PERAN HERMENEUTIKA DALAM WILAYAH AGAMA
A.
Pendahuluan
Masalah metode penelitian
filsafat seperti apa yang sebaiknya digunakan, sampi saat ini tetap menjadi perdebatan. Sejarah ilmu-ilmu
alam yang menunjukkan keberhasilannya suaatu sisi, justru menyisakan banyak
kegagalan di sisi lain. Sifat sain modern yang netral dan objektif justru gagal
dalam menerjemahkan asas-asas ilmiah, sehingga rasionalisasi kehidupan melalui
sain bukannya mentransformasikan seluruh dunia kehidupan sosial, melainkan
meretakkannya ke dalam dua hal yang saling bertentangan.
Sepanjang sejarah filsafat, belum
ada satupun metode yang memenuhi standar yang universal dan objektif, namun
tidak kaku sehingga tidak mengekang bagi perkembangan dan penemuan-penemuan
baru. Hermeneutika yang merupakan sebuah metode filsafat yang aktual sampai
saat sekarang ini. Ini disebabkan hermeneutika dalam perkembangannya sangat berpengaruh dalam berbagai bidang
pengetahuan manusia. Hingga dewasa ini orang tidak bisa mengabaikan
hermeneutika sebagia sebuah metode, dalam interpretasi teks khususnya.
Hermeneutika merupakan
keniscayaan pada setiap model dan bentuk pemikiran. Terlebih dalam pemikiran
keagamaan, yang hasil pemikirannya berdampak eskatologis, terutama yang
menyangkut dunia dan akherat, urgensi interpretasi dan pemahaman tidak dapt
ditawar lagi. Persoalannya, sejauhmana hermeneutika sebagai sebuah metode
berperan dalam mewarnai pemahaman kita terhadap Islam?
B.
Pengertian Hermeneutika
Secara etimologis kata
hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuen yang dalam bahasa
Inggris menjadi hermeneutics (to interpret) yang berarti menjelaskan,
menafsirkan atau menterjemahkan. Maka, kata benda hermeneia secara
harfiah dapat diartikan sebagi penafsiran atau interpretasi. Menurut mitologi
Yunani, hal ini ada hubungannya dengan tokoh yang bernama Hermes, yaitu seorang
utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Dewa Jupiter kepada manusia.
Hermes digambarkan sebagai seorang yang mempunyai kaki bersayap, ia juga
dikenal dengan sebutan Mercurius dalam bahasa Latin. Tugas Hermes itu sendiri
adalah menterjemahkan pesan-pesan dari Dewa Gunung Olympus ke dalam bahasa yang
dapat dimengerti oleh umat manusia. Oleh karena itu fungsi Hermes adalah
penting sebab bila terjadi kesalahan tentang pesan dewa-dewa, akibatnya akan
fatal bagi seluruh umat manusia.[1]
Menurut Sayyed Hossein Nasr,
Hermes itu adalah Nabi Idris a.s. yang dalam fisalasat Yunani, di kenal sebagai
father of philospher (abul hukama).[2] Bagi
Nabi Idris atau Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana
menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar dapat
dipahami oleh manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”.
Secara lebih umum, Zygmunt Bauman
menegemukakan, bahwa hermeneutika merupakan upaya menjelaskan dan menelusuri
pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau lukisan yang tidak jelas,
kabur, remang-remang, dan kontradiksi, sehingga
menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar dan pembaca.[3]
Richard Palmer menegaskan bahwa
hermeneutika adalah proses menelaah isi dan maksud yang menjelma dari sebuah
teks sampai pada maknanya yang terdalam dan laten.[4] Hal
senada yang juga dikatakan oleh Paul Ricouer, bahwa filsafat adalah sebuah
hermeneutika yang membaca yang tersembunyi dalam sebuah teks yang mengandung
arti yang kelihatannya sudah jelas dan mengandung makna.[5] Dengan
demikian hermeneutika dapat diartikan sebagi proses mengubah suatu kondisi
ketidaktahuan menjadi mengerti yang banyak digunakan sebagai sebuah metode
dalam berbagai disiplin ilmu.
Dapat dipahami bahwa sebagai
sebuah metode hermeneutika mempunyai tujuan yang sangat mulia , yaitu dalam
rangka memberikan penjelasan yang sangat jelas kepada manusia dengan bahasa
yang mudah pula untuk dimengerti. Namun yang lebih perlu dipahami adalah bahwa
ada tiga prinsip pokok, yang dalam teori hermeneutika disebut triadic
structure, yaitu satu struktur yang terdiri dari tiga unsur yang berkaitan
dalm proses penafsiran. Ketiga hal yang dimaksud adalah teks, penafsir, dan
audien. Ketiga aspek itu secara implisit berisi tiga konsep pokok yakni 1)
membicarakan hakikat sebuah teks; 2)apakah penafsirnya memahami teks dengan
baik; dan 3) supaya suatu penafsiran dapat dibatasi oleh asumsi-asumsi dasar
serta kepercayaan atau wawasan para audien.
C.
Hermeneutika dalam
Wilayah Keagamaan
Kehadiran teks dalam tradisi
keagamaan telah membawa implikasi cukup besar bagi perkembangan intelektual,
kebudayaan dan perdaban. Tradisi Arab Islam cenderung memiliki “tradisi teks”
yang cukup kuat bila dibandingkan dengan perdaban bangsa lain. Apresiasi yang
diberikan oleh pengkaji Islam dalam menelaah tradisi Arab-Islam dari dulu hingga kini banyak difokuskan pada
pembacaan teks keagamaan.
Kajian interpretasi teks dalam
wilayah keagamaan kontemporerpun tidak terbatas pada pencarian makna dari segi
narasi belaka. Akan tetapi, sudah menempatkan teks ke dalam wilayah historis,
wilayah yang lekat dengan bahasa dan budaya tertentu. Artinya, di samping
berbicara tentang interpretasi teks, telaah ini sudah masuk ke dalam wilayah
“ontologi teks”.[6]
Hermeneutika merupakan sesuatu yang terbuka untuk memungkinkan beberapa
interpretasi. Gadamer mengisyaratkan bahwa tujuan hermeneutika bukan untuk
mengembangkan aturan-aturan atau prosedur sebuah teks. Obyek filsafatnya adalah
untuk mengidentifikasi, bukan pada apa yang kita perbuat atau apa yang harus
kita lakukan dalam interpretasi, tetapi apa yang terjadi pada kita dan tentang
apa yang kita inginkan dan kita kerjakan.[7]
Diskursus pemahaman seperti
tersebut di atas bisa dimasuki melalui sudut bidik hermeneutika yang berperan
bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik (termasuk al-Quran dan Hadist) atau
teks keagamaan lainnya.[8] Dalam
tradisi keilmuan Islam, sesungguhnya telah dikenal ilmu yang berusaha
mengungkap makna yang disebut ilmu tafsir yang secara khusus
diperuntukkan bagi penafsiran al-Quran. Penafsiran, sesungguhnya bukanlah
monopoli al-Quran saja, karena pada dataran praksis, ajaran Islam juga
berkembang dengan penjelasan, baik dengan perkataan atau perilaku Nabi sendiri,
yang kemudian dikenal dengan Sunnah, dan dikodifikasikan dalam bentuk Hadist.[9]
Peran hermeneutika yang secara
sederhana merupakan sebuah upaya untuk memahami teks akan selalu terkait secara
fundamental dengan struktur kebahasaan, pemikiran dan sejarah teks itu sendiri.
Melalui bahasa manusia berkomunikasi dan melalui bahasa pula bisa salah arti,
salah paham, dan salah interpretasi. Bahasa sebagai alat penyampai pesan dari
teks-teks keagamaan merupakan jawaban terhadap pertanyaan tentang kemampuan
maasa kini untuk memahami logika masa silam. Teks-teks keagamaan dapat
melahirkan keyakinan (idiologi baru). Yaitu keyakinan yang berusaha
merekonstruksi kesadaran sang penerima pesan (manusia). Tetapi keyakinan yang
baru ini tidak menjadi keyakinan yang betul-betul baru secara sempurna, kecuali
pesan dari teks-teks tersebut telah berdamai dalam kebudayaan tertentu. Hal itu
tergantung kepda bagaimana memaknai sebuah peristiwa bahasa, sebagaimana
dikatakan Michel Foucoult, bahwa tugas memberi makna, ditilik dari definisinya,
tak pernah bisa terselesaikan.[10] Hal ini
bisa dilihat dari perkembangan penafsiran dalam historisitas teks-teks
keagamaan selalu berkembang seakan tiada henti. Perkembangan ini menyangkut
banyak variabel yang tidak begitu saja dianggap sederhana, karena setiap masa
menghasilkan historisitas, penemuan, wacana, dan teori penafsiran yang berbeda
dengan zaman lainnya.
Dalam studi naskah, termasuk di
dalamnya teks-teks keagaman, tidak muncul begitu saja dari langit. Teks tidak
muncul dari ruang “hampa” kebudayaan.
Teks-teks dan naskah-naskah keagamaan, apapun bentuknya adalah dikarang,
disusun, ditiru, diubah, diciptakan oleh pengarangnya sesuai dengan tingkat
pemikiran manusia saat teks-teks tersebut disusun, dan tidak terlepas sama sekali dari pergolakan sosial-politik
dan sosial budaya yang mengitarinya. Bahkan tidak jarang dipengaruhi oleh
angan-angan sosial dari penyusun atau pengarang itu sendiri dalam merespon
tantangan zamannya. Sering juga terjadi , suatu naskah keagamaan dikarang dan
disusun oleh pengarangnya atas campur taangan
dan pesan “sponsor” penguasa dan kekuatan politik yang dominan saat itu.[11]
Dalam catatan sejarah peradaban Islam,
tercatat konfrontasi pemahaman terhadap teks al-Quran, terutama yang berkaitan
dengan ayat-ayat yang megandung ambiguitas (mutasyabihat). Timbul banyak
persoalan sekitar ayat-yat yang mengandung ambiguitas ini. Bersamaan dengan ini
atau implikasi dari fenomena ini, aliran-aliran dalam Islam, terutama aliran
teologis, mempunyai kepentingan politis untuk memaknai dan memberi pengertian
terhadap ayat-ayat tersebut sesuai dengan pendapat mereka.[12]
Dalam tataran Ibnu Rusyd, filosof
muslim ternama, berpendapat bahwa semua kontroversi yang melibatkan para teolog
dan filosof pada hakekatnya bermula dari ayat-ayat mutasyabihat.[13]. Lebih
lanjut Ibnu Rusyd mengatakan, sesungguhnya manusia telah sangat kacau dalam
memahami makna syari’at, sehingga timbul sekte-sekte tersesat dan golongan-golongan yang
berseberangan. Masing-masing mereka melihat bahwa dirinyalah yang berpegang
teguh pada syari’at. Dan yang menentangnya boleh dikatakan pelaku bid’ah
ataupun kafir yang halal darah dan
hartanya. Hal ini semua jauh dari tujuan pembuat syari’at yang disebabkan oleh
kesalahan mereka dalam memahami strukturnya.[14]
Terlepas dari apa yang di katakan
oleh Ibnu Rusyd di atas, sebenarnya ada dua hal yang membuat posisinya secara
filosofis sangat penting dan secara historis sangat signifikan kontribusisny
bagipersoalan hermeneutika: Peertaama, sensitivitasnya untuk membedakan
tipe-tipe teks dalam menginterpretasi teks. Kedua, sensitivitasnya untuk
membedakan tipe orang dalam interpretasi teks. Perbedaan tipe teks dan
perbedaan tipe orang akan melahirkan perbedaan interpretasi.
DAFTAR PUSTAKA
Gregory Leyh, Legal
Hermeneutics: History, Theory and Practice, (Berkeley: University of
California, 1992)
Komaruddin Hidayat, Memahami
Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996)
Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
(Jakarta: Gramedia, 2000)
Ibnu Rusyd, Kasyfan Manhaj al-‘Adillah dalam Falsafatu
Ibnu Rusyd, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1978)
Madjid Fachry, Sejarah
Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul ‘Am, (Bandung: Mizan,
2001)
Machasin, Al-Qadhi Abdul Jabbar, Mutasyabihat al-Quran, Dalih
Rasionalitas al-Qur’an, (Yogyakarta: LkiS, 2000)
M. Amin Abdullah, Arkoun dan
Kritik Nalar Islam, dalam Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme;
Memeperbincangkan Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LKiS, 1996)
Muhammmad Zubayr Shiddiqi, “Hadis
A Subject of Keen Interest” dalam P.K.Kroya (ed), Hadis and Sunnah Ideals
and Realities, (Malaysia: Islamic Book Trust, 1996)
Michel Foucoult, The Orther of
Things on Archeology of the Human Sciences, (New York: Vintage Books, 1994)
Paul Ricouer, The Conflict of
Interpretations, (Evanson: Northwestern University Press, 1974)
Richard
E.Palmer, Hermneutics, (Evanson: Northwestern University Press, 1969)
Tashihiko Izutsu, God and Man
in the Koran: A Semantical Analysis of the Koranic Weltanschaung, (Tokyo:
Keio University Press, 1964)
Sayyed Hessein Nasr, Knowledge
and The Secred, (New York: State University Press, 1989)
Zygmunt Bauman, Hermneutics
and Social Science, (New York: Columbia University Press, 1978
[2] Sayyed
Hessein Nasr, Knowledge and The Secred, (New York: State University
Press, 1989), hal. 71
[6] Kjian
terhadap status ontologis memberikan manfaat untuk menjelaskan sifat-sifat
historis dari teks, telaah ontologis ini pernah dilakukan oleh Tashihiko Izutsu
terhadap al-Quran dalam bukunya God and Man in the Koran: A Semantical
Analysis of the Koranic Weltanschaung, (Tokyo: Keio University Press, 1964)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar