pemahaman terhadap agama. Sedangkan pandangan Eidetis terkait dengan kemampuan melihat apa yang ada sesungguhnya, artinya esensi suatu agama. Eidetik mengandaikan Epoche, ia memberikan kemampuan melihat esensi fenomeena secara obyektif, bahkan juga memebahas persoalan subjektifitas dan refleksi.[17]
              Penerapan term fenomenologi dalam fenomenologi agama merupkan suatu yang menjanjikan, karena fenomenologi dianggap memberikan pandangan yang sesungguhnya tentang kepercayaan. Di samping itu metode ini dapat membuka wazen dan struktur dalam agama. Fenomenologi agama sendiri merupakan salah satu dari sekian metode untuk mendekati rahasia dari agama, agar inti agama dengan bentuk-bentuk gejala, lambat laun mulai menjadi terang.[18]
              Mendekati agama secara fenomenologis berarti, di satu pihak unsur mencari dan dan mendapatkan suatu unsur di dalam kesadaran manusia dimana agama bisa dijelaskan letaknya secara berimbang. Membina hubungan-hubungan antar agama, manusia dan kebudayaan dalam arti kata letak dan munculnya di dalam kebudayaan sebagai suatu fenomena.[19] Di samping itu fenomenologi berperan untuk mendapatkan pandangan yang sesungguhnya tentang kepercayaan, orang akan memberi jawaban melalui fenomenologi agama. Karena ia dianggap dapat membuka hakekat dan struktur agama.[20]
              Agama bergerak dari individu menuju masyarakat. Dalam sikapnya menuju kebenaran terakhir ia menantang kekurangan-kekurangan manusia; ia memperluas tuntutan-tuntutan manusia dan mempertahankan pandangan tentang penglihatan lansung dari kebenaran itu, sedikitpun tidak boleh berkurang. Maka kalau begitu mungkinkah kiranya untuk menggunakan cara rasional murni (pure-rationality)  dari filsafat terhadap agama?[21] Ini merupakan pertanyaan skeptis Iqbal mengenai dapatnya misteri agama disingkapkan dengan kekuatan akal murni manusia.
              Ali Shari’ati mengenai Islam, mengatakan jika kita melihat Islam hanya dari satu sudut pandang saja, maka kita sebaiknya hanya melihat satu dimensi saja dari sekian banyak jumlah sisi sebuah kristal.[22] Shari’ati memandang agama seperti diri-Individu.[23] Selanjutnya, berkaitan dengan hal ini ia mengajukan metode pendekatan baru terhadap agama, yaitu dengan cara mengkaji individu-interpreter. Menurutnya ada dua cara yang dapat dilakukan, pertama, mempelajari dan mengkaji pemikiran dan ide-ide interpreter, dan yang kedua, mengkaji latar belakang keberadaan agama.[24]
              Dari permasalahan yang diajukan oleh Iqbal dan Shari’ati tersebut menunjukkan, pertama, ketidakrelaan keduanya atas dipandangnya agama tidak secara untuh dan komprehensif. Kedua, keduanya meneguhkan bahwa pendekatan terhadap agama bercabang banyak, dan fenomenologi tidak tertutup kemungkinan untuk dijadikan sebagai salah satu pendekatan.
              Richard C. Martin mengatakan bahwa dalam studi agama dikenal dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan believer dan pendekatan historian.[25] Keduanya mencakup semua cabang pendekatan agama. Believer meliputi pendekatan teologis dan fiqhiyah yang bercorak normatif. Sedangkan dalam historian, agama didekati dalam alur sejarah yang kemudian ke arahnya agama di dekati secara antropologis, sosiologis, dan psikologis. Kedua pendekatan tersebut kelihatan “berlawanan”, namun keduanya bisa dianggap sebagai pendekatan yang cukup berguna.
              Dalam tataran inilah fenomenologi tampil mendekati agama sebagaimana esensi agama tersebut tampak. Karena dalam studi agama, fenomenologi tidak boleh membuat kontradiksi di antara agama yang benar dan yang tidak benar. Fenomenologi diharapkan dapat memberikan tawaraan yang memberi makna, mana yang murni dan yang tidak murni untuk mencapai wezen. 
              Persoalan apakah dengan demikian pendekatan fenomenologi dalam mendekati agama memadai dan paripurna (dengan kata lain, mencukupkan diri denganya)? Ataukah ia hanya merupakan sebuah konsep yang tidak  memberi perhatian pada makna?[26], tergantung kepada kita bagaimana dalam meresponnya.

F.     Kesimpulan
              Demikianlah pembahasan terhadap fenomenologi Edmund Husserl, baik sebagai metode maupun sumbangan pemikirannya terhadap dunia filsafat, karena fenomenologi telah berperan besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan  dan filsafat di abad modern ini. Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut ini:
1.      Kesadaran merupakan titik tolak bagi seluruh usaha dan sumber segala makna bagi fenomenologi.
2.      Fenomenologi berupaya mengarahkan pengertian kepaada isi obyektif. Obyek pertamanya bukan pengertian tentang kenyataan, tetapi kenyataan itu  sendiri.







DAFTAR PUSTAKA

              Ali Shari’ati, “An New Aproach to Understanding of Islam”, dalam HS. Bhatia (Ed), Studies in Islamic Low, Religion, and Society, (New Delhi: Deep&Deep, 1989)


              Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2002)

  
               Harith Abdussalam, dkk.,  Fenomenologi Agama,  (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1983)

               -------------------------, Fenomenologi Agama, dalam jurnal al-Jami’ah, No.23, 1980
             
              Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, alihbahasa, H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)

                Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)

              Harry Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983)

              Kees Bartens, Filsafat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983)
           
               ----------------,Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1987)

              Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, alihbahasa Osman Ralibi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)

              M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung: Alumni, 1980)

              Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 200)


               Richard C. Martin, “Islam and Religious Studies” dalam Aproaches to Islam in Religious Studies, Richard C. Martin (Ed), (Tuscon: University of Arizona, 1985)

            Robert C. Solomon, Introducting Philosophy a Text With Readings, (Florida: Harcourt Brace Jovanovich, edisi III, 1985)



              [1] Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat, alihbahasa, H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 399
              [2] Lihat Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hal. 140
              [3] Harry Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 114
              [4] Robert C. Solomon, Introducting Philosophy a Text With Readings, (Florida: Harcourt Brace Jovanovich, edisi III, 1985), hal. 225
              [5] Kees Bartens, Filsafat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983), hal. 100
              [6] Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme, dan Post Modernisme, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 200), hal. 93
              [7] Lihat Kees Bartens, Filsafat Abad XX…..hal. 95-97 dan Harry Hammersma, Tokoh-tokoh Filsafat…..hal. 116
              [8] M.A.W. Brouwer, Sejarah Filsafat Barat Modern dan Sejaman, (Bandung: Alumni, 1980), hal. 56
              [9] Kata fenomenologi berasal dari kata Yunani “Phenomenon”, yaitu suatu yang tampak, yang terlihat karena bercahaya, atau disebut juga dengan “gejala”. Jadi Fenomenologi adalah suatu aliran filsafat yang membicarakan tentang fenomena, atau segala sesuatu yang menampakkan diri.
              [10] Kees Bartens, Filsafat Abad XX……….hal. 100-101
              [11] Harun Hadiwijono,  Sari Sejarah Filsafat……..hal. 143-144
              [12] Ibid.
              [13] Kees Bartens,  Filsafat abad XX………,hal. 103
              [14] Robert Solomon, Introducing Philosophy………,hal. 225-226
              [15] Kees Bartens, FiLsafat Abad XX……………., hal. 101
              [16] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Fisafat…………,hal. 117
              [17] Clive Erricker, “Pendekatan Fenomenologis” dalam Peter Connolly (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 111
              [18] Untuk lebih jelasnya lihat, Harith Abdussalam, dkk.,  Fenomenologi Agama,  (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Depag Pusat, 1983)
              [19] Harith Abdussalam, Fenomenologi Agama, dalam jurnal al-Jami’ah, No.23, 1980, hal. 63
              [20] Ibid.
              [21] Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, alihbahasa Osman Ralibi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal. 31
              [22] Ali Shari’ati, “An New Aproach to Understanding of Islam”, dalam HS. Bhatia (Ed), Studies in Islamic Low, Religion, and Society, (New Delhi: Deep&Deep, 1989), hal. 197
              [23] Ibid., hal. 199
              [24] Ibid., hal. 198
              [25] Richard C. Martin, “Islam and Religious Studies” dalam Aproaches to Islam in Religious Studies, Richard C. Martin (Ed), (Tuscon: University of Arizona, 1985), hal. 15
              [26] Walau sebenarnnya banyak filosof beranggapan, seperti Bartens misalnya yang menegaskan bahwasanya fenemenologi justru menaruh perhatian pada makna. Suatu tesis umum dalam fenomenologi adalah bahwa manusia harus dipandang sebagi makhluk yang memberi makna, lihat, Kees Bartens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar