Jumat, 18 April 2014


PERAN HERMENEUTIKA DALAM WILAYAH AGAMA

A.    Pendahuluan
              Masalah metode penelitian filsafat seperti apa yang sebaiknya digunakan, sampi saat ini  tetap menjadi perdebatan. Sejarah ilmu-ilmu alam yang menunjukkan keberhasilannya suaatu sisi, justru menyisakan banyak kegagalan di sisi lain. Sifat sain modern yang netral dan objektif justru gagal dalam menerjemahkan asas-asas ilmiah, sehingga rasionalisasi kehidupan melalui sain bukannya mentransformasikan seluruh dunia kehidupan sosial, melainkan meretakkannya ke dalam dua hal yang saling bertentangan.
              Sepanjang sejarah filsafat, belum ada satupun metode yang memenuhi standar yang universal dan objektif, namun tidak kaku sehingga tidak mengekang bagi perkembangan dan penemuan-penemuan baru. Hermeneutika yang merupakan sebuah metode filsafat yang aktual sampai saat sekarang ini. Ini disebabkan hermeneutika dalam perkembangannya  sangat berpengaruh dalam berbagai bidang pengetahuan manusia. Hingga dewasa ini orang tidak bisa mengabaikan hermeneutika sebagia sebuah metode, dalam interpretasi teks khususnya.
              Hermeneutika merupakan keniscayaan pada setiap model dan bentuk pemikiran. Terlebih dalam pemikiran keagamaan, yang hasil pemikirannya berdampak eskatologis, terutama yang menyangkut dunia dan akherat, urgensi interpretasi dan pemahaman tidak dapt ditawar lagi. Persoalannya, sejauhmana hermeneutika sebagai sebuah metode berperan dalam mewarnai pemahaman kita terhadap Islam?

B.     Pengertian Hermeneutika
                Secara etimologis kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuen yang dalam bahasa Inggris menjadi hermeneutics (to interpret) yang berarti menjelaskan, menafsirkan atau menterjemahkan. Maka, kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagi penafsiran atau interpretasi. Menurut mitologi Yunani, hal ini ada hubungannya dengan tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada manusia. Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, ia juga dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes itu sendiri adalah menterjemahkan pesan-pesan dari Dewa Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu fungsi Hermes adalah penting sebab bila terjadi kesalahan tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan fatal bagi seluruh umat manusia.[1]
              Menurut Sayyed Hossein Nasr, Hermes itu adalah Nabi Idris a.s. yang dalam fisalasat Yunani, di kenal sebagai father of philospher (abul hukama).[2] Bagi Nabi Idris atau Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar dapat dipahami oleh manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”.
              Secara lebih umum, Zygmunt Bauman menegemukakan, bahwa hermeneutika merupakan upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau lukisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiksi, sehingga  menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar dan pembaca.[3]
              Richard Palmer menegaskan bahwa hermeneutika adalah proses menelaah isi dan maksud yang menjelma dari sebuah teks sampai pada maknanya yang terdalam dan laten.[4] Hal senada yang juga dikatakan oleh Paul Ricouer, bahwa filsafat adalah sebuah hermeneutika yang membaca yang tersembunyi dalam sebuah teks yang mengandung arti yang kelihatannya sudah jelas dan mengandung makna.[5] Dengan demikian hermeneutika dapat diartikan sebagi proses mengubah suatu kondisi ketidaktahuan menjadi mengerti yang banyak digunakan sebagai sebuah metode dalam berbagai disiplin ilmu.
              Dapat dipahami bahwa sebagai sebuah metode hermeneutika mempunyai tujuan yang sangat mulia , yaitu dalam rangka memberikan penjelasan yang sangat jelas kepada manusia dengan bahasa yang mudah pula untuk dimengerti. Namun yang lebih perlu dipahami adalah bahwa ada tiga prinsip pokok, yang dalam teori hermeneutika disebut triadic structure, yaitu satu struktur yang terdiri dari tiga unsur yang berkaitan dalm proses penafsiran. Ketiga hal yang dimaksud adalah teks, penafsir, dan audien. Ketiga aspek itu secara implisit berisi tiga konsep pokok yakni 1) membicarakan hakikat sebuah teks; 2)apakah penafsirnya memahami teks dengan baik; dan 3) supaya suatu penafsiran dapat dibatasi oleh asumsi-asumsi dasar serta kepercayaan atau wawasan para audien.
C.    Hermeneutika dalam Wilayah  Keagamaan
              Kehadiran teks dalam tradisi keagamaan telah membawa implikasi cukup besar bagi perkembangan intelektual, kebudayaan dan perdaban. Tradisi Arab Islam cenderung memiliki “tradisi teks” yang cukup kuat bila dibandingkan dengan perdaban bangsa lain. Apresiasi yang diberikan oleh pengkaji Islam dalam menelaah tradisi Arab-Islam  dari dulu hingga kini banyak difokuskan pada pembacaan teks keagamaan.
              Kajian interpretasi teks dalam wilayah keagamaan kontemporerpun tidak terbatas pada pencarian makna dari segi narasi belaka. Akan tetapi, sudah menempatkan teks ke dalam wilayah historis, wilayah yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah masuk ke dalam wilayah “ontologi teks”.[6] Hermeneutika merupakan sesuatu yang terbuka untuk memungkinkan beberapa interpretasi. Gadamer mengisyaratkan bahwa tujuan hermeneutika bukan untuk mengembangkan aturan-aturan atau prosedur sebuah teks. Obyek filsafatnya adalah untuk mengidentifikasi, bukan pada apa yang kita perbuat atau apa yang harus kita lakukan dalam interpretasi, tetapi apa yang terjadi pada kita dan tentang apa yang kita inginkan dan kita kerjakan.[7]
              Diskursus pemahaman seperti tersebut di atas bisa dimasuki melalui sudut bidik hermeneutika yang berperan bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik (termasuk al-Quran dan Hadist) atau teks keagamaan lainnya.[8] Dalam tradisi keilmuan Islam, sesungguhnya telah dikenal ilmu yang berusaha mengungkap makna yang disebut ilmu tafsir yang secara khusus diperuntukkan bagi penafsiran al-Quran. Penafsiran, sesungguhnya bukanlah monopoli al-Quran saja, karena pada dataran praksis, ajaran Islam juga berkembang dengan penjelasan, baik dengan perkataan atau perilaku Nabi sendiri, yang kemudian dikenal dengan Sunnah, dan dikodifikasikan dalam bentuk Hadist.[9]
              Peran hermeneutika yang secara sederhana merupakan sebuah upaya untuk memahami teks akan selalu terkait secara fundamental dengan struktur kebahasaan, pemikiran dan sejarah teks itu sendiri. Melalui bahasa manusia berkomunikasi dan melalui bahasa pula bisa salah arti, salah paham, dan salah interpretasi. Bahasa sebagai alat penyampai pesan dari teks-teks keagamaan merupakan jawaban terhadap pertanyaan tentang kemampuan maasa kini untuk memahami logika masa silam. Teks-teks keagamaan dapat melahirkan keyakinan (idiologi baru). Yaitu keyakinan yang berusaha merekonstruksi kesadaran sang penerima pesan (manusia). Tetapi keyakinan yang baru ini tidak menjadi keyakinan yang betul-betul baru secara sempurna, kecuali pesan dari teks-teks tersebut telah berdamai dalam kebudayaan tertentu. Hal itu tergantung kepda bagaimana memaknai sebuah peristiwa bahasa, sebagaimana dikatakan Michel Foucoult, bahwa tugas memberi makna, ditilik dari definisinya, tak pernah bisa terselesaikan.[10] Hal ini bisa dilihat dari perkembangan penafsiran dalam historisitas teks-teks keagamaan selalu berkembang seakan tiada henti. Perkembangan ini menyangkut banyak variabel yang tidak begitu saja dianggap sederhana, karena setiap masa menghasilkan historisitas, penemuan, wacana, dan teori penafsiran yang berbeda dengan zaman lainnya.
              Dalam studi naskah, termasuk di dalamnya teks-teks keagaman, tidak muncul begitu saja dari langit. Teks tidak muncul dari  ruang “hampa” kebudayaan. Teks-teks dan naskah-naskah keagamaan, apapun bentuknya adalah dikarang, disusun, ditiru, diubah, diciptakan oleh pengarangnya sesuai dengan tingkat pemikiran manusia saat teks-teks tersebut disusun, dan tidak terlepas  sama sekali dari pergolakan sosial-politik dan sosial budaya yang mengitarinya. Bahkan tidak jarang dipengaruhi oleh angan-angan sosial dari penyusun atau pengarang itu sendiri dalam merespon tantangan zamannya. Sering juga terjadi , suatu naskah keagamaan dikarang dan disusun oleh pengarangnya atas campur taangan  dan pesan “sponsor” penguasa dan kekuatan politik yang dominan saat itu.[11]
              Dalam catatan sejarah peradaban Islam, tercatat konfrontasi pemahaman terhadap teks al-Quran, terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat yang megandung ambiguitas (mutasyabihat). Timbul banyak persoalan sekitar ayat-yat yang mengandung ambiguitas ini. Bersamaan dengan ini atau implikasi dari fenomena ini, aliran-aliran dalam Islam, terutama aliran teologis, mempunyai kepentingan politis untuk memaknai dan memberi pengertian terhadap ayat-ayat tersebut sesuai dengan pendapat mereka.[12]
              Dalam tataran Ibnu Rusyd, filosof muslim ternama, berpendapat bahwa semua kontroversi yang melibatkan para teolog dan filosof pada hakekatnya bermula dari ayat-ayat mutasyabihat.[13]. Lebih lanjut Ibnu Rusyd mengatakan, sesungguhnya manusia telah sangat kacau dalam memahami makna syari’at, sehingga timbul sekte-sekte  tersesat dan golongan-golongan yang berseberangan. Masing-masing mereka melihat bahwa dirinyalah yang berpegang teguh pada syari’at. Dan yang menentangnya boleh dikatakan pelaku bid’ah ataupun kafir  yang halal darah dan hartanya. Hal ini semua jauh dari tujuan pembuat syari’at yang disebabkan oleh kesalahan mereka dalam memahami strukturnya.[14]
             Terlepas dari apa yang di katakan oleh Ibnu Rusyd di atas, sebenarnya ada dua hal yang membuat posisinya secara filosofis sangat penting dan secara historis sangat signifikan kontribusisny bagipersoalan hermeneutika: Peertaama, sensitivitasnya untuk membedakan tipe-tipe teks dalam menginterpretasi teks. Kedua, sensitivitasnya untuk membedakan tipe orang dalam interpretasi teks. Perbedaan tipe teks dan perbedaan tipe orang akan melahirkan perbedaan interpretasi.





DAFTAR PUSTAKA

              Gregory Leyh, Legal Hermeneutics: History, Theory and Practice, (Berkeley: University of California, 1992)
            
              Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996)
             
              Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000)             

              Ibnu Rusyd,  Kasyfan Manhaj al-‘Adillah dalam Falsafatu Ibnu Rusyd, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1978)

              Madjid Fachry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul ‘Am, (Bandung: Mizan, 2001)
            
              Machasin, Al-Qadhi  Abdul Jabbar, Mutasyabihat al-Quran, Dalih Rasionalitas al-Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
           
              M. Amin Abdullah, Arkoun dan Kritik Nalar Islam, dalam Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme; Memeperbincangkan Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
             
              Muhammmad Zubayr Shiddiqi, “Hadis A Subject of Keen Interest” dalam P.K.Kroya (ed), Hadis and Sunnah Ideals and Realities, (Malaysia: Islamic Book Trust, 1996)
             
              Michel Foucoult, The Orther of Things on Archeology of the Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994)

              Paul Ricouer, The Conflict of Interpretations, (Evanson: Northwestern University Press, 1974)

              Richard E.Palmer, Hermneutics, (Evanson: Northwestern University Press, 1969)

              Tashihiko Izutsu, God and Man in the Koran: A Semantical Analysis of the Koranic Weltanschaung, (Tokyo: Keio University Press, 1964)
             

              Sayyed Hessein Nasr, Knowledge and The Secred, (New York: State University Press, 1989)
              Zygmunt Bauman, Hermneutics and Social Science, (New York: Columbia University Press, 1978


              [1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2000), hal. 23-24
              [2] Sayyed Hessein Nasr, Knowledge and The Secred, (New York: State University Press, 1989), hal. 71


              [3] Zygmunt Bauman, Hermneutics and Social Science, (New York: Columbia University Press, 1978), hal. 7
              [4] Richard E.Palmer, Hermneutics, (Evanson: Northwestern University Press, 1969), hal. 43
              [5] Paul Ricouer, The Conflict of Interpretations, (Evanson: Northwestern University Press, 1974), hal. 22
              [6] Kjian terhadap status ontologis memberikan manfaat untuk menjelaskan sifat-sifat historis dari teks, telaah ontologis ini pernah dilakukan oleh Tashihiko Izutsu terhadap al-Quran dalam bukunya God and Man in the Koran: A Semantical Analysis of the Koranic Weltanschaung, (Tokyo: Keio University Press, 1964)
            [7] Gregory Leyh, Legal Hermeneutics: History, Theory and Practice, (Berkeley: University of California, 1992), hal.xii
              [8] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 17
              [9]Muhammmad Zubayr Shiddiqi, “Hadis A Subject of Keen Interest” dalam P.K.Kroya (ed), Hadis and Sunnah Ideals and Realities, (Malaysia: Islamic Book Trust, 1996), hal. 7-19
              [10] Michel Foucoult, The Orther of Things on Archeology of the Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994), hal. 41
              [11] M. Amin Abdullah, Arkoun dan Kritik Nalar Islam, dalam Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme; Memeperbincangkan Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LKiS, 1996), hal. 13-14
              [12] Machasin, Al-Qadhi  Abdul Jabbar, Mutasyabihat al-Quran, Dalih Rasionalitas al-Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
              [13] Madjid Fachry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul ‘Am, (Bandung: Mizan, 2001)
              [14] Lihat Ibnu Rusyd pada Kasyfan Manhaj al-‘Adillah dalam Falsafatu Ibnu Rusyd, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1978), hal. 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar