Sabtu, 12 April 2014

MENYIBAK HUBUNGAN ISLAM DAN HEGEMONI BARAT


MENYIBAK HUBUNGAN ISLAM DAN HEGEMONI BARAT
Oleh: Dr. M. Taufik Mandailing

Pendahuluan

              Bila diamati dengan seksama banyak  peristiwa yang terjadi di dunia global belakangan ini, misalnya aksi pengeboman gedung World Trade Center (WTC) di jantung Amerika (11 September 2001), New York, invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Afghanistan dan Irak (yang bisa saja ditafsirkan dalam bentuk neo-kolonialisme) yang hingga kini justru menimbulkan konflik internal di kedua negara yang hingga kini tidak pernah berakhir, kisruh kepemimpinan kawasan Timur Tengah seperti di Tunisia, Mesir, Yaman, Suria, Libya, serta eskalasi konflik abadi antara Israel-Palestina yang tak pernah berakhir. Peristiwa-peristiwa itu merupakan isu-isu dan dinamika global yang menjadi konsumen berbagai media massa di penjuru dunia dan ditanggapi secara beragam sesuai dengan kepentingan masing-masin bangsa.
              Beragamnya peristiwa yang terjadi seakan menguatkan tesis Samuel Huntington dalam bukunya Clash of Civilization[2] yang berargumen bahwa akhir dari perang dingin, yaitu dengan runtuhnya negara super power Blok Timur Uni Soviet (Soviet Union) akan terjadi era baru yaitu terjadinya benturan antar peradaban yang akan mendominasi panggung politik dunia. Dalam hal ini Huntington mensinyalir akan ada perang peradaban antara Islam di satu sisi dan Barat di sisi lain. Walaupun bila kita kritisi sesungguhnya tesis Huntington itu mempunyai banyak kelemahan karena sudut pandangnya yang subjektif  dan realitanya tidak mesti sama dengan kesimpulan yang disampaikannya.
Namun belakangan ini dalam realitanya dalam posisi yang sering dihadapkan secara berlawanan tersebut Islam selalu identik berada dalam pihak yang lemah, terbelakang, miskin, sehingga praktis secara mudah dapat dihegemoni Barat, baik dalam soal ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan (IPTEK), dan kebudayaan. Pertanyaannya adalah mengapa dengan mudah Islam dapat dihegemoni oleh Barat? Melalui tulisan ini penulis akan berupaya mencoba mengurainya dengan pendekatan studi analisis dan historis, dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang komprehenship atas persoalan yang terjadi.

Islam-Barat dalam Lintasan Sejarah

              Bicara tentang Islam sangat luas cakupannya, namun Islam yang penulis maksud di sini tentu bukan Islam dalam pengertian ajaran atau seperangkat sistem nilai, tetapi adalah Islam dalam pengertian negara-negara kawasan Islam dan negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim dan dalam konteks ini termasuk juga Indonesia. Sedangkan Barat yang dimaksud adalah Barat dalam pengertian negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa.[3] Dalam pengertian lain Islam adalah agama, sedangkan Barat adalah bangsa (setidaknya, dipersepsikan sebagai bangsa).Istilah pertama, muncul karena faktor '' idealita '', yang membentuk realita, sebagai peradaban kemanusiaan, yakni agama.Islam sebagai agama dan peradaban, sebagaimana agama-agama yang lain, terbentuk karena tuntutan dasar manusia yang tidak dapat dilepaskan dengan kebutuhan rohani.Kebutuhan ini berasal dari kesadaran manusia akan kondisi keterbatasannya.Maka, menurut Komarodin Hidayat, muncul dalam ide atau pikiran manusia akan adanya kekuatan yang maha hadir (Omni Present) dan tak terbatas, yaitu Tuhan.Agama, sebagai jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Islam dan Barat memang selalu dihadapkan pada sisi yang berlawanan (paradox). Posisi ini merupakan kontinyuitas sejarah hubungan Islam (Timur) dan Kristen (Barat) di masa lalu yang memang penuh dengan akar-akar konflik. Paling tidak ini sudah ditegaskan oleh John L. Esposito, bahwa sejarah konfrontasi ini telah melibatkan berbagai peristiwa. Penaklukan Imperium Byzantium (Romawi Timur) oleh Islam pada abad ketujuh, rangkaian Perang Salib abad kesebelas dan keduabelas, ekspansi dan dominasi kolonial Eropa abad kelimabelas dan keenambelas, serta penegasan kembali identitas Islam dan dunia politik[4] seakan semakin mengukuhkan adanya pertentangan sepanjang masa tersebut antara Islam di satu sisi dan Barat di sisi yang lain.         
              Umat Islam adalah umat yang terbesar kedua setelah Kristen di dunia saat ini, sebagai umat yang terbesar kedua umat Islam tersebar diberbagai penjuru dunia mulai dari Maroko  (maghrib) sampai kawasan Indonesia. Islam banyak terdapat di kawasan Timur Tengah, sebagian Afrika Barat dan Afrika Utara, Asia Selatan, Asia Barat, dan Asia Tenggara, serta sebagian Eropa Timur (semenanjung Balkan). Islam yang berserakan diberbagai kawasan dunia itu selalu berada dalam suasana konflik dan bergesekan dengan dunia Barat.
            Kawasan Timur Tengah merupakan kawasan yang paling sering terjadi gesekan tersebut. Kawasan ini menjadi strategis karena merupakan kawasan yang banyak penduduk muslimnya dan kaya akan sumber alam seperti minyak bumi. Untuk mengamankan posisinya di kawasan ini, Barat memerlukan sekutu yang kuat untuk mendukung ekspansi ekonomi dan kapitalismenya. Israel merupakan sekutu kuat Barat yang ada di kawasan ini. Sementara Iran dalam hal ini selalu menjadi penentang Barat yang berani melakukan perlawanan.
              Secara historis memang ada hal yang mengindikasikan terjadinya konflik tersebut. Sejarah membuktikan setelah satu abad Nabi Muhammad wafat, Islam menjadi sebuah kekuatan besar dengan bersatunya suku-suku bangsa Arab sehingga mampu bediri dalam Daulah Islamiyah yang sanggup meruntuhkan dua imperium besar yang mengapitnya saat itu, Byzantium (Romawi Timur) di bagian barat dan Persia di bagian timur. Pada abad berikutnya Islam menyebar ke banyak bagian dunia yang membentang dari Afrika sampai Asia Tenggara.  Selain itu muncul kota-kita besar Islam yang kini merupakan negara-negara di Asia Tengah (bekas Uni Soviet), Cina, Eropa Timur, Spanyol, Italia Selatan dan Sicilia.[5] Pengaruh dan perluasan kekuasaan Islam yang tersebar di beberapa benua tersebut diakui sebagai sebuah prestasi fantastik dari Islam yang tidak terbantahkan.
              Penyebaran Islam yang sangat cepat dan dinamis itu merupakan ancaman serius bagi Kristen (Barat), baik secara politik dan keagamaan. Tentara dan pedagang Islam sekaligus membawa misi Islam.  Islam dipergunakan sebagai alat pemersatu, pemberi inspirasi, serta memberikan alasan bagi perlunya ekspansi tersebut. Gagasan tentang perlunya jihad (berjuang di jalan Allah) menjadi faktor penting bagi mobilisasi umat Islam.[6] Islam yang disebarkan dengan semangat persamaan dan menentang perbedaan kelas,suku, bahasa, budaya memang menjadi magnet tersendiri di tempat islam berkembang dan menancapkan kekuasaannya. Perkembangan islam yang dinilai spektakuler itu menurut sejarawan tidak bisa diabaikan dari peran dari para mujahid dan pendakwah muslim yang berjuang dengan penuh keikhlasan demi kejayaan Islam.
              Kesuksesan para mujahid dan tentara muslim tersebut dianggap sebagai suatu kekuatan untuk menentang keberadaan dan dasar-dasar agama Kristen. Wilyah-wilayah taklukan yang tadinya mayoritas Kristen lalu menjadi minoritas, dan Islam menjadi kekuatan mayoritas. Sehingga dengan sendirinya budaya Arab sangat mempengaruhi wilayah taklukan[7]. Hal ini jelas sangat menimbulkan rasa kebencian yang sangat dalam bagi umat Kristen saat itu. Islam yang bertumbuh kembang dari Sahara yang tandus dan gersang mampu menjadi sebuah kekuatan yang sangat besar dan disegani saat itu, sehingga mampu menguasai sebagian besar wilayah yang berpenduduk Kristen.
            Selalu saja ada hambatan psikologis di kalangan Kristen untuk menerima umat Islam menjadi bagian integral dari masyarakat dan budaya Barat. Hambatan psikologis ini belakangan kerap muncul dalam bentuk sikap Islamofobia di kalangan masyarakat Barat terhadap Islam. Secara akademis, Islamofobia bermakna kebencian dan ketakutan yang tidak masuk akal terhadap Islam. 
Tidak jarang istilah ini merujuk pada sikap tidak toleran (prejudice) dan stereotype yang berlebihan terhadap Islam dan muslim. Istilah Islamofobia ini sering disandingkan dengan istilah lain yang bermakna kebencian terhadap kelompok lain seperti anti-Semitism ( terhadap Yahudi) dan xenophobia ( terhadap sesuatu yang asing). Kata Islamofobia kerap menghiasi berita-berita di sejumlah media dalam satu dasawarsa terakhir. Tidak jelas kapan dan siapa yang pertama kali memperkenalkan istilah ini terutama dalam wacana hubungan Islam dan Barat. Yang jelas, sikap  dan ketakutan terhadap Islam khususnya di beberapa negara Eropa dan Amerika semakin meningkatnya serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Islam garis keras serta tindakan teroris yang diklaim barat dilakukan sebagaian muslim yang anti barat.  Secara historis, ketegangan hubungan Islam dan Barat terjadi akibat proses globalisasi dan migrasi internasional. Dua proses ini mengakibatkan banyak umat Islam melakukan migrasi dan menetap di beberapa negara Barat. Suksesnya diaspora muslim di beberapa negara Barat mengharuskan masyarakat Barat berhadapan dengan identitas dan budaya Islam yang berbeda.
Barat merasa ada kebutuhan yang mendesak untuk melindungi identitas, pandangan hidup, dan budaya mereka dari serangan budaya Islam ini. Sayangnya, proteksi terhadap budaya mereka yang berlebihan tidak jarang berujung pada sikap  dan ketakutan yang tidak masuk akal terhadap Islam. Kedatangan umat Islam di negara-negara Barat lalu dianggap sebagai ancaman tersendiri bagi eksistensi nilai dan budaya Barat. Sayangnya, sikap  dan ketakutan terhadap Islam ini seakan memperoleh pembenaran secara akademik ketika Samuel Huntington menulis artikel yang berjudul Clash of Civilization (Benturan antar Peradaban). 
              Kebencian dan dendam kesumat inilah merupakan salah satu faktor yang pada akhirnya menentukan hubungan Barat dengan Islam yang semakin genting, dan pada awalnya bermula dengan  melahirkan perang Salib. Perang ini ini terdiri dari delapan ekspansi militer yang terjadi sejak abad kesebelas dan ketigabelas yang membuat orang Kristen (Barat) melawan Islam. Dengan alasan agama pada tanggal 27 Nopember 1095  Paus Urban II memproklamirkan perang Salib dalam sebuah pidato yang berapi-api dengan atas nama Kristus  untuk membasmi umat Islam  dan membantu umat Kristen.[8] Perang yang dianggap suci oleh umat Kristen tersebut ternyata telah mampu membakar semangat Barat untuk merebut wilayah yang pernah dikuasai Islam, khususnya Yerussalem di Palestina yang menjadi simbol kelahiran dan kebesaran Kristen.
              Bagi Islam, memori mengenai perang Salib tetap hidup dan menjadi “memori kolektif” yang merupakan contoh Kristen militan paling jelas, pertanda awal agresi dan imperialisme  Barat-Kristen, sebuah kenangan yang hidup menyangkut konfrontasi awal Kristen-Islam. Jika banyak orang menganggap Islam sebagai agama pedang, maka kaum muslim selama berabad-abad membicarakan tentang ambisi serta mentalitas Barat. Karena itu dalam konteks hubungan Islam dan Barat, bukan masalah tentang apa yang sebenarnya terajadi pada perang Salib, melainkan bagaimana peristiwa itu diingat.[9] Perang salib dalam memori kedua belah pihak antara Islam dan Barat adalah sejarah yang sulit dilupakan karena meninggalkan luka yang sangat dalam dan membekas. Haru biru dan dendam kesumat saling tumpang tindih menjadi satu dalam sanubari kedua belah pihak.
              Setelah berakahirnya perang Salib, Barat sekali lagi harus berhadapan dengan kekuataan baru Islam yaitu Turki Usmani, hal ini bermula ketika Konstantinopel pusat kekuasaan Romawi di Timur berhasil di kuasai Islam pada tahun 1453 di bawah Turki Utsmaniyah Islam kembali bangkit menjadi daulah yang besar yang mampu menaklukkan wilayah besar Arab dan Eropa. Namun kekalahan Angkatan Laut Utsmani di Lepanto pada tahun 1571 merupakan titik balik yang dianggap sebagai kemenangan Kristen Eropa melawan Turki yang muslim, dengan demikian terjadi pergeseran kekuasaan ketangan Eropa (Barat) yang mulai percaya diri dan memperoleh kekuatannya kembali.[10]
              Dari bukti sejarah tersebut nampak bahwa antara Islam dan Barat memang sudah ada akar konflik yang terjadi disebabkan oleh rasa kebencian yang mendalam dan akibat perang salib yang berkepanjangan sangat sulit untuk dilupakan dalam ingatan masing-masing bangsa. Ingatan kolektif tentang kebencian masing-masing kekuatan masa lalu akan selalu terngiang dan menjadi demdam sejarah yang tidak pernah dilupakan.

Hegemoni Barat atas Dunia Islam

              Setelah kekalahan Turki Usmani dan terusirnya Islam dari Spanyol tahun 1492[11], Islam lalu mengalami kemunduran, maka mulailah era baru Barat untuk menguasai dunia Islam melalui kolonialisme. Hampir sebagian besar negara yang berpenduduk Islam dikuasai oleh kolonialisme Barat, misalnya Perancis menguasai Afrika Barat, Utara dan Tengah, Inggris di Palestina, Irak dan teluk Arab dan anak benua India, Belanda dan Potugis di Asia Tenggra.[12] Sedangkan Rusia menguasai negara-negara Islam di Asia Tengah. Kemunduran Islam yang dimanfaatkan Barat dengan kolonialismenya telah mampu memecah belah umat Islam dan merampok wilayah-wilayah Islam dalam penjajahan yang sangat lama dan menindas. Kekayaan alam Islam dikuras, pemimpin-pemimpin Islam yang anti Barat dengan peran medianya dihembuskan sebagai anti demokrasi dan pelanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Karena Barat menguasai Media, lewat propaganda-propaganda sesatnya dikatakan bahwa Islam adalah agama pedang, agama teroris, menyukai kekerasan dan anti kemapanan. Lalu, satu persatu wilayah Islam dikuasai, dengan berbagai dalih Barat berusaha menancapkan kukunya untuk menguasai kawasan Islam yang strategis secara ekonomi dan politik serta kaya sumber alam.
              Islam yang berada dalam kekuasaan Barat saat itu seakan tidak berdaya melepaskan diri dari cengkraman belenggu penjajahan. Sebagai penjajah, Barat bukan hanya merampas hak-hak umat Islam tetapi mengkondisikan Islam dalam kebodohan, ketertindasan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Dalam lapangan pendidikan Islam jauh tertinggal, karena tidak mendapat kesempatan untuk maju dan berkreasi, kalaupun ada hanya sedikit kesempatan yang bisa dilakukan, karena kuatnya kolonialisme menguasai dan mencengkram. Dalam masalah HAM, umat Islam benar-benar dirampas hak-haknya untuk hidup, berkarya dan bersuara, karena penjajah takut akan terjadinya perlawanan, seperti yang dilakukan oleh Jamalauddin al-Afghani melalui gerakan Pan-Islamisme-nya dan Muhammad Abduh di Mesir. Perjuangan keduanya untuk membela kaum muslim justru berakibat pada pengusiran mereka dari negerinya.
              Kolonialisme Barat dampaknya di masa lalu dan warisannya, tetap hidup dalam wacana politik Timur Tengah dan di seluruh dunia Islam. Kolonialisme secara litreral telah mengubah peta geografis dan institusi Timur Tengah, atau mungkin lebih tepatnya seringkali menciptakan batas geografis dan intervensi di banyak negara muslim.[13] Dengan beradanya Islam dalam cengkaraman kolonialisme ini mau tak mau Islam berada dalam hegemoni Barat yang melakukan apa saja terhadap Islam. Sehingga secara praktis Islam dikuasai dalam politik, sosial, budaya, dan ekonomi.
              Hegemoni kolonial tidak hanya mengakibatkan terjadinya eksploitasi dan diadopsinya teknologi ke dunia Islam, tetapi juga mendorong upaya negara muslim untuk membuang hukum syariah yang diganti dengan hukum sekuler ala Barat.[14] Kekuasan kolonial telah melumpuhkan masyarakat muslim, membekukan pemikiran dan mengaburkan sejarah muslim. Lebih buruk lagi, periode kolonial ini telah meruntuhkan kepercayaan diri dengan menciptakan image akan ketidakberdayaan masyarakat muslim di hadapan Barat.[15]
              Dalam koteks ini menurut analisa penulis paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan Islam dengan mudah berada dalam hegemoni Barat:
1.        Kejatuhan kekuasaan Turki Utsmani yang diakibatkan kelelahan dalam memepertahankan wilayah kekuasaannya yang sangat luas senantiasa mendapat rongrongan dari Barat yang berambisi menguasai kembali wilayah mereka yang pernah diraih Islam, mulai dari Asia tengah sampai Eropa Timur (Balkan). Sementara itu dalam kekuasaan Turki Utsmani terjadi perpecahan yang berakibat makin melemahnya kekuasaannnya di dunia Islam, bahkan sama sekali hilang dengan berdirinya Turki baru yang berbentuk republik sekuler di bawah kepemimpinan Mustafa Kamal Attaturk.
2.        Pemimpin-pemimpin yang berkuasa kemudian tidak mewarisi kecakapan yang dimiliki oleh pendahulunya seperti Muhammad al-Fatih sang penakluk Konstantinopel dan Salahuddin al-Ayyubi yang dikenal gagah berani melawan tentara Salib. Tidak dapat disangkal bahwa kuatnya kekuasaan Turki Utsmani di wilayah Islam pada masa lalu karena sosok pemimpinnya yang hebat, kesatria dan berpengaruh. Sementara pemimpin yang belakangan tidak lagi bisa mewarisi pendahulunya tersebut.
3.        Tidak adanya idiologi etnik pemersatu antar muslim yang barasal dari Turki dengan Arab dan bangsa muslim lainnya yang tersebar di berbagai belahan dunia, yang muncul saat itu adalah sentimen antar etnik. Masing-masing etnik saat itu saling membanggakan kelebihan masing-masing, tidak lagi bisa disatukan di bawah idiologi Islam atau bendera ukhuwwah Islamiyyah yang tanpa melihat golongan, kelompok, atau etnis tertentu.
4.        Tidak adanya jalinan komuniksi intensif antara muslim di Asia misalnya dengan muslim di Afrika, karena islam memang terpencar-pencar melintasi batas benua dan kultur yang sangat berbeda satu sama lain.
5.        Tidak adanya persatuan yang kuat yang mampu menjadi pengikat untuk semua umat Islam yang terdiri dari berbagai kultur dan tradisi yang tersebar di berbagai kawasan.
6.        Hampir sebagian besar masyarakat Islam berada dalam kemiskinan dan tergantung pada Barat. Karena kemiskinannnya sangat mudah dipengaruhi dan di adu domba. Hanya sebagian kawasan Timur Tengah yang secara ekonomi maju, tapi secara politis tetap saja banyak bergantung pada Barat dalam rangka mengamankan aset mereka dari lawan-lawan politik regional.
7.        Dewasa ini umat islam sudah terbiasa dengan gaya hidup konsumtif, sehingga kurang inisiatif untuk tidak tergantung pada bangsa lain. Berbeda bila di bandingkan pada abad pertengahan, islam mampu melahirkan ilmuan berkaliber Internasional seperti ahli kesehatan Ibn Sina, sosiolog Ibn Khaldun, Filosof Ibn Rusyd, dan banyak lainnya.

Upaya untuk Eksis

              Kalau dipetakan paling tidak ada dua sikap yang perlu dilakukan umat Islam dalam merespon hegemoni Barat saat ini.
1.             Melakukan pembaruan disegala aspek dengan meniru Barat, seperti sekularisme yang dilakukan oleh Mustafa Kamal Ataturk (1881-1938) di Turki. Cara yang ditempuhnya adalah dengan meniru Barat dalam segala bidang, dengan memodernisasi  diri yang cenderung memisahkan antara bidang garap agama dan politik. Di samping itu Ataturk berupaya mengikis habis ajaran Islam yang dianggap sebagai belenggu Turki selama ini menuju kemodernan.[16] Tidak jauh berbeda dengan Turki, sebagian negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, dan Bahrain [17] juga menerima Barat dengan hegemoninya, negara-negara terseebut merasa nyaman hidup di “ketiak” negara Super Power Amerika. Negara-negara kaya minyak tersebut seakan menjadi sekutu kental Amerika di Timur Tengah dengan bersedia menjadikan negaranya sebagai pangkalan armada tentara (mesin perang) Amerika yang justru untuk menghancurkan saudara Arabnya yang muslim, seperti serangan ke Irak yang belum lama ini misalnya.
              Amerika yang sangat bergantung pada minyak dalam memenuhi kebutuhan negerinya yang besar mencari patner seperti negara-negara di atas dengan memberikan imbalan berupa jaminan keamanan regional di kawasan Timur Tengah  dari negara Paman Sam tersebut. Menurut hemat penulis barangkali dengan alasan inilah kenapa Amerika dengan sekutunya begitu ambisius menginvasi Irak yang dinilainya “ngeyel” karena tidak mau bekerja sama dengannya, padahal siapapun tahu bahwa Irak mempunyai cadangan minyak yang banyak. Sehingga dengan segala cara Amerika menyerbu Irak dengan berbagai alasan, mulai pemimpinnya yang otoriter, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), mengembangkan senjata pemusnah massal (yang hingga saat ini tidak pernah ada buktinya).
2.        Mengadakan penolakan terhadap hegemoni Barat, tidak banyak negara-negara muslim yang berani menentang dominasi Barat tersebut, barangkali bisa disebut di sini hanya Libya dan Iran (yang disebut Amerika akhir-akhir ini dengan sebutan negara poros jahat). Libya yang sering disebut sebagai sarangnya penghasil teroris, sebutlah misalnya pembajakan pesawat Pan Am milik maskapai penerbangan Amerika Serikat di tahun delapanpuluhan. Namun sekarang Moammar Khadafi presiden Libya sudah tumbang. Dan ke depan Barat menganngga bahwa Libya tidak lagi menjadi ancaman, karena sudah tidak lagi di bawak kekuasaaan Khadafi. Sedangkan Iran dalam hal ini mungkin dianggap oleh Amerika tidak akan mengancam hegemoninya di Timur Tengah karena Iran sendiri tidak kelihatan “melawan dengan keras” seperti halnya Irak di masa Saddam Hussein. Barat beranggapan Ahamadinejad bukanlah lawan tangguh, karena ia tidak mendapat dukungan dari kawasan Timur Tengah. Sungguhpun demikian Amerika sebenarnya tetap waspada dengan militansi Syi’ah yang sewaktu-waktu menyerang kepentingan Amerika Serikat. Adapun Palestina[18](negara muslim yang diabaikan saudaranya sesama muslim), tidak akan jauh berbeda nasibnya hari ini dan esok, karena Israel yang disebut “golden boy”nya Amerika di Timur Tengah akan selalu menghabisi rakyat Palestina sehingga benar-benar terusir dari tanah tumpah darahnya. Walaupun demikian, sampai hari ini rakyat Palestina  tetap melakukan perlawanan (intifada) untuk melepaskan diri dan merdeka dari agresi dan hegemoni zionisme Israel yang didukung penuh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya tersebut.
              Dalam hal inilah apa yang dilakukan oleh sebagian pejuang Palestina dengan aksi bom bunuh diri di kota Tel Aviv, West Bank (tepi barat), dan Gaza (yang disebut media Barat sebagai tindakan teroris)  merupakan salah satu bentuk atau cara untuk melepaskan diri dari hegemoni tersebut. Dan ingin menunjukkan pada dunai bahwa mereka masih eksis dan tetap melakukan perlawanan terhadap neo-kolonialisme Israel dan Barat. Terlepas dari dianggap teroris atau tidak, tindakan tersebut menurut hemat penulis itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan rakyat Palestina untuk melawan kebiadaban Israel selama ini merampas hak-hak, tanah, politik mereka.
Aksi bom bunuh diri dan teror di atas jelas menimbulkan efek persepsi yang besar, berupa terciptanya persepsi global dalam waktu singkat tentang peristiwa tersebut yang menarik perhatian, keingintahuan dan kesadaran masyarakat yang besar. Diperkirakan sekitar satu milyar manusia di seluruh dunia dalam kurun waktu yang bersamaan menyaksikan image serangan teroris tersebut. Dengan segala efek kerusakan, kepanikan dan ketegangan yang ditimbulkan lewat berbagai media surat kabar, radio, televisi dan internet. Berbagai media itu telah menjadikan aksi terorisme tersebut sebagai sebuah tatanan global.
Di samping itu, aksi teror juga menimbulkan efek psikologi yang mendalam, berupa ketakutan, panik dan trauma yang sangat mendalam, tidak saja skala lokal tetapi juga global. Selain itu juga aksi teror telah memperlihatkan kepada dunia bahwa terorisme kini telah berkembang dalam paradigma strategi dan taktiknya ke arah apa yang disebut sebagai hiperterorisme, yaitu terorisme yang menguasai dan memanfaatkan berbagai bentuk teknologi mutakhir terutama kelemahannya: teknologi pengamatan seperti kamera dan televisi, teknologi pengawasan seperti radar, teknologi interaktif seperti internet dan teknologi komunikasi seperti telepon seluler. Sementara itu, hal-hal yang melatarbelakangi munculnya terorisme sangat beragam, seperti penentuan sendiri, aksi bertahan terhadap rezim otaliter, keputusasan akibat tekanan sosial, ekonomi, maupun politik. Sementara itu, motifnya juga bisa beragam, bisa masalah politis, cinta segi tiga, persaingan bisnis, kriminal murni, dendam pribadi, atau motif yang lainnya, seperti ingin mengembalikan hak kemerdekaan, dan hak azazi manusia kepada bangsa yang terjajah, atau orang yang terusir dan terasing dari tanah airnya sendiri.  Kesenjangan ekonomi dan ketidakdilanlah yang menumbuhkan serta menyebarkan benih-benih kehadiran aksi terorisme internasional itu.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa gerakan Islam yang galak (ekstrim) menjadikan Islam dan Barat saling curiga. Islam menilai Barat sebagai lawan, begitu juga sebaliknya Barat memandang Islam sebagai ancaman. Salah satu solusi yang dapat ditawarkan dalam konteks ini adalah mewujudkan kesadaran dari kedua belah pihak (Islam dan Barat) akan pentingnya dialog peradaban. Sebab, selain mampu menekan seminimal mungkin benturan primordial baik primordial kebangsaan maupun keagamaan, dialog peradaban berarti juga masing-masing pihak dengan secara keterbukaan melakkukan sharing peradaban untuk menciptakan masa depan tatanann dunia yang lebih damai. Dalam dialog peradaban ini, perbedaan SARA tidak diposisikan sebagai faktor penyebab konflik, melainkan dikembangkan menjadi mozaik yang dapat memperkokoh bangunan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, persamaan derajat, dan kemanusiaan. Pertama, tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada Islam sesunguhnya muncul sebagai akibat dari perilaku sebagian umat Islam sendiri yang cenderung ekslusif dan pemahamannya yang literalistik terhadap teks al-Qur'an dan hadis. Kedua, keberadaan kaum fundamentalisme baik Islam dan Kristen merupakan kendala bagi terciptanya hubungan baik antara Islam dan Barat, dialog antar peradaban adalah salah satu solusi yang dapat ditawarkan demi terwujudnya hubungan yang haronis di antara kedua belah pihak.

Penutup

              Dari uraian di atas dapat kita analisa sendiri begitu mudahnya Islam berada di pihak yang dukuasai oleh Barat, baik dari segi politik, ekonomi, sosial-budaya, bahkan sains dan teknologi. Ada baiknya kita belajar dari pengalaman Barat bagaimana mereka bangkit dari kekalahannnya dengan tanpa harus mengilangkan citra kita sebagai muslim, agar kembali mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi ke dunia Islam untuk menghantarkan  kembali kepuncak kejayaan, sehingga Islam tidak mudah dikuasai dan politisir oleh bangsa manapun, termasuk Barat sekalipun. Memang sangat ironis, di saat bangsa Eropa bersatu dalam  Uni Eropa (Eropean Union) dan MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa) dan disatukan lewat mata uang bersama, Euro. Sangat di sayangkan Islam justru terpecah-pecah dalam untuk kepentingan sesaat dan berbeda tanpa adanya persatuan dan kesatuan. Apapun bentuknya, Islam memang perlu bersatu dalam melawan anarkhisme dan tirani agar terbebas dari hegemoni dan dominasi Barat.


Daftar Pustaka


              Albert Hourani, A History of The Arab Peoples, (New York: Cambidge, 1991) Akbar S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society, (London and New York: Rouledge, 1988)
             
              Bertold Spuler, The Muslim World: A Historical Survey, (Leiden: E.J. Brill, 1960)

              Fucher de Chartres, A History of The Expedition to Jerussalem, Ed. Harold S. Fink (Knoxi-Ville, The Univ. Tenesse Press, 1969)

              John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Terj. Alwiyah Abdurrahman dan Missi, (Bandung: Mizan, 1996)

              ---------------------,Islam dan Politik, terj. H.M. Yosoef Soeyb, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990)
 
              Maryam Jameelah (Margaret Marcus), Islam dan Modernisme, terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982)
                         
                 Patrick J. Bannerman, Islam in Perspective, (London: Rouledge, 1988)
             
              Ruswan Thayib, “ Development of Muslim Educational System in The Classical Periode (600-1000 AD): an Overview”, dalam Dinamics of Civilization, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1988)

              Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization”, dalam Foreign Affairs, Edisi Summer, 1993
               Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Yogyakarta: al-Qalam, 2001)

              Sayyed Hassein Nasr, “Islam and The Environmental Crisis” dalam The Islamic Quarterly, Vol. xxxiv, 1940


[1] Penulis dosen tetap Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, juga dosen luar biasa di STAIYO.
              [2] Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization”, dalam Foreign Affairs, Edisi Summer, 1993, hal. 22, dan lihat juga Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Yogyakarta: al-Qalam, 2001), hal. 37-45
              [3] Barat secara universal kini digunakan untuk menunjuk  pada yang disebut dunia Kristen Barat, Barat dengan demikian, adalah sebuah peradaban yang dipandang sebagai penunjuk arah dan tidak identik dengan nama orang tertntu, agama, atau wilayah geografis. Dalam hal ini bisa disebut USA, Amerika Utara dan Selatan, Eropa dan negara-yang dihuni oleh orang Eropa seperti Australia dan New Zaeland. Lihat Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik ……hal. 51
              [4] Lihat John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas? Terj. Alwiyah Abdurrahman dan Missi, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 13
              [5] Ibid., hal. 41-2
              [6] Patrick J. Bannerman, Islam in Perspective, (London: Rouledge, 1988), hal. 86
              [7] Lihat Ruswan Thayib, “ Development of Muslim Educational System in The Classical Periode (600-1000 AD): an Overview”, dalam Dinamics of Civilization, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1988)
              [8] Lihat, Fucher de Chartres, A History of The Expedition to Jerussalem, Ed. Harold S. Fink (Knoxi-Ville, The Univ. Tenesse Press, 1969)
              [9] John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas………hal. 50
              [10] Ibid.,hal. 55
              [11] Lihat Bertold Spuler, The Muslim World: A Historical Survey, (Leiden: E.J. Brill, 1960), hal. 100
              [12] Lihat John L. Esposito, Islam dan Politik, terj. H.M. Yosoef Soeyb, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 56-57
              [13] John L. Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas………hal. 59
              [14] Sayyed Hassein Nasr, “Islam and The Environmental Crisis” dalam The Islamic Quarterly, Vol. XXXIV, 1940, hal. 226
              [15] Lihat Akbar S. Ahmed, Discovering Islam: Making Sense of Muslim History and Society, (London and New York: Rouledge, 1988), hal. 7
              [16] Maryam Jameelah (Margaret Marcus), Islam dan Modernisme, terj. A. Jainuri dan Syafiq A. Mughni, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hal. 165
              [17] Mengenai hegemoni dan dominasi Amerika terhadap Islam dapat dilihat, Albert Hourani, A History of The Arab Peoples, (New York: Cambidge, 1991)
              [18] Mengenai problem yang muncul antara Israel dan Palestina merupakan suatu kasus keterlibatan persekongkolan antara AS dan negara Zionis tersebut dalam menanamkan pengaruhnya, menjaga kepentingan dan menancapkan kukunya di Timur Tengah khususnya dalam ekonomi dan politik. Albert Hourani, A History of The Arab Peoples………., hal. 426

Tidak ada komentar:

Posting Komentar